RKUHP dan Demokrasi Kita

    255
    Sumber gambar: https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39703/t/Komisi+III+DPR+Terima+Naskah+RUU+KUHP+dan+Permasyarakatan+dari+Kemenkumham

    Beberapa waktu lalu, pemerintah menyerahkan draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI (6/7). Setelah sempat tertunda pengesahannya pada tahun 2019, kini atensi terhadap RUU tersebut kembali menyeruak, terutama mengingat munculnya kembali pasal-pasal kontroversial bagi publik, khususnya beberapa pasal yang materi muatannya menghambat kebebasan berekspresi.

    Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam agenda pengesahan RKUHP, pemerintah menyebut ada tujuh perubahan dalam draf terbaru tersebut, yakni mengenai 14 isu krusial, penyesuaian ancaman pidana, tindak pidana penadahan, harmonisasi dengan undang-undang di luar RKHUP, sinkronisasi batang tubuh dengan penjelasan, perbaikan teknik penyusunan, dan perbaikan salah ketik (Tempo.co, 7/7/2022).

    Meskipun demikian, beberapa pasal yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi masih tidak luput dari atensi publik. Adapun pasal dalam RKUHP yang dimaksud tersebut adalah Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 256 mengenai penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi, serta Pasal 351 dan Pasal 352 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

    Tidak dapat dipungkiri bahwa masih masuknya pasal yang berkaitan dengan isu kebebasan berekspresi karena anggapan terkait dengan pentingnya pasal tersebut bagi kepentingan umum. Berkaitan dengan penghinaan harkat dan martabat misalnya, pasal ini berangkat dari  asumsi  bahwa presiden sebagai simbol negara yang seharusnya dilindungi nama baiknya. Pembiaran terhadap pelaku yang melakukan hal tersebut tanpa ada sanksi pidana yang menjangkaunya justru menjadi berbahaya.

    Walaupun jika melihat dalam beberapa penjelasannya, pemerintah menyampaikan bahwa rumusan pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan berekspresi itu sudah dilakukan secara hati-hati, serta mengingat perlunya pembatasan pada hal-hal tertentu, terutama menyangkut ketertiban umum, namun hal ini tetap menyisakan polemik.

    Terkait dengan hal tersebut, kritik terhadap pasal-pasal yang berpotensi terhadap penegasian kebebasan berpendapat masih menyisakan penafsiran yang tidak jelas. Misalnya, dalam konteks penghinaan presiden yang  menjadi delik aduan absolut menyebabkan  penegakannya rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif. Walauapun pasal ini sudah mengalami banyak revisi, namun pasal ini masih berpotensi menyisakan ruang multitafsir tersebut. Selain itu, potensi penggunaan kepastian an sich dalam formulasi atau hanya sekedar mengetengahkan hukum yang prediktif saja tentu menjadi pekerjaan rumah dalam penegakan hukum. Hal ini lantaran masih adanya pro dan kontra terkait ruang multitafsir dan sulit dalam penegakan hukumnya.

    Lebih jauh, pro kontra dan tantangan dalam penegakan hukum tersebut terjadi karena penegakan hukum di Indonesia masih menunjukkan bagaimana norma-norma yang ada dipahami sangat positivistik, uniformistik, gramatikal, maupul leksikal (Rustamaji, 2017). Kecenderungan pembacaan hukum seperti ini merupakan pemaknaan hukum dengan satu wajah (monofacet), yaitu cara berhukum yang mendewakan rule dan logic. Hal ini kemudian berimplikasi pada cara, tujuan, dan akuntabilitas penegakan hukum yang menampilkan hukum otomat, yang juga tercermin dalam beberapa kasus-kasus yang seringkali kontradiktif dengan  kebebasan berekspresi di Indonesia (Suara Kebebasan, 23/4/2022).

    Demokrasi, yang didalamnya menjamin kebebasan berekspresi, adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini menjadi dasar penyelenggaraan negara yang diamanatkan melalui konstitusi. Meskipun demikian, demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia selalu memiliki tantangan yang tidak pernah habis.

    Catatan laporan indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracy), meskipun Indonesia berada di peringkat ke-52, naik dari yang tadinya peringkat ke-64, dari 167 negara dengan skor 6,71. (Detik News, 15/2/2022).

    Kategori kebebasan sipil yang menjadi salah satu indikator menjadi sangat krusial di Indonesia. Indonesia memilki banyak tantangan untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi, mengingat banyak sekali tantangan dari munculnya pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi yang membatasi kebebasan sipil di Indonesia.

    Sebagai penutup, masih munculnya pasal-pasal kontroversial di RKUHP harus menjadi atensi bersama untuk menguji bagaimana dampak pasal terhadap demokrasi. Alih- alih menyelesaikan persoalan, justru pasal-pasal tersebut menciptakan polemik dan masalah dalam masyarakat. Oleh kerena itu, penting untuk mengingat kembali apa yang dikatakan oleh John Locke, bahwa tujuan hukum seharusnya bukan untuk meniadakan atau mengekang kebebasan, tetapi melestarikan dan memperluas kebebasan.

     

    Referensi

    Buku

    Rustamaji. 2017. Pilar-pilar Hukum Progresif: Menyelami Pemikiran Satjipto Rahardjo. Yogyakarta: Thafa Media.

    Suteki dan Galang Taufani. 2018.  Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori, dan Praktik. Depok: Rajawali Press.

     

    Internet

    https://nasional.tempo.co/read/1609208/pemerintah-serahkan-draf-rkuhp-ke-dpr-hari-ini-ada-7-poin-perubahan. Diakses pada 18 Juli 2022, pukul 10.00 WIB.

    https://news.detik.com/berita/d-5943093/skor-indeks-demokrasi-indonesia-naik-versi-eiu-tapi Diakses pada 18 Juli 2022, pukul 12.00 WIB.

    https://suarakebebasan.id/kebebasan-berekspresi-dalam-pusaran-uu-ite/ Diakses pada 18 Juli 2022, pukul 12.30 WIB.