Dari tujuh Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif DPRD Jember yang agaknya disampaikan dengan bangga dalam rapat paripurna 25 September 2017, Raperda Baca Tulis Al Quran adalah raperda yang memperlihatkan cara berpikir yang gelap dari para pengambil kebijakan di tingkat dewan. Kita semua tahu masyarakat Jember adalah masyarakat yang majemuk, tentu saja para anggota dewan seharusnya juga tahu. Masyarakat Jember bukan masyarakat tunggal yang seluruhnya memeluk agama Islam dan wajib mempelajari Al Quran.
Anggota Dewan yang terhormat seharusnya menggunakan data demografi masyarakat Jember berdasarkan jumlah pemeluk agama sebagai masukan kebijakan (policy input) pembuatan raperda. Ini berarti DPRD semestinya tidak bisa mengatasnamakan kebutuhan masyarakat Jember sebagai alasan diajukannya raperda. Namun, anggota Dewan tetap saja meyakinkan raperda itu untuk kebutuhan masyarakat Jember.
Kita tidak tahu apa yang membuat DPRD Jember yakin dengan kebijakan yang diambilnya meski mengabaikan data dan bukti demografi masyarakat Jember. Lantas bukti-bukti apa yang menjadi dasar DPRD Jember merumuskan Raperda Baca Tulis Al Quran? Pertanyaan ini murni pertanyaan, bukan keraguan bahkan tudingan bahwa para abffira tidak mengerti apa unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan.
Dalam pembuatan kebijakan, DPRD sebagai aktor sekaligus eksekutor kebijakan perlu memiliki data, bukti dan informasi yang memadai. Sebab data, bukti dan informasi yang memadai akan menunjang kebijakan publik yang berkualitas. Dr. Adi Suryanto, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), pernah menyatakan bahwa kebijakan yang berkualitas didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Marston dan Watts (2003) mengutip Kantor Kabinet Pemerintah Inggris, empat bukti itu mencakup: (1). Pengetahuan pakar, (2) Hasil penelitian yang dipublikasikan, (3). Statistik, dan (4). Konsultasi dengan pemangku kepentingan.
Berangkat dari data dan bukti demografi masyarakat Jember berdasarkan agama, saya tidak yakin perumusan Raperda Baca Tulis Alquran memenuhi empat bukti itu. Konyol jika para pakar di tingkat dewan tidak mengetahui ada umat Kristen di Jember, penganut Sidharta Gautama, pemeluk Konghucu, dan tidak sedikit pembaca Weda. Hasil penelitian dan statistik dalam “Jember Dalam Angka” yang dipublikasi setiap tahun juga tidak pernah memaparkan bahwa seluruh masyarakat Jember beragama Islam. Terlebih bukti dari konsultasi dengan pemangku kepentingan, yang dalam sudut pandang akademis disebut perumusan agenda kebijakan.
Selain mengabaikan kemajemukan masyarakat Jember, pada saat yang sama pak dewan juga mengabaikan regulasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Silakan anggota Dewan yang terhormat catat sendiri apa saja yang tidak sesuai dengan undang-undang itu.
Kegagalan Kebijakan
Dari sekian tahap pembuatan kebijakan, Samodra Wibawa, penulis buku “Politik Perumusan Kebijakan Publik” tahun 2011 dan buku-buku tentang kebijakan publik lainnya, menempatkan tahap formulasi kebijakan yang meliputi perumusan isu dan masalah publik sampai rekomendasi kebijakan sebagai tahap paling krusial. Ketidaksempurnaan pada proses formulasi kebijakan akan mengarah pada kegagalan kebijakan. Lalu, apa yang bisa kita peroleh dan harapkan dari kebijakan yang gagal?
Kita mafhum Raperda Baca Tulis Al Quran menyimpan potensi tidak bisa memuaskan semua masyarakat Jember. Sama belaka dengan kebijakan-kebijakan lainnya, oleh siapa pun dan di level pemerintahan apa pun. Pada dasarnya tidak ada kebijakan publik yang mampu memuaskan seluruh sasaran kebijakan, juga tidak ada kebijakan publik yang mengecewakan seluruh sasaran kebijakannya.
Kebijakan publik, tulis Jake Sullivan, praktisi senior kebijakan publik Amerika Serikat, bukan ilmu (dan alat pemecah masalah) yang sempurna. “Public policy is a study in imperfection. It involves imperfect people, with imperfect information, facing deeply imperfect choices – so it’s not surprising that they’re getting imperfect results.” Namun pernyataan Sullivan ini tidak tepat ditujukan pada kebijakan Raperda Baca Tulis Alquran.
Pernyataan Jake Sullivan lebih tepat ditujukan pada kebijakan yang mengutamakan kepentingan publik dan Raperda Baca Tulis Al Quran bukan kebijakan yang mengutamakan kepentingan publik. Raperda Baca Tulis Al Quran hanya mengutamakan kepentingan umat Islam namun abai pada kepentingan umat di luar Islam. Tidak keliru bila dikatakan Raperda ini berpotensi menjadi kebijakan yang diskriminatif.
Kita tentu menaruh harapan lembaga eksekutif Jember yang dinahkodai Bupati Faida tidak mengesahkannya dengan menerbitkan peraturan bupati. Jargon dan orasi politik “Jember Baru, Jember Bersatu” yang acap didengungkan Bupati Faida harus diwujudkan menjadi kenyataan politik. Sama belaka dengan jargon dan orasi politik Presiden Jokowi: Saya Indonesia, Saya Pancasila yang disampaikan Presiden di mana 1 Juni sebagai hari peringatan hari lahir Pancasila dan menjadi libur nasional.
Sebagai penutup, sebab ingin menjadi masyarakat yang bisa memberi sumbangsih pada tanah kelahirannya, dengan tetap menaruh prasangka baik pada kebijakan DPRD Jember, saya mengusulkan “Raperda Baca Tulis Al Quran” dihapus dan diganti dengan “Raperda Baca Tulis Kitab Suci”. Raperda Baca Tulis Kitab Suci niscaya menjadi kebijakan yang lebih diterima karena mengakui kemajemukan masyarakat Jember.
Dengan begitu, maka Jember bisa bersinergi dan turut mewujudkan jargon sekaligus cita-cita nasional “Saya Indonesia, Saya Pancasila”: Saya Jember, Saya Pancasila.