Ketika wabah Covid-19 menyerang warga kota Wuhan, China, hingga menginfeksi puluhan ribu orang, saya memprediksi bahwa virus ini akan menyebar ke seluruh dunia. Ketika wabah ini menginfeksi masyarakat China, saya menyimak respon masyarakat Indonesia, khususnya komentar kaum “religius”.
Di media sosial sepeti Facebook dan Twitter, mereka berkata bahwa wabah yang menyerang China adalah azab (hukuman Tuhan) bagi rakyat China yang bertindak zalim pada etnis Uyghur. Sebagian lain mengatakan, bahwa virus ini akibat warga China gemar memakan-makanan haram.
Tentu saja, komentar-komentar netizen yang “sok religius” ini sangat tidak sopan dan tidak bermoral. Di saat warga Wuhan mati-matian bertaruh nyawa, mereka membawa-bawa Tuhan untuk mengejek sesama. Sikap nyinyir dan menyepelekan itu tidak hilang bahkan ketika ribuan rakyat Indonesia telah terinfeksi virus ini.
*****
“Corona hanya menyerang mereka yang tidak sholat.” kata seorang pria paruh baya berjubah putih dalam sebuah video yang viral baru-baru lalu. Pria paruh baya tersebut berkelahi dengan aparat setelah dia menolak untuk mentaati aturan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah, dan berdalih bahwa Corona hanya menyerang mereka yang tidak beriman pada Tuhan.
Ketika pandemi ini telah menyebar dan banyak menimbulkan korban, banyak orang-orang yang menganggap bahwa Corona muncul karena azab dari Allah, dan wabah ini akan menyerang kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya. Karena itulah, orang-orang yang ketakutan diserang wabah segera pergi ke rumah ibadah, membaca kitab suci dan merapalkan doa-doa perlindungan.
Anggapan seperti ini lumrah saja dalam masyarakat yang berpandangan religius. Namun, dalam situasi yang tidak normal seperti sekarang ini, pola keberagamaan dan ritual umat beragama tentu harus diubah. Faktanya, penyebaran virus ini bukan hanya menyerang yang tidak sholat. tetapi menjangkiti setiap orang tanpa mengenal ampun.
Ya, selama bulan Ramadhan kemarin lalu, kita banyak melihat orang-orang memaksakan diri untuk shalat berjamaah di masjid, berkumpul secara rapat dengan melanggar aturan PSBB. Bahkan, ketika sebuah masjid ditutup di wilayah zona rawan Covid-19, warga malah nekat membuka masjid yang ditutup hingga memanjat pagar (Suara.com, 27/04/2020).
Alih-alih mendukung PSBB, masyarakat malah mengira PSBB adalah konspirasi PKI dan rezim untuk menjatuhkan umat Islam. Mereka menganggap bahwa virus Corona adalah rekayasa Yahudi, sehingga mereka mengabaikan aturan kesehatan dan merasa doa-doa bisa menyelesaikan semua masalah.
Di India, pada bulan Maret lalu, para pengikut Hindu melakukan acara doa massal untuk menolak wabah. Bahkan, seorang kelompok Hindu garis kanan menganjurkan agar masyarakat mengkonsumsi air urin sapi (hewan yang disakralkan dalam kepercayaan Hindu India) dengan tujuan untuk menangkal virus Corona (The Interpreter, 24/03/2020).
Agama dan Wabah
Jika kita menonton film The Physician (2012) yang diambil dari novel karangan Noah Gordon, terdapat gambaran dalam film, saat masyarakat begitu ketakutan dengan adanya wabah black death (pes) yang menyerang kota Isfahan. Wabah pes ini menyerang masyarakat dengan begitu cepatnya, banyak orang-orang yang berdoa namun jatuh berguguran.
Satu persatu mayat-mayat bergelimpangan di setiap kota. Sedangkan, raja dan para kepala agama justru malah seenaknya mengungsi keluar kota meninggalkan ribuan rakyatnya yang terkurung di dalam kota bersama wabah pes yang ganas.
