Jika kita gemar mengikuti perkembangan politik tanah air, tentu pembaca sudah mengetahui pernyataan Presiden Joko Widodo baru-baru ini tetang keinginan Beliau untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, yang dianggap tidak membawa keadilan bagi masyarakat. UU ITE (mungkin) menjadi salah satu produk undang-undang paling kontroversial dewasa ini.
Banyak orang berpendapat bahwa, dari kacamata yuridis, pasal-pasal dalam UU ITE memuat berbagai macam “pasal karet” atau peraturan multi tafsir yang rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Misalnya, dalam Pasal 27 ayat 3 mengenai defamasi, bahwa setiap orang dapat dipidana jika mereka membuat atau mendistribusikan sebuah informasi atau dokumen elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik.
Dengan kata lain, Pasal 27 ayat 3 tersebut bisa menyeret siapapun, seperti aktivis atau jurnalis, yang dianggap membuat atau menyampaikan sebuah pernyataan yang mengandung unsur penghinaan, maka ia bisa dikenakan pidana. Kita ambil contoh seorang pria dari Kepulauan Sula, Maluku Utara, yang mengunggah guyonan Gus Dur tentang 3 macam polisi (tentu pembaca sudah tahu). Akibat unggahannya, ia harus berurusan dengan aparat setempat alias dicokok polisi.
Juga seorang ustadz kondang yang mendekam dalam jeruji besi karena komentarnya di media sosial diduga telah menyindir ulama terkemuka yang dihormati oleh masyarakat Muslim Indonesia. UU ITE juga pernah menyeret seorang mahasiswa yang diduga menghina Presiden Jokowi di akun media sosialnya, walaupun presiden kemudian memaafkannya, sehingga mahasiswa tersebut mendapat penangguhan penahanan (Kompas.com, 21/3/2020). Meskipun berkat pengampunan presiden mahasiswa tersebut tidak ditahan, namun bagaimana dengan puluhan kasus serupa lainnya?
*****
Media sosial saat ini bukan hanya sebagai wahana untuk memperbanyak teman dan jaringan, tetapi lebih dari itu. Fungsi media sosial sudah menjadi sebuah wadah untuk berekspresi, menyampaikan aspirasi, juga tempat untuk mencurahkan isi hati dan opini. Media sosial bukan lagi sebagai pengisi waktu luang, bahkan sebagian orang sudah menganggap bahwa yang ‘nyata’ adalah dunia maya dan yang semu adalah dunia nyata.
Sebagai sebuah sarana untuk berekspresi dan menyampaikan isi hati, lumrah saja jika kita melihat berbagai dinamika yang terjadi di media sosial, seperti saling kritik, mengapresiasi, melempar banyolan, atau secara kreatif membuat meme jenaka. Karena kebebasan yang begitu luas di media sosial, beberapa warganet menggunakan media sosial untuk mengkritik dan mengemukakan pandangannya terhadap pemerintah dan berbagai fenomena politik di tanah air.
Kini, media sosial menjadi semacam alat politik yang memiliki pengaruh yang cukup luas. Kebebasan berkomentar dan pengaruh politik yang cukup besar di dunia maya, membuat pemerintah lewat UU ITE melakukan tindakan yang keras, seperti menangkap, mempidana, dan membungkam suara kritis.
*****
Meskipun UU ITE hadir dengan tujuan yang cukup mulia, namun dalam praktiknya, UU ITE bagaikan pisau bermata dua yang bisa menebas siapa saja. Di satu sisi bisa untuk membentuk norma-norma di dunia maya, tapi di sisi lain juga dapat menciptakan hukum tangan besi, di mana setiap yang mengkritik dan mencela pemerintah atau politisi pro pemerintah, maka akan dipidana.
Seiringnya undang-undang ini digunakan untuk membungkam suara lawan politik dan pribadi-pribadi yang kritis, membuat sisi mulia dari UU ITE ini sirna. Sehingga, dalam benak sebagian besar orang, UU ITE berfungsi sebagai senjata paling efektif pemerintah untuk menyingkirkan suara sumbang yang dianggap mengerogoti kewibawaannya.
Jika dibolehkan untuk melakukan “cocoklogi”, barangkali UU ITE hampir seperti peraturan Persbreidel Ordonantie yang termaktub dalam Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 1931 Nomor 44, pada era Kolonial Belanda. Melalui hukum tersebut, Pemerintah Kolonial mengeluarkan pembatasan-pembatasan pers, bahkan tak segan-segan membredel (dari kata breidel) surat kabar yang memuat artikel berisi penghinaan, provokasi dan membahayakan pemerintah (Nugraha dkk, 2020).
