Revenge Porn dan Bahayanya terhadap Privasi dan Hak Korban

80
sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56629820

Akhir bulan Mei kemarin tampaknya diwarnai satu isu prihatin yang menimpa salah satu artis Indonesia. Pasalnya, artis tersebut menjadi korban dari kasus revenge porn. Namun, alih-alih menunjukkan simpati terhadap korban (si artis itu sendiri), banyak netizen Indonesia justru menyalahkan korban (victim blaming) dan mempermalukannya (slut shaming). Ditambah lagi, video atau foto privat dari artis tersebut semakin disebar di internet.

Pada dasarnya, revenge porn sendiri adalah istilah yang merujuk pada tindakan membagikan konten eksplisit atau intim seseorang secara tidak sah, terutama dengan niat untuk melukai atau merendahkan mereka. Biasanya, revenge porn terjadi ketika seseorang membagikan foto, video, atau materi seksual lainnya tentang seseorang tanpa persetujuan mereka, seringkali sebagai bentuk balas dendam atau kekerasan. Dalam kasus lain, korban (biasanya perempuan) tidak mengetahui bahwa mereka direkam dengan kamera tersembunyi. Konten tersebut lalu disebarkan menggunakan komputer dan alamat surel yang diretas.

Berdasarkan definisi dan praktiknya tersebut, revenge porn jelas merupakan pelanggaran serius terhadap privasi dan hak korban. Hal ini dikarenakan seseorang dengan sengaja dan tanpa persetujuan membagikan konten eksplisit atau intim tentang orang lain. Ini melanggar hak privasi individu untuk menjaga informasi pribadi mereka tetap rahasia dan memilih dengan siapa mereka membagikan materi pribadi mereka.

Padahal, privasi adalah hak fundamental setiap individu untuk mengendalikan informasi pribadi mereka dan memilih cara dan dengan siapa informasi tersebut dibagikan. Dengan adanya revenge porn, ini melanggar hak privasi korban dengan memperoleh dan menyebarkan materi pribadi orang lain tanpa izin mereka. Selain itu, aksi revenge porn ini dapat memiliki konsekuensi emosional, psikologis, dan sosial yang signifikan bagi individu yang terlibat.

Bagaimanapun cara konten tersebut diproduksi, entah dengan persetujuan bersama, dicuri, maupun diambil diam-diam, tetap tidak dapat diterima. Korban memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan dapat melakukan apapun dengannya tanpa harus dihakimi atau dihina. Mempermalukan korban hanyalah satu ekspresi dari kultur yang melecehkan, di mana perempuan terus menerus diatur serta secara konstan didikte bagaimana harus bersikap. Kasus revenge porn menjelaskan bahwa tubuh perempuan bersifat politis. Seksualitas perempuan bersifat kontroversial dan internet menjadikan respons seksis semakin lantang.

Yang perlu diperhatikan dalam mereduksi kasus ini adalah bagaimana payung hukum di negara berlaku. Bahkan, penting untuk diingat bahwa privasi adalah hak yang diakui secara luas di berbagai yurisdiksi dan diatur oleh undang-undang yang berlaku. Privasi adalah hak asasi manusia yang penting dan harus dihormati. Melawan revenge porn dan melindungi privasi individu adalah upaya yang penting dalam menjaga keadilan dan keamanan di dunia digital yang semakin kompleks ini.

Sayangnya, konsekuensi hukum dari tindak revenge porn hanya berlaku di beberapa negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Lebanon, dan Inggris. Di sebagian besar negara, hukum seolah membisu terhadap pelanggaran privasi dan hak kepemilikan gambar, yang dapat dinilai sebagai sebuah bentuk baru pelecehan seksual. Sebuah masyarakat di mana pelaku revenge porn tidak dapat diadili, akibat minimnya kekuatan ataupun tindakan hukum, adalah masyarakat yang secara aktif mendorong pemerkosaan. Masyarakat inilah yang melanggengkan kultur pelecehan di kehidupan sosialnya.