“Sebenarnya bagaimana pandangan Libertarianisme tentang revolusi”? Penulis mengawali artikel ini dengan sebuah pertanyaan yang menjadi fokus utama. Kita sering mendengar istilah “revolusi” dan “revolusioner” begitu akrab bagi generasi millenial yang turut mengikuti perkembangan politik dewasa ini.
Dalam dunia pergerakan, istilah “revolusi” dan “revolusioner” lebih sering digunakan oleh kelompok-kelompok kiri seperti kalangan Marxisme, sosialisme, dan Anarko Sindikalisme. Tapi istilah ini juga sering digunakan oleh kelompok kanan, seperti kalangan Fasis, Ultra Nasionalis, bahkan juga Islamis (ingat istilah ‘revolusi akhlak’).
Misalnya pada tahun 2019 Sri Bintang Pamungkas menyerukan rakyat untuk melakukan revolusi untuk mengagalkan pelantikan Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada tahun 2019 dengan membentuk Front Revolusi Inonesia (Gatra.com, 6/9/2019).
Jelas saja tindakan Sri Bintang Pamungkas membuat pemerintah ketar-ketir. Sebab dalam benak semua orang, jika revolusi terjadi di Indonesia, maka kerusuhan besar-besaran akan terjadi sehingga keonaran akan merusak keseimbangan politik dan perekonomian Indonesia.
*****
“Salah benar orang mengatakan, bahwa revolusi nasional kita belum selesai, karena Revolusi adalah letusan. Masyarakat sekonyong-konyong yang melaksanakan unwehrtung alter wehrte. Revolusi mengguncangkan lantai dan sendi, pasak dan tiang jadi longgar semuanya, sebab itu, saat revolusi itu tidak dapat berlaku lama, tidak lebih dari beberapa minggu atau beberapa bulan. Sesudah itu harus dibendung” (Hatta, 1956).
Dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gajah Mada (UGM) Hatta menyentil mengenai soal-soal yang berkaitan dengan konsepsi revolusi. Pada dekade 50 hingga 60-an, begitu banyak orang yang bersorak sorai dan mensakralkan revolusi yang tengah berjalan di Indonesia.
Dalam analisisnya ini, Hatta menjelaskan bahwa revolusi bersifat destruktif dan menggoncang sendi-sendi masyarakat. Ia menganalisis bahwa pemberontakan yang terjadi selama masa Orde Lama, disebabkan karena Pemerintah Sukarno tidak membendung, tapi malah mendorong Indonesia terus berevolusi (Hatta, 1956).
Efek destruksi dari euforia revolusi bukan hanya disadari oleh Hatta, selaku mantan Wakil Presiden RI, tetapi juga oleh Soeharto yang menjabat sebagai Presiden kedua yang menggantikan Soekarno. Ketika B.J. Habibie baru pulang dari Jerman setelah belasan tahun tinggal di sana, Soeharto memberikan tanggung jawab besar pada Habibie untuk membangun basis teknologi di Indonesia (Habibie, 1995).
Habibie kemudian bertanya pada Soeharto, “Apa yang harus saya lakukan?” Soeharto lalu menjawab, “Kamu boleh bikin apa saja di sini, kecuali revolusi!” (Habibie, 1995).
Soeharto mungkin terlihat naif dan sinis terhadap revolusi, sedangkan Hatta, meskipun memahami revolusi sebagai letusan massa, namun ia berharap sisi destruktif revolusi harus segera dibendung dan ditangani.
*****
Diakui atau tidak, istilah revolusi dalam kepala setiap orang selalu berkonotasi dengan kekerasan dan konflik. Penulis memberi contoh pengertian “Revolusi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menjadi induk dari pemahaman kebahasaan kita.
