Dalam melihat suatu kebijakan kita perlu memperhatikan dari berbagai sudut. Ada kebijakan yang terlihat buruk, tapi sebenarnya memiliki dampak baik, sebutlah dihapusnya subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM). Ada pula kebijakan yang terlihat baik, tapi sebenarnya memberikan dampak yang buruk atau memperburuk keadaan yang ada saat ini. Misalnya kebijakan monopoli atau penguasaan penuh oleh negara, terdengar sangat nasionalis, tapi apakah akan menjamin keadaan akan baik? Belum tentu.
Sama halnya dengan kebijakan terkait upah minimum. Kebijakan ini terdengar sangat baik dan bijak, negara hadir untuk menjamin upah yang akan diterima oleh para pekerja di negaranya. Pekerja merasa nyaman karena mereka bisa bekerja dan hidup dengan nyaman dan sejahtera. Industri akan terjaga karena upah bisa ditentukan dan stabilitas industri terjaga dalam jangka panjang. Tetapi apakah demikian?
Dalam ilmu ekonomi, terdapat apa yang disebut dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang keduanya dipertemukan di dalam pasar. Supply menggambarkan jumlah barang yang ada dan demand menggambarkan jumlah barang yang diinginkan. Penerapan teori supply dan demand dapat ditemukan di dalam pasar. Pasar di sini bukan hanya pasar secara harfiah, tetapi bisa di berbagai kondisi di kehidupan sehari-hari. Ketika pemilik supply dan demand bertemu dan melakukan transaksi, mereka akan membentuk kondisi keseimbangan (equilibrium) yang akan menghasilkan ‘harga pasar’. Harga pasar tersebut muncul dari kesepakatan antara supply dan demand di pasar.
Jika diterapkan pada kasus kebijakan upah minimum, pihak supply adalah para pencari kerja dan di pihak demand adalah penyedia lapangan pekerjaan. Equilibrium yang ujungnya akan menentukan ‘harga pasar’ akan tercipta dari transaksi antara pencari kerja dengan perusahaan. Transaksi tersebut akan menghasilkan ‘harga pasar’ yang disepakati dan menguntungkan keduanya. Harga pasar tersebut dapat dikatakan dengan nilai upah/gaji untuk pekerja.
Tetapi transaksi alamiah tersebut tidak terjadi saat ini. Terdapat intervensi dari luar pasar (umumnya berasal pemerintah) yang secara sepihak memutuskan ‘harga pasar’ bagi kedua pihak tersebut. Lalu apa yang terjadi? Keseimbangan alamiah tidak terjadi, kedua pihak belum tentu sama-sama untung.
Kebijakan ini berdampak negatif dalam sektor tenaga kerja. Penentuan upah secara sepihak tersebut tidak menggambarkan kondisi equilibrium setiap penyedia lapangan pekerjaan yang ada, bahkan ada yang melebihinya. Dengan demikian, para penyedia lapangan pekerjaan akan terbebani oleh biaya yang semakin besar tersebut dan irit dalam beraktivitas.
Tindakan ini tentu saja dapat berimbas pada seluruh kegiatan mereka, termasuk rekruitmen tenaga kerja baru. Penyedia lapangan kerja akan semakin selektif dan mempersempit kesempatan kerja baru. Tenaga kerja dengan kualifikasi rendah, tidak berpendidikan dan tidak terlatih, akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Bagi penyedia lapangan pekerjaan yang baru pun akan kesulitan untuk bisa berkembang dengan cepat. Beban biaya upah, yang terlanjur tidak sesuai dengan equilibrium, menjadi penghalang mereka untuk maju atau minimal untuk bertahan dari persaingan dalam industri.
Bila kita ambil contoh, apabila terjadi kenaikan upah minimum oleh pemerintah. Keputusan ini akan mengurangi lapangan pekerjaan baru di masa yang akan datang (Meer & West, 2013). Dampak dari penurunan ini akan lebih terasa oleh tenaga kerja muda dibanding yang lebih dewasa (Brown, Gilroy, & Kohen, 1981). Perusahaan kecil pun akan semakin terbebani oleh biaya. Sehingga mereka akan mengurangi pembukaan tenaga kerja baru (Alatas & Cameron, 2003). Lalu siapa yang diuntungkan dari kenaikan ini? Tenaga kerja yang sudah bekerja di penyedia lapangan pekerjaan yang sudah besar dan mapan (Rama, 2001).
Perubahan Paradigma
Pendekatan melalui kebijakan upah minimum harus diubah. Kesejahteraan tenaga kerja tidak bisa datang dengan menetapkan upah mereka secara sepihak, hal tersebut datang dari tenaga kerja itu sendiri. Fokus yang seharusnya diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan produktivitas seorang tenaga kerja.
Kualitas upah yang baik akan datang sesuai dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja tersebut. Semakin tingginya kualitas dan produktivitas seorang tenaga kerja akan menaikkan upah mereka dengan sendirinya. Dalam kasus ini mekanisme alamiah akan berjalan dan upah equilibrium akan terbentuk.
Pemerintah harus merubah fokus mereka dari pendekatan upah minimum ke kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Biarkan upah bergerak sesuai dengan mekanisme alamiah dari tiap-tiap perusahaan. Biarkan ‘transaksi’ antara penyedia lapangan pekerjaan dengan tenaga kerja bergulir tanpa campur tangan pihak luar.
Mekanisme tersebut akan menciptakan upah yang paling efisien bagi semua pihak. Upah yang berdasarkan transaksi dan kesepakatan antara supply (pencari kerja) dan demand (penyedia lapangan pekerjaan) akan menghasilkan ‘harga pasar’ yang disepakati oleh kedua pihak. Keseimbangan tersebut pada akhirnya memberikan keuntungan bagi penyedia lapangan pekerjaan dan pekerja itu sendiri.
Referensi:
Alatas, V., & Cameron, L. A. (2003). The Impact of Minimum Wages on Employment in a Low Income Country: an Evaluation Using The Difference-in-differences Approach. World Bank Policy Research Working Paper, 2985.
Meer, J., & West, J. (2013). Effects of the Minimum Wage on Employment Dynamics. Applied Economics, 25(12), 1517–1528. http://doi.org/10.3386/w19262
Luqmannul Hakim adalah alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Luqman juga tergabung ke dalam komunitas Studium Veritatis, sebuah komunitas kajian dan diskusi yang mempromosikan keterbukaan dan keadilan, dan Bandung Strategic Leadership Forum (BSLF), forum diskusi rutin anak muda Bandung seputar kebangsaan. Luqman bisa dihubungi melalui email luqmanlh1@gmail.com