Dalam film tersebut, para hakeem (dokter/ ilmuwan) di kota Isfahan, pimpinan Ibn Sina, berjibaku melawan wabah dan mengerahkan segala pengetahuan untuk melenyapkan wabah. Setelah wabah berhasil ditangani, alih-alih dianggap pahlawan, para hakeem justru diteror oleh para agamawan karena ilmu pengetahuan dan filsafatnya dianggap sebagai “kedurhakaan” sehingga Tuhan menurunkan wabah.
Film The Physician mendiskripsikan dengan baik pertentangan antara agamawan dan ilmuwan, di mana para agamawan lebih mengedepankan doa dan berkat Tuhan untuk kesembuhan, ketimbang menggunakan obat-obatan yang dianggap menentang kuasa Tuhan. Para agamawan dalam film tersebut digambarkan sebagai sosok sok tahu dan sok pede, merasa dirinya paling bisa mengusir penyakit dan menganggap ridho Tuhan ada pada kehendaknya.
Hal ini serupa dengan yang terjadi di Eropa abad pertengahan. Dalam Ancient History Encyclopedia, ketika wabah menyerang, masyarakat akan berkumpul untuk melakukan pertobatan dan memanjatkan doa pada Tuhan. Di sini, agamawan akan memimpin doa-doa untuk mengusir wabah, bukan hanya menggunakan doa dan jimat. Para agamawan juga melakukan inkuisisi kepada orang-orang yang dituduh pendosa dan penyihir yang membawa wabah (Ancient History Encyclopedia, 16/04/2020).
Selain itu, muncul pula orang-orang yang memukul dan menyiksa diri mereka sepanjang jalan sebagai bentuk pertobatan pada Tuhan. Orang-orang ini disebut sebagai Kaum Flagela. Mereka menganggap bahwa dosa-dosa mereka terhadap Tuhan menyebabkan wabah pes berkembang. Awalnya gerakan ini hanya diikuti oleh para biarawan. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak orang-orang awam yang mengikuti ritual menyiksa diri ini.
Dalam tradisi masyarakat Nusantara, orang-orang zaman dahulu menyebut wabah sebagai pangeblug, yang biasanya diakibatkan karena ketidakharmonisan antara manusia dengan roh alam. Biasanya, masyarakat akan berkumpul dan beramai-ramai menyelenggarakan ritual tolak bala dengan menghidangkan rupa-rupa sesaji atau menyelenggarakan pementasan wayang dan berbagai acara rakyat sebagai ruwatan untuk mengusir bencana (etnis.id, 23/032020).
Namun pada faktanya, seluruh kegiatan ini bukan hanya tidak efektif tetapi sebaliknya. Acara doa dan ruwat yang memobilisasi banyak orang justru malah membuat wabah penyakit semakin menyebar dan otomatis pandemi semakin lama berakhir.
Berdoa dan mengadakan ritual sesuai kepercayaan memang wajar saja. Namun, dalam situasi pandemi seperti ini, harus ada pengecualian-pengecualian. Sebab, pandemi Covid-19 yang kita alami sekarang menyebar sangat cepat dan orang-orang yang berkumpul menjadi sasaran empuk bagi virus ini. Sayangnya, beberapa agamawan tetap saja bebal dan mereka merasa dirinya sakti dan masyarakat membebek buta begitu saja mengikuti anjuran agamawan tersebut.
Mengubah Paradigma Beragama Kita
Kata “agama” yang dicantumkan penulis dalam judul di atas bermakna metafora bukan harfiah. Yang penulis maksud adalah pola beragama para pemeluk agama yang merasa dirinya paling religius dan merasa Tuhan berpihak pada mereka, bukan agama sebagai sebuah konsep kepercayaan dan ajarannya.
Di tangan para pemeluk agama yang konservatif dan tahayul dalam berpikir, agama akan menjadi sebuah kepercayaan yang mistik dan jauh dari nilai-nilai ilmiah. Ketika agama diinterpretasi oleh seorang ekstrim yang sempit dalam menafsirkan agama, maka pola keberagamaan akan berubah menjadi keras dan radikal.
