Renungan 1 Abad NU: 100 Tahun Konsisten Memperjuangkan Moderasi Beragama  

    126
    Sumber: https://surabaya.tribunnews.com/2018/10/25/pwnu-larang-ada-bendera-selain-merah-putih-dan-bendera-nu-saat-istighotsah-kubro-di-sidoarjo

    Momentum satu abad NU beberapa waktu lalu, rasanya masih membekas hingga sekarang. Resepsi meriah yang terselenggara di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur, pada hari Selasa, (7/2), diisi dengan kegiatan hingga 24 jam tanpa henti. Mulai dari yang bersifat ritual keagamaan, resepsi puncak harlah, karnaval nusantara, panggung hiburan rakyat, hingga bazar UMKM yang menjual beras murah.

    Kegiatan akbar itu dihadiri langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden, beserta para menterinya. Ini menunjukkan bahwa peran dan pengaruh Nahdlatul Ulama di Indonesia sangatlah vital.

    Di hari yang sama, saya melihat survei SMRC terkait isu pluralisme dan toleransi di kalangan NU dan Muhammadiyah. Dalam keterangan persnya, Saiful Mujani membagikan sebuah fakta menarik, yaitu hasil survei SMRC menunjukkan bahwa mayoritas anggota NU dan Muhammadiyah masih memegang teguh toleransi dan pluralisme.

    “NU dan Muhammadiyah ini menarik. Umumnya mereka (anggota NU dan Muhammadiyah) tidak melihat Ketuhanan Yang Maha-Esa itu harus sesuai dengan ajaran Islam saja, tapi harus terbuka bagi semua agama,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri, Jakarta tersebut (Republika.id, 21/07/2022). Data ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia masih memegang asas toleransi dan pluralisme, terkhusus NU.

    ***

    Nahdlatul Ulama memiliki garis perjuangan yang sangat berbeda ketimbang organisasi Islam lainnya di dunia, seperti Ikhwanul Muslimin, yang dibentuk oleh Hassan Al-Banna, dan Jamaat Islami yang dibentuk oleh Abu A’la Al-Maududi. Jika kedua organisasi di atas memiliki tujuan politik dan terkenal karena gerakan politiknya yang sentral di Timur Tengah, NU justru hadir jauh dari gerakan politik, dalam artian tertentu, NU hadir untuk kebutuhan ummat itu sendiri.

    Deliar Noer, salah satu cendekiawan Muslim menulis dalam disertasinya, “Gerakan Modern Islam di Indonesia” (1995), menyebutkan bahwa NU hadir dalam kekacauan politik dalam tubuh Islam. Pertama, bubarnya kekhalifahan oleh Rezim Mustafa Kamal Attaturk yang merupakan imbas reformasi Turki pasca kekalahan Perang Dunia Pertama.  Kedua, hilangnya institusi kekhalifahan ini membuat umat Islam panic, sekaligus membuat bahagia kepada sultan-sultan Arab yang sudah lama tak mengakui otoritas kekuasaan Utsmaniyah di daerah mereka. Para sultan ini, khususnya Mesir dan Arab Saudi memperebutkan klaim sebagai Khalifah sejati. Hal ini membuat kubu-kubu Islam terpecah.

    Ketiga, munculnya wahabisme yang menganggu keberagaman madzhab-madzhab dalam Islam. Ulama salafi-wahabi mendorong kelompok madzhab sebagai kelompok bid’ah. Para ulama nusantara yang ikut pusara konflik politik ini berusaha mendamaikan. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH Bisri Mustofa bersama dengan tokoh ulama lain ingin menjadi penengah agar umat Islam bersatu dan tak terjerumus dalam konflik berlarut.

    Karena konflik masih berlarut, polemik pewaris kekhilafahan menemui jalan buntu dan keluarga Ibnu Saud yang melanggengkan wahabisme di sana, para ulama kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) (Noer, 1995).

