Ateisme di Indonesia mungkin adalah hal tabu untuk dibahas. Kaum ateis di Indonesia selalu disamakan dengan kaum komunis atau PKI, sehingga mereka dianggap sebagai musuh besar rakyat Indonesia. Tak heran orang ateis selalu menyembunyikan keyakinan mereka agar selamat dari persekusi dan diskriminasi masyarakat.
Stigma miring terhadap kelompok ateis justru dikukuhkan dalam perpolitikan bangsa kita. pemerintah (khususnya pada era Orde Baru) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa, dan itu dicerminkan dengan kewajiban bagi setiap orang yang mengaku sebagai warga negara untuk menganut agama tertentu yang sudah disediakan oleh negara.
Nampaknya, kemajuan pesat tekhnologi dan juga gelombang kebebasan dewasa ini membuat kelompok ateis dan agnostik berani bersuara dan mengemukakan gagasannya. Namun hal itu tidak terlalu membawa respon positif, kaum ateis dan agnostik tetap didiskriminasi bahkan dikriminalkan karena dianggap bertentangan dengan falsafah Negara, yaitu Pancasila.
Masyarakat kita telah terkonstruksi pikirannya bahwa salah satu pengamalan sila pertama Pancasila adalah mereka harus beragama Jika mereka tidak beragama, maka mereka menjadi “komunis” yang berarti melawan Pancasila sebagai falsafah ideologi negara. Hingga era Reformasi bergulir, ateisme masih tetap dianggap orang-orang sebagai bentuk keyakinan kriminal, karena menistakan Tuhan.
Namun, belakangan ini wacana Pancasila sebagai ideologi teistik ditentang oleh Rocky Gerung. Rocky membuat publik gempar dengan sikapnya yang anti mainstream dan anti kemapanan. Sikapnya mendobrak setiap pandangan ortodoksi juga diarahkan pada Pancasila.
Video-video kuliah Rocky Gerung di YouTube tentang Pancasila membuat publik gempar. Salah satuya adalah pernyataannya bahwa ateisme diizinkan dalam Pancasila. Tentu ucapan Rocky ini menuai pro-kontra, apalagi di tahun politik ini, keberpihakan Rocky kepada salah satu paslon capres, membuat video-video kuliahnya menjadi sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam bahwa Rocky telah menistakan Pancasila.
Pancasila, Ketuhanan, dan Ateisme
Syahdan, di negeri ini banyak para cendekiawan, politisi, dan masyarakat umum berpendapat bahwa Pancasila adalah rumusan religius dan bersifat teistik. Dasar dari argumen ini dilandasi pada sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sila Ketuhanan ini selalu diinterpretasikan sebagai agama, sehingga orang yang coba-coba menyimpang dari agama, maka orang tersebut otomatis menjadi anti Pancasila.
Bagi sebagian masyarakat kita, rumusan Pancasila baik dari segi sila atau pemaknaannya sudah bersifat final. Orang-orang dalam memahami Pancasila biasanya selalu merujuk pada buku teks yang referensinya berasal dari indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Padahal materi yang disusun sebagai bahan propaganda ide-ide Orde Baru tersebut tidak relevan untuk dikembangkan di era Reformasi ini.
Dalam pandangan umum, sila Ketuhanan dianggap sebagai kewajiban negara dalam mengakui, memfasilitasi, bahkan turut menjaga agama. Pandangan ini adalah warisan dari era Soeharto, dimana sila Ketuhanan ditafsirkan sebagai agama dan mengikat sila-sila lainnya. Pancasila menurut Soeharto adalah konsepsi teistik yang berkonfrontasi secara langsung dengan paham ateistik (dalam arti Komunisme).
Rocky mengkritik pandangan dogmatis dan final terhadap Pancasila. Sebagai suatu ideologi yang terbuka, ia harus dikondisikan sebagai suatu ide yang bisa dibicarakan oleh setiap orang. Jika Pancasila menutup diri dari interpretasi dan meyakini penafsiran tunggal, justru ini berarti “pembusukan” terhadap Pancasila dan penolakan terhadap kebhinnekaan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan sila Ketuhanan, kemudian ateisme tidak bisa hidup dan diterima di Indonesia? Bagi Rocky tidak, justru karena filosofi dasar dari Pancasila adalah kebhinnekaan, maka konsekuensi logisnya, ateisme dan agnotisisme harus dapat diterima sebagai keyakinan warga negara sebagaimana umumnya.
Kebhinnekaan berarti kemajemukan, watak dasar dari bangsa kita adalah majemuk dan berbeda-beda. Persatuan didalam ideologi Pancasila jangan disalahpahami sebagai penyeragaman. Justru Pancasila harusnya menaungi dan mengayomi setiap perbedaan.
