Judul Buku : Moral Kapitalisme: Apa yang Profesormu Tak Pernah Ajarkan
Editor : Tom G. Palmer
Penerbit : Friedrich Naumann Foundation & Suara Kebebasan
Tahun Terbit : 2017
Jumlah Halaman: 158
Kapitalisme hingga hari ini masih merupakan fakta yang menyedihkan dan tidak bermoral di mata lawan-lawannya. Seakan, basis intelektual dan muatan moral yang dirumuskan oleh para ekonom dan filsuf zaman dulu terhadap sistem ini tidak ada gunanya sama sekali. Seperti ada di hati kecil mereka yang selalu berkata: “sistem ini kurang manusiawi, terlalu egois, busuk”.
Wajar saja, jika noda-noda itu selalu tampak di mata para pencibir kapitalisme, karena mereka selalu terpaku pada permukaan sistem ini dan bukan pada efek-efeknya yang tak terlihat. Mereka sangat yakin telah melihat kekurangannya dan dengan segera ingin membuat suatu sistem artfisial, tak peduli sistem itu memaksa ataupun sejalan dengan hukum ekonomi.
Sosialisme dengan segala variannya menjadi ide segar bagi mereka, dan konon adalah sistem paling peka dalam melihat ketimpangan di masyarakat. Tapi sayangnya, kepekaan itu sekaligus membutakan mereka bahwa sosialisme pada dirinya mensyaratkan perampasan dan perbudakan dalam menjalankannya. Sejarah telah mencatat itu.
Selain itu, kapitalisme di mata mereka adalah sistem yang tidak melibatkan nilai. Para pemodal dianggap melihat orang lain hanya sebatas bagian dari akumulasi profit. Asumsi-asumsi yang menyesatkan seperti ini hendaknya kita perbaharui, sebab fakta menunjukan bahwa kemajuan manusia ditopang oleh melimpahnya barang dan jasa yang diciptakan oleh para kapitalis. Dan perlu kita ketahui, hari ini tidak ada manusia yang menjadi begitu rendah karena sistem kapitalisme ini.
Tak bisa juga dipungkiri, bahwa kapitalisme ideal yang diharapkan oleh pendukung liberalisme klasik telah digeser oleh sejenis kapitalisme yang merusak. Banyak penentang kapitalisme yang begitu saja menyamakan bahwa kapitalisme kroni, kapitalisme negara, dan korporatisme sebagai saudara kembar dari ideal kapitalismenya liberalisme klasik atau libertarian. Hal ini penting untuk diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Buku Moral Kapitalisme, yang diedit oleh Wakil Presiden Atlas Network untuk Program Internasional, Tom G. Palmer, menjelaskan sekaligus memberikan argumen untuk keberatan-keberatan yang ditunjukan oleh para penentang kapitalisme. Dan secara menyeluruh, masalah yang paling banyak diajukan terhadap eksistensi kapitalisme adalah persoalan etis, sehingga perlu kiranya kita mempelajari tulisan-tulisan para intelektual dalam buku ini untuk menjawabnya.
Pada bagian pertama buku ini, kita disajikan dengan wawancara menarik dan penuh dengan pengalaman konkret dari seorang pengusaha. Tom G. Palmer mewawancarai CEO Whole Foods, John Mackey, perihal makna dan konsep self-interest sebagai basis kerja kapitalisme. Dalam wawancaranya, ia tidak sepakat dengan argumen bahwa manusia ketika melakukan sesuatu semata didorong oleh kepentingan pribadi. Ia melihat bahwa motif yang ada di balik tindakan manusia terlalu kompleks untuk sekedar ditandai dengan kepentingan pribadi. Bahkan dikotomi antara selfishness dan altruisme, menurutnya, tidak mesti ada.
Barangkali, memang tindakan manusia, jika ditarik dari pengalaman langsung, tidak sepenuhnya bisa direpresentasikan oleh hanya satu teori. Namun, hal ini dengan sangat jelas menegaskan bahwa Mackey adalah seorang individu dengan segala keinginan dan dorongan yang ada padanya. Ia berpikir dan bertindak sebagai individu. Dan prinsip etis yang sejatinya menopang eksistensi individu ini adalah kebebasan dan hak milik, bahkan prinsip inilah yang menopang kemajuan suatu masyarakat sejak revolusi industri.
Pada bagian dua buku ini, Anda juga akan menemui sebuah penjelasan yang menarik soal kepentingan pribadi dalam hubungannya dengan pertukaran dalam pasar. Seorang ekonom sekaligus intelektual asal China, Mao Yushi, menunjukkan sebuah kondisi dan logika paradoks, jika dalam sebuah pertukaran seseorang mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingannya sendiri. Ia menyebut pertukaran dengan motif demikian sebagai “paradoks moralitas”. Konsekuensi yang ditunjukkan oleh Mao dari tindakan tersebut adalah perselisihan, dan tentunya, sangat bertentangan dengan ekonomi pasar.