Ketika wabah menyerang, kaum beragama menggunakan logika mistika (istilah Tan Malaka dalam Madilog). yaitu cara pandang tradisional yang argumennya melompat-lompat. Contohnya, Corona itu musibah dari Tuhan, karena itu kita harus berdoa pada Tuhan agar tebebas dari Corona.
Premis pertama benar bahwa Corona adalah virus dari Tuhan, tapi kesimpulannya salah karena melompati premis kedua, yaitu Corona menyerang manusia dalam bentuk penyakit yang alamiah. Sesuatu yang alami harus ditangani secara alami. Di abad ke-7, Nabi Muhammad mengajarkan pada umatnya yang sakit agar berobat dengan obat-obatan yang lumrah pada masanya, seperti dengan bekam dan meminum madu, karena berdoa saja tidak cukup.
Walaupun zaman sudah berubah, masyarakat tradisional sudah berubah menjadi masyarakat modern, surat-menyurat sudah berubah menjadi komunikasi via email, SMS dan WhatsApp Messenger, namun cara berpikir kaum beragama masih saja tradisional. Seperti masyarakat abad pertengahan, mereka masih menggunakan logika mistik yang lebih fokus kepada Tuhan, tanpa memperdulikan karya ciptaan Tuhan yang ada di depan mata.
*****
Menurut hemat penulis, paradigma keagamaan yang kuno dan tradisional sudah tidak relevan lagi. Kita harus menyusun sebuah konsepsi baru yang disebut “teologi kehidupan”. Teologi berasal dari kata theo (Tuhan) dan logos (ilmu). Teologi tidak serta merta ilmu untuk mengkaji tentang Tuhan, tapi berusaha menafsirkan firman Tuhan ke dalam konteks masa kini.
Jika kaum tradisional membangun basis teologi dengan logika mistika, maka kaum ekstrimis agama membangun basis teologinya dengan berbasis pada teori konflik dan teori konspirasi. Teologi yang seharusnya dibangun saat ini haruslah teologi yang bersandar pada pandangan ilmiah dan liberal.
Ilmiah dalam artian bahwa Tuhan berkuasa lewat hukum alam yang tetap dan liberal, artinya Tuhan adalah sosok yang maha pemurah, welas asih, membuka ruang kesempatan pada setiap manusia tanpa membedakan ras dan suku. Para pembaharu Islam seperti Ahmad Khan, Fazlur Rahman, Cak Nur, dan Harun Nasution, berusaha untuk membangun sistem teologi yang bersendikan kepada rasionalitas dan besifat fleksibel.
Dalam menghadapi pandemi, setiap orang harus tetap bersikap rasional dan waspada. Dalam situasi saat ini, peran kaum agamawan sangat besar, sebab para agamawan mempunyai otoritas langsung yang setiap perkataannya pasti didengar oleh umat yang mengikutinya. Para agamawan harus mensosialisasikan pola hidup sehat dan ilmiah dalam menghadapi wabah virus.
Para agamawan secara tidak langsung bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat dan memberikan informasi yang benar pada masyarakat. Jika agamawan tetap bersikap antipati terhadap himbauan pemerintah, cuek terhadap pandemi, dan tetap berpikiran mistik dalam menghadapi fenomena wabah, berarti para agamawan telah mengulang sejarah kembali. Yakni, para agamawan justru membuat umatnya terjerat oleh penyakit yang kemudian meluas menjadi pandemi.
Referensi
https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/in-india-praying-covid-away Diakses pada 28 Mei 2020, pukul 05.06 WIB.
https://www.ancient.eu/article/1541/religious-responses-to-the-black-death/ Diakses pada 28 Mei 2020, pukul 05.22 WIB.
https://etnis.id/pageblug-dan-ritus-tolak-bala-di-jawa/ Diakses pada 23 Mei 2020, pukul 05.25 WIB.
https://www.suara.com/news/2020/04/27/150443/masjid-ditutup-warga-ngotot-panjat-pagar-demi-salat-tarawih Diakses pada 28 Mei 2020, pukul 16.20 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com