Salah satu tokoh seperti Aliacham, tokoh Komunis Indonesia, pernah menjadi korban dari aturan ini. Hal ini dikarenakan, Aliacham mengkritik para priyayi Jawa sebagai seorang “Togog” (tokoh dalam wayang purwa; sifatnya baik tapi selalu bersama orang-orang jahat dan menjilat mereka) dalam surat kabar Sinar Hindia (Perhimpunan Dokumentasi Indonesia, 1964)
Selain itu, tidak sedikit juga tokoh-tokoh nasional dalam sejarah yang menjadi korban dari aturan Pemerintah Kolonial yang membatasi ruang gerak berpikir dan berpolitik tersebut. Beberapa tokoh tersebut, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, menjadi tokoh nasional yang sering keluar masuk penjara karena artikelnya di surat kabar dianggap mengganggu stabilitas Pemerintahan Hindia-Belanda.
Setelah kemerdekaan, Persbreidel Ordonantie yang merupakan warisan kolonial dihapus, dan Indonesia masuk ke dalam era Demokrasi Liberal. Mungkin ini adalah era keemasan bagi kebebasan pers dan individu. Di era ini, pemikiran dan ideologi politik bersaing secara sehat. Di bidang seni, film Tamu Agung (1955) besutan Usmar Ismail, merupakan salah satu film satire komedi yang berani mengkritik rezim Sukarno.
Kebebasan pada masa demokrasi liberal cukup membuat gerah penguasa, hingga Sukarno, sebagai presiden pada saat itu mengutuk sistem demokrasi liberal dan mendeklarasikan manipol usdek dan demokrasi terpimpin. Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah mengeluarkan ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Pers dan Dekrit Presidn No.6/1963 tentang wajibnya pers mendukung pemerintah (Praptanto, 2010).
Kebijakan pembatasan pers pada masa Orde Lama juga diikuti dengan Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, sehingga setiap individu atau kelompok yang mengganggu kewibawaan pemerintah dan dianggap mengganggu stabilitas nasional dan akan ditangkap. Penpres No. 11 tahun 1963 ini kemudian dilanggengkan oleh soeharto pada masa Orde Baru untuk membungkam suara kritis terhadap pemerintah (Heryanto, 1996).
Ketika Orde Baru mendapatkan kritikan hebat yang berpuncak pada tragedi Malari 1974, Presiden Suharto kemudian menerbitkan Penetapan Presiden pada 4 Februari 1974 tentang Pembentukan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional guna melawan tindakan subversi dan kekacauan (sinarharapan.net, 5/2/2019). Akibat dari munculnya undang-undang anti subversi dan pengekangan kebebasan pers, akhirnya membuat beberapa tokoh kritis di tangkap di masa Orde Baru. Salah satunya adalah tokoh pers Indonesia, Mochtar Lubis.
*****
Undang-undang ITE dan UU Subversi pada hakikatnya memiliki tujuan untuk menciptakan stabilitas politik. Dalam politik, stabilitas memang adalah suatu yang dibutuhkan. Namun sayangnya, undang-undang tersebut justru malah berbalik melawan suara-suara kritis. Para tokoh dan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah, kerap mendapatkan kesempatan untuk menginap di hotel prodeo oleh aparat penegak hukum.
Lebih jauh lagi, kebijakan represif yang mendapat pembenaran hukum justru dapat memberangus kebebasan dan demokrasi. Dampaknya, partisipasi masyarakat untuk membangun negara serta ide-ide kreatif masyarakat tidak bisa hidup jika pemerintah mengabaikan peran aktif masyarakat dalam bernegara.
Sebagai penutup, revisi terhadap UU ITE bukan hanya sebuah angin segar tetapi juga sebuah harapan. Diharapkan undang-undang tersebut tidak akan lagi bisa disalahgunakan untuk membungkam kebebasan atau kritik masyarakat tehadap pemerintah atau pihak lainnya. Ya, semoga wacana Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU ITE tidak hanya menjadi sebuah wacana.
Referensi
Buku
Praptanto, Eko. 2010. Sejarah Indonesia: Zaman Orde Lama, Jilid 8. Jakarta: Bina Sumberdaya MIPA.
Jurnal
Nugraha, Fajar Muhammad dkk. 2020. “Kasus Ujaran Kebencian dalam Berita Surat Kabar Hindia Belanda”. Jurnal Paradigma: Jurnal Kajian Budaya. Vol. 10 No. 3, h. 225–242.
Perhimpunan Dokumentasi Indonesia. 1964. “Aliarcham: Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja”. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.
Artikel Koran
Heryanto, Ariel. “Undang-Undang Tentang Subversi”, pada harian Kompas 17 Februari 1996.
Internet
https://regional.kompas.com/read/2020/03/21/22471431/presiden-jokowi-beri-maaf-mahasiswa-yang-diduga-menghina-di-medsos?page=all Diakses pada 20 Februari 2021, pukul 23.11 WIB.
https://sinarharapan.net/2019/02/dewan-stabilisasi-politik-dan-keamanan-nasional-2/ Diakses pada 21 Februari 2021, pukul 15.46 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com