Jika kita membuka melihat istilah “Revolusi” di kamus, maka akan dijabarkan pada kita bahwa revolusi mengandung makna: “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata”. Sementara, untuk istilah “berevolusi” memiliki makna: “mengadakan perlawanan dan sebagainya untuk mengubah sistem ketatanegaraan (pemerintahan atau keadilan sosial)” (KBBI, 1992).
Dua istilah di atas menunjukkan bahwa revolusi erat kaitannya dengan kekerasan, konflik, perselisihan, dan peperangan. Mungkin instabilitas yang diakibatkan oleh revolusi inilah yang ditolak oleh Soeharto.
Revolusi Dan Mimpi Utopia
Ketika penulis masih menjajaki diri sebagai mahasiswa yang hanyut dalam romantika pemikiran dan aksi demonstrasi di lapangan, istilah revolusi setara maknanya dengan “jihad” sebuah pengorbanan suci yang mengorbankan darah untuk sebuah perubahan dan kehidupan yang lebih baik.
Kalimat revolusi bukan sekedar sebuah pekik yang keluar dari bibir. Dari segi semiotik, revolusi memiliki makna mendalam, seperti sebuah harapan, perubahan, perbaikan, dan utopia.
Jika kita melihat sejarah, memang banyak revolusi yang sukses dan mengubah wajah dunia kita. Contohnya, Revolusi Oktober yang dilakukan oleh kelompok Komunis di Rusia, Revolusi Islam yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini di Iran, Revolusi Amerika pada tahun 1776, dan Revolusi Perancis.
Sejarah revolusi di atas telah terjadi dan berhasil mengubur sistem lama menjadi sebuah sistem baru yang mengubah kehidupan masyarakat. Tak heran jika beberapa orang mendambakan sebuah revolusi sosial yang besar dan mensakralkan revolusi sebagai sebuah jalan satu-satunya menuju perubahan karena revolusi dipandang sebagai sebuah jalan gemilang yang telah berhasil dilakukan oleh para pencetus sejarah.
Dalam buku Utopia and Revolution (1976), Melvin J. Lasky telah mengungkapkan secara menarik mengapa masyarakat bahkan beberapa orang cenderung menggebu-gebu untuk melakukan revolusi dan menciptakan sebuah gerakan sosial massal untuk membuat perubahan.
Menurut Lasky, revolusi bergerak karena adanya mimpi besar dan visi masa depan yang dijadikan sebagai doktrin oleh para ideolog. Para ideolog secara puritan meyakini bahwa mereka dapat menciptakan sebuah surga dunia dengan menciptakan gerakan massal yang akan mengubah segalanya. “Kerinduan utopis akan republik kebajikan, ‘dunia baru’, atau ‘ tempat tinggal kebenaran’ ,menjadi tak tertahankan saat ektasi apokaliptik menguasai hati dan pikiran manusia. Demikianlah revolusi menggantikan reformasi dalam agenda sejarah” (Lasky, 1976).
Mimpi tentang dunia baru yang tertanam dalam hati seorang revolusioner, dalam beberapa kasus memang telah berhasil merobohkan sistem politik dan mengubah keadaan di masyarakat. Tetapi, tidak semua perubahan drastis tersebut menghasilkan perbaikan.
Beberapa revolusi yang dilakukan oleh partai atau golongan justru tidak membuat sebuah sistem yang positif, malah membuat sistem neraka yang hingga saat ini menyengsarakan banyak orang.
Libertarian dan Revolusi
Tidak bisa dipungkiri bahwa Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika adalah dua revolusi yang memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan. Liberalisme berhutang besar pada dua revolusi besar tersebut yang karenanya gagasan kebebasan individu, toleransi, dan kesetaraan di mata hukum dapat menyebar keseluruh penjuru dunia menggantikan sistem tirani dan feodalisme. Namun, tidak disangkal pula beberapa filsuf kebebasan pada abad pertengahan seperti Edmund Burke mengkritik revolusi sebagai sebuah gerakan yang dilakukan oleh “gerombolan babi” (Stephen, 2012).