Ketika Orde Baru (Orba) masih berkuasa, kebhinnekaan hanya merupakan slogan. Pada faktanya didalam politik semua taat pada satu komando, yaitu Soeharto. Bahkan Demokrasi Pancasila ala Orba tidak mengizinkan adanya oposisi karena dianggap akan mengganggu stabilitas persatuan. Penyeragaman dan penyamaan atas nama Pancasila oleh rezim pemerintahan terdahulu, merupakan penafsiran yang kontradiktif terhadap Pancasila.
Jikalau perbedaan adalah dasar filosofi bangsa kita, maka penyeragaman adalah salah satu bentuk penyimpangan. Karena itulah Pancasila jika difahami dan direnungkan, pada dasarnya memiliki spirit yang sangat liberal, dimana perbedaan dalam beragama bukan persoalan, tetapi malah diizinkan dan diakui eksistensinya.
Termasuk dalam hal ini ateisme. Ateisme adalah salah satu bentuk keyakinan yang ia tidak memilih ber-Tuhan dengan model agama manapun. Ateisme bukan suatu gerakan politik praktis atau gerakan ideologis yang menyebarkan misinya. Ateisme adalah pilihan individu untuk hidup sebagaimana yang diinginkan oleh nuraninya. Karena itulah ateisme adalah keyakinan yang bersifat privat, dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28E:
“Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Menurut UUD 1945, jelas memeluk agama adalah sebuah hak. Dan hak menurut KBBI berarti wewenang atau (memiliki) kekuasaan untuk berbuat sesuatu, maka pilihan memeluk agama atau tidak merupakan hak prerogatif orang tersebut, bukan urusan negara atau orang lain.
Namun apakah Jika kita mengizinkan Ateisme berarti melanggar sila Ketuhanan yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dalam Pancasila???
Jika kita melakukan persekusi dan diskriminasi pada kaum ateis, maka kita telah melanggar 4 sila dari Pancasila, bukan? Namun, yang menjadi problem disini adalah penafsiran terhadap sila Pertama, orang selalu mengira bahwa Ketuhanan berarti keagamaan, tentu saja penafsiran ini sangat problematis.
Ketuhanan tidak harus diartikan keagamaan. sebelum masuknya agama-agama luar, bangsa Indonesia telah mengenal bentuk penyembahan kepada Tuhan tanpa harus memeluk agama. Penafsiran sila Pertama ini telah mengalami penyimpangan yang jauh, dimana ketuhanan direduksi sebagai agama (dan agamapun dibatasi hanya 5).
Sedangkan definisi agama di negara kita ini adalah memiliki Tuhan, Nabi, dan kitab suci. Ini sangat merugikan kepercayaan lokal yang menerima Tuhan, namun tidak mengenal dogma nabi dan kitab suci. Selain kepercayaan lokal, kaum agnostik juga merasa dirugikan karena agnotisisme meyakini adanya Tuhan tanpa harus memeluk agama manapun. Karena itu, penafsiran pemerintah kita bahwa sila Ketuhanan adalah keagamaan sangat reduksional atau penyederhanaan yang menyimpang.
Menurut Rocky Gerung, ateisme mungkin tidak bisa diterima dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa, namun ateisme diterima dalam sila Kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab (humanisme). Dalam falsafah Humanisme kebaikan, keadilan, dan kesetaraan manusia merupakan nilai-nilai universal yang harus dijunjung manusia tanpa melihat agama, sehingga humanisme mengizinkan sikap independensi manusia dari teologi, dimana manusia bisa berbuat yang terbaik tanpa harus terikat dalam suatu dogma agama.
Jika kita melihat soal-soal di atas, dapat diketahui bahwa mengapa ateisme dianggap sebagai keyakinan “najis” dan Pancasila ditafsirkan sedemikian sempit, semua akibat dari otoritarianisme pemerintah dan sikap egoisme individu yang membuat dialog dan “pertukaran perspektif” tidak terjadi.
Setelah rezim otoriter runtuh, kita masih mewarisi budaya ketakutan dan tabu dalam mendiskusikan soal-soal yang sensitif. Tidak ada proses pertukaran perspektif dan tidak ada proses rekonsiliasi antar kelompok untuk memahami keyakinan masing-masing. Dialog tersebut semakin tertutup dengan hadirnya ormas-ormas ekstrim yang justru menampilkan wajah agama dengan keras.
Sikap ketertutupan ini akan berimbas pada budaya demokasi kita yang akan mengalami stagnasi. Karena itu, tugas-tugas generasi milenial yang berusaha menjaga keutuhan demokrasi dan membangun civil society, harus berani menjebol kebuntuan ideologi kita, dan mencoba menghadirkan ruang diskusi agar semua perspektif anak bangsa bisa bertemu… Setidaknya Rocky Gerung dalam hal ini sudah berusaha melakukannya…

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com