Persoalan yang dibahas oleh Mao Yushi adalah persoalan moral yang punya tendensi ke arah altruisme. Dan itu berbeda tentunya dengan transaksi atau pertukaran barang yang dilakukan oleh dua orang dalam logika pasar, yang mana didorong oleh masing-masing-masing preferensi atau kepentingan pribadi; keduanya berharap mendapatkan keuntungan dari pertukaran tersebut.
Ini kemudian yang disebut preferensi terbalik dalam ekonomi mazhab Austria, sebuah hukum ekonomi yang mempunyai karakter aksiomatik dan universal. Maka merupakan suatu kebodohan menjalankan suatu bisnis dengan dilatari moralitas yang keliru. “Menjalankan suatu bisnis dengan tujuan merugi adalah sebuah cara yang bodoh, bahkan tolol untuk menjadi seorang dermawan,” demikian H.B Acton, dalam bukunya The Morals of the Markets.
Bagian ketiga pada buku ini juga sangat penting untuk dibaca. Ludwig Lachman membahas perihal distribusi kekayaan dalam hubungannya dengan ekonomi pasar. Ia juga mengkritisi permasalahan dari konsep ekuilibrium, yang menurutnya tidak bisa dipakai dalam menentukan sebuah keberhasilan dari distribusi kekayaan. Sebab, ekuilibrium mengandaikan sebuah perencanaan konsisten, sedangkan redistribusi kekayaan tidak demikian. Bagaimana kiranya kita memahami ini?
Yang jelas, distribusi kekayaan adalah bentuk dari kekuatan pasar. Ia adalah objek, kata Lachman, bukan agen. Jadi, jika masyarakat percaya dan memikirkan lebih lanjut bagaimana mekanisme pasar bekerja, mungkin politisi akan kehabisan ide untuk membuat semacam program-program pemerataan dalam kampanyenya.
Pada bagian terakhir buku ini, Anda akan menemukan esai dari seorang intelektual publik, novelis dan pemenang Hadiah Nobel dalam bidang sastra, Mario Vargas Llosa. Ia membahas fakta globalisasi dan masyarakat yang anti globalisasi karena alasan identitas budaya. Ia berpendapat bahwa penolakan terhadap globalisasi biasanya tidak berkaitan dengan ekonomi, tapi justru pada etika dan budaya. Ini sangat penting jika kita kaitkan dengan konsep kita terhadap struktur masyarakat.
Para penentang globalisasi umumnya mempunya asumsi yang kuat soal kesucian identitas budaya, sehinga membawa mereka pada kepercayaaan kolektivisme yang kuat ketimbang kepada individualisme. Dan tentunya, kita tidak bisa berharap banyak pada mental seperti ini untuk kemajuan suatu masyarakat. Sebab, indvidu akan selalu ada di bawah kekuatan imaginasi yang tabu tapi sekaligus koersif.
Pada akhirnya, jika kita perhatikan lebih saksama, banyak orang sebenarnya sudah menyadari manfaat langsung dari pasar bebas dan keniscyaan dari peran indvidu-individu kreatif di dalamnya, sekalipun orang tersebut menganut sebuah ideologi yang menentang kapitalisme. Tidak ada yang terlalu bodoh sekarang ini untuk menolak kapitalisme karena mengira masih ada sistem terbaik selainnya.
Di abad ke-21 ini, abad yang konon disebut-sebut sebagai abad yang sedang memasuki Revolusi 4.0, sistem kapitalisme sudah menjadi hal yang niscaya, sebagai conditio sine qua non. Setiap individu akan dituntut untuk lebih inovatif dan kreatif dalam merespon segala perubahan. Apalagi, relasi sosial kita telah berubah secara signifikan karena keberadaan arus teknologi yang begitu pesat. Ilmuwan kognitif Universitas Harvard, Steven Pinker, bahkan menyatakan bahwa kemajuan masyarakat hari ini tidak bisa dibayangkan oleh generasi-generasi terdahulu, karena begitu maju dan beradab.
Buku Moral Kapitalisme ini dapat memberikan kepada khalayak pembaca uraian yang cukup lengkap soal prinsip-prinsip dasar yang menopang sistem kapitalisme, baik dalam tataran etik, politik, maupun ekonomi. Tak luput pula, gagasan-gagasan filosofis dari para penulis esai dalam buku ini sungguh kaya dan barangkali akan membuat kita kembali merefleksikan pentingnya kedudukan kapitalisme dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera, maju, dan beradab.
Dalam buku ini juga, telah disajikan daftar buku untuk bacaan lanjut bagi para pembaca yang ingin mendalami konsep-konsep dasar pasar bebas. Sebagai penutup, saya hanya bisa menyampaikan, jika Anda masih memberikan kesempatan untuk para pejuang dan pembela kapitalisme menjelaskan sisi humanisme dari kapitalisme, maka bacalah buku ini.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.