Judul Film: Invictus
Sutradara: Clint Eastwood
Tahun Rilis: 2009
Durasi: 133 Menit
Studio: Warner Bros. Pictures
Bagi Anda yang gemar mempelajari sejarah dunia, khususnya sejarah dunia di abad ke-20, pastinya Anda tidak asing lagi dengan istilah Apartheid. Apartheid merupakan praktik segregasi sosial yang diterapkan di Afrika Selatan, yang memisahkan antara kulit hitam dan kulit putih, di seluruh fasilitas publik seperti rumah makan, rumah sakit, perumahan, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Apartheid bukan hanya sekedar segregasi sosial semata. Segregasi tersebut, yang sudah dipraktikkan sejak masa kolonialisme Inggris, dan secara resmi diformalkan pada awal dekade 1960-an, digunakan sebagai alat untuk menjaga dominasi warga kulit putih yang minoritas terhadap warga mayoritas kulit hitam. Pada masa Apartheid, warga kulit hitam tidak memiliki hak pilih, dan tidak bisa menjadi pejabat tinggi di pemerintahan (History.com, 2010).
Praktik Apartheid ini membuat Afrika Selatan dikecam dan menjadi dikucilkan oleh dunia internasional. Berbagai institusi di banyak negara memboikot Afrika Selatan untuk terlibat di berbagai kegiatan, seperti kegiatan olahraga, pendidikan, seni & kebudayaan, dan lain-lain (sahistory.org.za, 2017).
Kebijakan Apartheid yang diberlakukan pemerintahan kulit putih ini juga tidak membuat warga kulit hitam tinggal diam dan mereka pun melakukan perlawanan, baik secara damai maupun dengan mengangkat senjata. Salah satu aktivis anti-Apartheid yang paling terkenal adalah Nelson Mandela, yang kelak menjadi Presiden Afrika Selatan pertama setelah sistem Apartheid dihapuskan. Kisah kepemimpinan Nelson Mandela ini diabadikan di layar lebar dalam film “Invictus”, yang digarap oleh sutradara ternama, Clint Eastwood.
Film “Invictus” diawali dengan pembebasan Nelson Mandela, yang diperankan oleh aktor kawakan Morgan Freeman, dari penjara setelah 27 tahun mendekam di balik jeruji besi. Ia dipenjara oleh rezim Apartheid karena berupaya untuk menumbangkan sistem diskriminasi sosial tersebut dan membangun Afrika Selatan yang adil dan terbuka bagi seluruh warganya terlepas dari etnis dan warga kulitnya.
Setelah Mandela dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan pada tahun 1994, banyak warga kulit hitam yang menaruh kecurigaan terhadap Presiden baru tersebut. Mereka menganggap Mandela akan memberlakukan reverse racism terhadap warga kulit putih sebagaimana yang diberlakukan Pemerintah Apartheid terhadap warga kulit hitam di masa lalu.
Di hari pertama bekerja di kantor kepresidenan, para pegawai pemerintahan yang berkulit putih, yang sebelumnya bekerja untuk Presiden F. W. de Klerk, ramai-ramai mengemas barang-barang mereka, dan menganggap bahwa mereka akan segera dipecat dari pekerjaannya. Melihat hal tersebut, Mandela segera mengumpulkan seluruh stafnya, dan menyatakan bahwa ia menginginkan Afrika Selatan yang baru, yang tidak mendiskriminasi etnis manapun. Bila pegawai pemerintahan yang berkulit putih tersebut tetap ingin bekerja di kantor kepresidenan, maka mereka tetap bisa bekerja di tempat tersebut.
Tidak hanya menerima pegawainya yang berkulit putih, Mandela juga bahkan mempekerjakan pengawal berkulit putih, yang sebelumnya bekerja mengawal Presiden de Klerk. Beberapa pengawalnya yang berkulit hitam mencoba memprotes keputusan Mandela tersebut, namun Presiden Afrika Selatan tersebut tetap bersikukuh tetap mempekerjakan mereka dan membangun negara Afrika Selatan yang baru.
Setelah kekalahan tim nasional (timnas) Rugby Afrika Selatan, Springboks, melawan Inggris, Mandela mendengar kabar bahwa Komite Olahraga Afrika Selatan memutuskan untuk mengganti nama timnas Rugby Afrika Selatan dan logonya, yang dianggap sebagai simbol Apartheid. Mandela segera mendatangi rapat komite tersebut, dan menyatakan ketidaksetujuannya untuk mengganti logo dan nama timnas Rugby Afrika Selatan karena hal tersebut akan semakin menjauhkan warga kulit putih di Afrika Selatan, yang sebagian besar diantaranya merupakan pendukung dari timnas tersebut.
