Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan isu mural bertuliskan “404: Not Found“. Mural yang ada di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang ini, menampilkan gambar wajah yang mirip dengan Presiden Joko Widodo, namun pada bagian matanya, ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah. Mural tersebut kini telah dihapus oleh aparat gabungan setempat beberapa hari lalu (nasional.tempo.co, 14/8/2021).
Beberapa hari kemudian, ada mural mirip Presiden Jokowi yang terpampang di badan konstruksi Flyover Pasupati. Satpol PP Kota Bandung menghimbau agar warga tak membuat gambar atau mural yang mengandung unsur tendensius pada pihak tertentu. Adapun bagian mata sosok itu ditutupi masker dan berpose dengan tangan kanan menyentuh masker. Menurut kepolisian sendiri, masyarakat dipersilakan untuk menyampaikan kritik, namun tidak bersifat tendensius dan penghinaan yang sudah masuk ke dalam ranah yang berbeda (kumparan.com, 27/8/2021).
Sejarah Mural Yang Kemudian Menjadi Medium Kritik
Dalam bahasa latin, mural berarti dinding atau tembok. Seni ini dianggap seni kontemporer yang tumbuh seiring dengan munculnya budaya populer, itu sebabnya tidak ada peraturan khusus untuk menggambar mural.
Sejarah mencatat bahwa mural sudah ada sejak zaman prasejarah, yaitu 31.500 tahun silam, yang terdapat di lukisan gua di Lascaux, di selatan Perancis. Di Indonesia sendiri, tercatat bahwa lukisan dinding juga sudah ada sejak zaman prasejarah, yaitu di zaman Mesolitikum. Pada saat itu, lukisan dinding digunakan sebagai tanda bahwa pernah ada manusia yang telah menghuni dan melangsungkan kehidupan di gua tersebut (Barry, 2008).
Cikal bakal seni jalanan dalam bentuk mural atau grafiti menjadi sebuah budaya berkesenian di negeri ini sudah ada sejak masa pra kemerdekaan. Di masa perjuangan, banyak para pejuang menyuarakan perjuangan melalui corat-coret atau gambar di tembok-tembok kota. Mereka sengaja meninggalkan pesan-pesan perjuangan melalui mural karena memang keterbatasan media kala itu.
Namun seiring pergantian zaman, seni jalanan terus berkembang. Bahkan saat ini, banyak mural yang menghiasi dinding atau sudut-sudut sejumlah kota besar di Indonesia. Salah satunya di Jakarta, yang beberapa sudutnya terpampang tulisan atau gambar khas kesenian jalanan. Contohnya di kawasan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta Utara.
Seiring menjamurnya seni jalanan di era modern, banyak orang yang kemudian menjadikan mural sebagai sarana menyampaikan sikap protes. kritik, atau keresahan, khususnya terkait dengan kebijakan sosial-politik oleh pemerintah. Tak jarang, mural bernada kritik sengaja dibuat di sudut-sudut strategis perkotaan agar pesan bisa tersampaikan secara langsung. Memang, menyampaikan kritik yang disalurkan lewat seni jalanan memang semakin menjadi tren. Sebab, hal itu menjadi wadah untuk mengasah kemampuan para senimannya untuk mengeluarkan hal-hal yang ingin disuarakan oleh mereka.
Masih adanya eksistensi mural di Indonesia saat ini tidak terlepas dari para pelaku yang masih konsisten memproduksi mural. Mural yang diproduksi memiliki banyak tujuan, mulai dari kepentingan pribadi untuk memenuhi hasrat estetis seniman, kepentingan menyuarakan kritik politik dan sosial budaya, kepentingan politik maupun ideologi, hingga kepentingan sebuah brand tertentu dalam melakukan branding dan promosi menawarkan produknya.
Berekspresi Lewat Seni Dalam Konteks “Kebebasan”
“Merdeka!”, sebuah jargon sakral yang sering diucapkan masyarakat pada masa penjajahan. Sekitar setengah abad kemudian, kembali muncul jargon yang berkembang di masyarakat, “Reformasi”. Berbagai bentuk perlawanan beserta seluruh jargonnya merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penindasan HAM, terutama dalam hal kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir, serta kebebasan berpendapat melalui seni.
Seni sendiri memainkan peranan penting dalam pembentukan negara demokratis untuk membangunkan masyarakat yang dinamik. Konser, drama, tarian, musik, teater, seni persembahan, seni pertunjukan, mural, bahkan stencil telah menjadi medium popular untuk memperkarya demokrasi dalam sebuah negara.
Seni tidak akan ada tanpa seniman. Karya tidak akan wujud dalam ruang hampa (vacum), dan seniman tidak menghasilkan seni dalam ruang hampa, karena mereka juga tidak lepas dari masyarakat dan kondisi di mana mereka berkarya.
Kesenian merupakan suatu bagian yang penting bagi kehidupan manusia. Tidak hanya mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu, kesenian juga memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, bahkan negara. Pertanyaan berikutnya adalah, apabila kesenian memang memiliki fungsi dan pengaruh yang signifikan bagi kehidupan masyarakat, mengapa hingga saat ini masih ditemukan begitu banyak kasus pelanggaran kegiatan kesenian di Indonesia?
Masyarakat secara umum belum menganggap bahwa kesenian adalah suatu hal yang penting bagi kehidupan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Hingga saat ini, bagi kebanyakan masyarakat, kesenian masih dianggap sebagai hiburan semata. Demikian, ketika dibenturkan dengan nilai-nilai lain, misalnya agama atau kepentingan ideologi politik (contoh: isu komunisme), kesenian dapat dengan mudah dicekal.
Bicara tentang kebebasan seniman dalam mengeksplorasi hal-hal, seperti kritik sosial dan politik, berarti menunjukkan seni sendiri sudah termasuk salah satu medium yang mampu memberikan ruang untuk berekspresi serta berpendapat. Pada akhir masa Orde Baru di tahun 90-an misalnya, moralitas menjadi salah satu isu yang sering diangkat oleh karya seni sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan pada saat itu.
Peran seni dan karya sastra adalah salah satu produk kebudayaan dalam sejarah umat manusia. Kemajuan peradaban umat manusia tercermin dalam seni. Dengan kata lain, seni dan karya tulis turut mempertajam kemampuan kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia.
Referensi
Buku
Barry, Syamsul. 2008. Jalan Seni Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Studium.
Suparno, Slamet. 2009. Pakeliran Wayang Purwa dari Ritus Sampai Pasar. Surakarta: ISI Press Solo.
Internet
https://kumparan.com/kumparannews/satpol-pp-kota-bandung-imbau-warga-tak-buat-mural-yang-bersifat-tendensius-1wPZQEpbYN5/1 Diakses pada 26 Agustus 2021, pukul 22.00 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1494326/3-aksi-mural-mengkritik-pemerintah-yang-dihapus-aparat Diakses pada 26 Agustus 2021, pukul 22.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.