Krisis Minoritas Seksual dalam Perskpektif HAM

298

Beberapa hari setelah penayangan sekuel terbaru “Doctor Strange” yang selain viral karena ceritanya, tetapi juga terdapat fakta bahwa America Chavez termasuk dalam satu dari karakter superhero LGBTQ, netizen Indonesia kembali diramaikan dengan podcast Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil-Fred dalam pembahasan mengenai topik LGBT di Indonesia.

Video yang berjudul “Tutorial Jadi G4y di Indo – Kami happy loh.. – Ragil and Fred” itu diunggah di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada hari Sabtu kemarin. Ragil Mahardika merupakan pria asal Medan yang kini telah menjadi warga negara Jerman. Dia menikah dengan Frederick Vollert pada tahun 2018. Video yang menceritakan kehidupan Ragil-Fred sebagai pasangan homoseksual itu kemudian menuai kontroversi di media sosial sehingga banyak dikecam, sehingga akhirnya muncul tagar berupa penyeruan untuk unsubscribe channel YouTube Deddy Corbuzier (#UnsubscribePodcastCorbuzier) (bbc.com/12/05/2022).

Peristiwa inipun sekaligus menjadi pemicu perdebatan yang lebih luas terkait isu LGBTQ, khususnya di kalangan masyarakat Indonesia, yang berlanjut pada sentimen terhadap komunitas LGBT di media sosial. Setelah kecaman luas itu muncul, Deddy pun meminta maaf dan dalam podcast, Deddy mengatakan dia tidak berniat mengkampanyekan LGBT dan menyatakan bahwa dia “tidak akan mendukung hal tersebut”.

Pernyataan maaf dari Deddy Corbuzier terkait podcastnya ini disayangkan oleh aktivis LGBT dari Crisis Response Mechanism (CRM), sebuah konsorsium yang menangani krisis terhadap kelompok minoritas seksual dan gender, Riska Carolina, karena kejadian ini dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi dan tekanan bagi komunitas LGBTQ. Permintaan maaf Deddy seakan mengajarkan masyarakat Indonesia bahwa sentimen, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok rentan dengan identitas gender yang berbeda itu adalah sesuatu yang dibenarkan. Lebih lanjut, Riska mengkhawatirkan kejadian ini akan menutup ruang diskusi terkait isu seksualitas dan gender, bahkan melanggengkan diskriminasi dan sentimen negatif yang selama ini menghantui komunitas LGBTQ (bbc.com/12/05/2022).

Lantas, apakah keputusan Dedy Corbuzier untuk mengundang pasangan LGBT di kontennya salah atau apakah keberadaan ‘mereka’ yang salah di masyarakat? Masalah kelompok LGBT di Indonesia sendiri menemui banyak pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap LGBT menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual).

Pendukung LGBT menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi mereka. Sebaliknya, yang kontra terhadap gagasan kelompok LGBT berharap negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap gejala muncul dan berkembangnya LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia.

Bagaimanapun juga, kelompok LGBT masih tetap ada dan hidup berdampingan bersama kita. Dengan perlakuan diskriminasi yang berat dari masyarakat, seperti dikeluarkan dari pekerjaan, dianggap sebagai orang gila, sebagai kriminal, dan lain sebagainya, kelompok LGBT akan tetap ada. Tidak dipungkiri bahwa komunitas LGBT di Indonesia juga berkembang pesat dan tersebar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Bukti eksistensi gay di Indonesia pun secara gamblang diekspresikan melalui majalah GayA Nusantara. Majalah yang masuk dalam indeks majalah transgender di dunia ini ditujukan untuk kaum gay di Indonesia. Majalah GN diterbitkan oleh Divisi Advokasi GAYa Nusantara bekerja sama dengan Hivos, mempunyai misi untuk mempromosikan keragamam gender dan kesejahteraan seksual (Juditha, 2014).

Sekali lagi, meski keberadaan komunitas ini ditentang banyak kalangan, toh keberadaan mereka akan tetap eksis. Mereka juga manusia yang memiliki pandangannya sendiri-sendiri dalam orientasi seksualnya. Komisi Hak Asasi Manusia PBB pun telah mendesak semua negara untuk memberlakukan hukum yang melindungi hak-hak LGBT. Dasar aturan yang digunakan oleh PBB adalah dalam perspektif Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia) (Muladi, 2005). Resolusi tentang pengakuan atas hak-hak LGBT adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Resolusi tentang pengakuan atas hak-hak LGBT inilah yang dijadikan sebagai landasan tuntutan bagi kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan mengatasnamakan hak asasi manusia  (Santoso, 2016: 221).

Dalam konteks Indonesia sekalipun, pelarangan LGBT jelas melanggar Hak Asasi Manusia yang sudah diakui dalam UUD 1945. Pada “Prinsip Pokok Negara Hukum” oleh Prof. Jimly Hassidiqie dijelaskan untuk mewujudkan prinsip kesetaraan di muka hukum tersebut, segala tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan menifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang. Pengaturan yang memberikan pembedaan dalam kondisi tertentu diperbolehkan selama tindakan-tindakan tersebut bersifat khusus dan sementara yang dinamakan “affirmative actions” dan hanya dapat digunakan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan, sehingga tercapai perkembangan yang sama dan setara antar tiap kelompok masyarakat, seperti contoh perlakukan khusus untuk perempuan dan anak-anak. Dalam kedua konteks tersebut, dapat dikatakan bahwa baik instrumen Hak Asasi Manusia Internasional maupun UUD 1945 menyatakan bahwa pembedaan pengaturan terhadap LGBT merupakan tindakan diskriminatif, pengaturan pelarangan LGBT juga bukan merupakan tindakan affirmative action dalam konteks pembedaan kedudukan seseorang dihadapan hukum yang diperbolehkan (icjr.or.id/16/02/2019).

Argumen paling umum berkaitan dengan nilai yang dikandung dalam populasi kaum LGBT dapat membawa degradasi moral bagi anak, bangsa, dan status quo. Maka dari itu, konsep awal mengenai manusia hanya pria dan wanita yang disatukan dalam nama Tuhan tidak seharusnya ditambah-tambahkan. Dalam kasus ini, kita harus dapat membedakan antara legality dan moral permissibility. Sesuatu yang menurut standar moral kita tidak diperbolehkan, bukan berarti harus dilarang secara hukum dan dipaksakan kepada preferensi mayoritas.

Jika kita berbicara mengenai dalih moralitas, setiap individu mempunyai batasan moralnya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa kaum LGBT juga bagian dari masyarakat, mereka juga manusia, mereka sama-sama mempunyai hak untuk hidup, berekspresi, dan bebas dari intimidasi manapun

Referensi

Artikel

https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-61389820. Diakses pada 16 Mei 2022, pukul 21.07 WIB.

https://icjr.or.id/icjr-kritik-pernyataan-komnas-ham-tentang-pelarangan-lgbt-tidak-melanggar-ham/. Diakses pada 16 Mei 2022, pukul 22.05 WIB.

Jurnal

Judhita, C. (2014). “Realitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam Majalah.” Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/03/2014. Diakses pada 17 Mei 2022, pukul 13.10 WIB melalui https://journal.untar.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/37.

Santoso, M. (2016). “LGBT dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Share: Social Work Journal, Vol 6 (2), p. 154 – 272. Diakses pada 17 Mei 2022, pukul 12.53 WIB melalui https://media.neliti.com/media/publications/181586-ID-lgbt-dalam-perspektif-hak-asasi-manusia.pdf.

Buku

Muladi. (2005). Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.