Cerita mengenai perjalanan timnas Rugby Afrika Selatan ini, dan juga peran Nelson Mandela dalam membangun kekuatan moral tim tersebut kelak akan menjadi fokus cerita dalam film ini. Setelah berkali-kali mengalami kekalahan, Mandela lantas memutuskan untuk mengundang kapten dari timnas Rugby Afrika Selatan, Francois Pienaar, yang diperankan oleh Matt Damon, ke kantor presiden, untuk mendiskusikan mengenai perihal timnas Rugby negaranya di Piala Dunia.
Mandela juga mengundang timnas Rugby negaranya, yang hampir seluruh pemainnya berkulit putih, untuk pergi dan berinteraksi dengan kawasan-kawasan miskin yang dihuni oleh warga kulit hitam, untuk memperkenalkan olahraga tersebut. Selain itu, diharapkan para anggota timnas tersebut juga akan melihat realitas sosial yang terjadi di negaranya sebagai akibat dari kebijakan Apartheid.
Mendekati pertandingan melawan timnas Australia, Mandela juga mendatangi tempat latihan tim Springboks Afrika Selatan untuk bertemu dan memberi dukungan moral. Ia menyatakan bahwa negara dan pemerintah Afrika Selatan sepenuhnya mendukung mereka untuk meraih kemenangan di Piala Dunia. Tim Springboks akhirnya berhasil memenangkan pertandingan melawan Australia.
Setelah berhasil memenangkan pertandingan melawan berbagai negara lain, timnas Rugby Afrika Selatan akhirnya berhasil masuk ke final Piala Dunia melawan Selandia Baru. Tidak hanya itu, dukungan yang dilakukan Mandela juga membuat tim Springboks semakin populer dan mendapat dukungan besar, tidak hanya dari warga kulit putih, namun juga warga kulit hitam di Afrika Selatan. Para pengawal Mandela, yang terdiri dari kulit hitam dan kulit putih, yang sebelumnya saling menaruh kecurigaan satu sama lain, juga menjadi semakin bersahabat, dan mereka pun bermain Rugby bersama di taman kantor kepresidenan.
Sejarah selanjutnya menjadi saksi dari akhir film ini. Afrika Selatan akhirnya berhasil memenangkan Piala Dunia Rugby pada tahun 1995 melawan Selandia Baru. Peristiwa tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai salah satu tonggak terpenting dalam sejarah olahraga Afrika Selatan, dan merupakan salah satu momen paling krusial yang memiliki pengaruh besar dalam membantu mempersatukan masyarakat Afrika Selatan yang sebelumnya tersegregasi pada saat rezim Apartheid berkuasa.
Film “Invictus” ini bagi saya bukan hanya film mengenai drama olahraga semata. Film ini merupakan karya yang menunjukkan kepada kita betapa luar biasanya kepemimpinan Nelson Mandela dalam berupaya membangun negaranya yang sudah terpecah-pecah berdasarkan ras dan etnis selama berdekade-dekade.
Nelson Mandela tidak diragukan lagi merupakan salah satu pemimpin dunia terbesar di abad ke-20, dan mungkin dalam sejarah modern. Tanpa kepemimpinannya yang untuk membangun Afrika Selatan yang baru adil, dan terbuka, dan tekadnya yang kuat untuk mengobati luka yang sangat mendalam yang dialami oleh warga kulit hitam selama bertahun-tahun tanpa membalas dendam kepada warga kulit putih, Afrika Selatan saat ini niscaya akan terpecah belah dan bukan tidak mungkin jatuh ke dalam perang sipil.
Semoga kelak Afrika Selatan dapat terus melanjutkan warisan Mandela yang sangat luar biasa, dan kita semua dapat belajar betapa pentingnya integritas dan kepemimpinan yang kuat dalam mempersatukan dan membangun sebuah negara.
Referensi
https://www.history.com/topics/africa/apartheid Diakses pada 23 Februari 2021, pukul 12.10 WIB.
https://www.sahistory.org.za/article/south-africas-academic-and-cultural-boycott Diakses pada 23 Februari 2021, pukul 13.05 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.