Antipati Burke terhadap Revolusi Perancis bukan berarti bahwa ia anti terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu. Ia berpendapat bahwa, amarah massa yang bergerak dengan kekerasan dalam menggulingkan pemerintahan akan menyebabkan konflik-konflik rumit lainnya di masa depan.
Burke mungkin takut jika gerakan massa yang merobohkan sistem monarki akan menyebabkan masyarakat Perancis jatuh ke tangan anarkisme. Alih-alih mengedepankan kekerasan, Burke lebih setuju dengan gerakan liberal di Inggris ketika para pedagang, petani, dan bangsawan mendesak agar kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi (Burke, 1986).
Di sini, Burke menekankan pentingnya masyarakat bebas mentaati nilai-nilai hukum, pemerintahan, dan juga konstitusi yang harus disepakati. Burke tidak percaya pada otoritas ilahi yang diberikan pada raja, ia juga percaya bahwa masyarakat memiliki hak untuk memerintah negara. Tapi, ketimbang jatuh pada sebuah revolusi yang mengarah pada kekerasan, Burke lebih sepakat pada reformasi bertahap sebagaimana yang terjadi di Inggris (Burke, 1986).
Namun, tidak sedikit tokoh libertarian yang secara vokal mendukung revolusi, contohnya adalah Murray Rothbard yang menganggap bahwa revolusi juga bisa membawa ‘berkah’ bagi kebebasan manusia, salah satunya adalah revolusi Perancis. “Revolusi Perancis bertujuan untuk menghancurkan feodalisme yang melakukan pembatasan pada rakyat dan pajak tinggi yang dikenakan oleh pemerintah pusat. Dalam kasus Revolusi Perancis terjadi dikotomi antara kebebasan di satu sisi versus penguasa feodal dan raja absolut di sisi lain,” kata Rothbard (Medium.com, 9/5/2018).
*****
Terlepas pandangan para filsuf kebebasan soal revolusi, libertarian memiliki prinsip bahwa perubahan tidak serta merta harus diiringi dengan kekerasan dan amuk massa. Revolusi dalam pandangan libertarian tidak selalu terkait dengan kekerasan ala Marxis. Kita ambil Revolusi Industri di Inggris yang sukses membuat kemajuan besar dengan penemuan mesin uap yang diprakarsai oleh James Watt. Atau Gerakan Satyagraha di India yang dilakukan oleh Gandhi.
Libertarian tidak menafikkan adanya gejolak sosial atau amuk massa yang bergerak untuk membela kebebasan dan kemerdekaan. Namun, mengutip pandangan Eamonn Butler, bahwa “revolusi adalah jalan keluar terakhir” ketika segala bentuk reformasi dan musyawarah damai mencapai kebuntuan (Butler, 2019).
Referensi
Buku
Burke, Edmund. 1986. Reflections on the Revolution in France. New York: Pinguin Books.
Butler, Eamonn. 2019. Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat. terj. Juan Mahaganti. Jakarta. FNF Indonesia.
Departemen Pendidikan. 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi 2.
Greenblatt, Stephen. 2012. The Norton Anthology of English Literature: The Romantic Period. New York: W.W. Norton & Company Inc.
Habibie, Baharuddin Jusuf. 1995. Wawancara Habibie. Jakarta: Amanah Putra Nusantara.
Lasky, Melvin J. 1976. Utopia and Revolution: On the Origins of a Metaphor. Chicago: Chicago University Press.
Jurnal
Hatta, Mohammad. 1956/2002. “Lampau dan Datang”. Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. IV, edisi 3.
Internet
https://medium.com/@ajvenigalla/-8077517af9f1 Diakses pada 10 Oktober 2021, pukul 14.42 WIB.
https://www.gatra.com/detail/news/442901/politik/sri-bintang-pamungkas-ingin-jatuhkan-rezim-jokowi Diakses pada 11 Oktober 2021, pukul 14.53 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com