    Jadi, NU sendiri hadir sebagai jawaban terhadap konflik sosial politik saat itu yang menganggu masyarakat muslim. Persatuan yang dimaksud tentu adalah kerukunan dan penghormatan terhadap keragaman.

    ***

    Pada masa Orde Lama, tepatnya saat Pemilu 1955 hingga masa Orde Baru, NU aktif dalam dunia politik dan secara organisasi dan berpartisipasi di partai. Namun, partisipasi aktif NU ke dalam politik disadari oleh Gus Dur sebagai hal yang kurang produktif. Tidak berarti sebuah kesalahan jika NU berpolitik, namun Gus Dur mencatat bahwa ada misi sosial yang diemban oleh NU.

    Diakui atau tidak, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid telah memberi nafas baru dalam sejarah modern NU. Jika dahulu NU dianggap kaum tradisionalis atau “kolot”, Gus Dur (yang berkolaborasi dengan KH Achmad Shiddiq) berhasil menepis tuduhan itu. Meski rujukan utama NU adalah kitab klasik yang sering disatir “kuning” atau usang, namun Gus Dur dan para ulama NU berhasil menyandingkan kaidah Ushul fiqih klasik dengan teori modern.

    Kyai Sahal Mahfudh misalnya, melahirkan gagasan fiqh sosial yang penulis anggap modern. Jika HTI dan FPI membatasi fiqh sebagai sebuah hukum yang akan terlaksana jika dinaungi sistem politik, Kyai Sahal Mahfudh justru menampiknya dan membuktikan bahwa fiqh juga bisa berlaku di sebuah negara dengan sistem demokrasi dan berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat modern (Mahfudh, 1994).

    Dalam biografi politik Gus Dur, Greg Barton menggambarkan dengan apik bagaimana NU di bawah naungan Gus Dur menerima gagasan kebhinnekaan dalam Pancasila, ide-ide demokrasi modern, dan pluralisme. Contohnya adalah partisipasi Gus Dur dalam membentuk organisasi bernama Forum Demokrasi atau Fordem. Fordem adalah kelompok masyarakat yang pro demokrasi dari berbagai entitas agama dan kelompok (Barton, 2002).

    Inilah yang menurut penulis merupakan keistimewaan NU. Mereka tetap mempertahankan tradisi keislaman yang mapan, namun terbuka bagi modernisme dan gagasan seperti pluralisme dan demokrasi.

    ***

    Di bawah naungan Panji 9 bintang yang telah berumur 100 tahun ini, penulis sangat berharap NU tetap pada jati dirinya, yaitu sebagai kelompok Islam arus utama yang toleran dan demokratis.

    Memang di akar rumput, beberapa personal anggota masih kerap bersitegang dengan kelompok lain, seolah tak mencerminkan filosofi NU yang menjunjung kebhinekaan, namun sikap individu tidak mempengaruhi NU. NU tetap sebagai organisasi besar yang menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan kerukunan antar agama. Pada Muktamar NU tahun 2021 lalu, Gus Yahya Cholil Staquf berjanji untuk mengembalikan NU sesuai dengan jalan yang ditempuh Gus Dur.

    “Visi saya untuk memimpin NU adalah dengan menghidupkan Gus Dur. Ini sudah saya nyatakan berulang-ulang,” (Pedoman Tangerang, 24/12/2021).

    NU Gus Dur yang dimaksud tentu bukan sekedar mengembalikan kenangan masa lalu, tetapi mengaktualisasikan ide-ide Gus Dur tentang pluralisme, demokrasi, dan moderasi beragama. Di usia yang menginjak satu abad ini, NU adalah harapan besar keutuhan bangsa dan demokrasi di Indonesia, sebagai kelompok yang menaungi mayoritas umat Islam di Indonesia. Kita berharap agar NU tetap konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan oleh para pendahulu, sehingga gagasan moderasi beragama, kontra radikalisme dan pluralisme bisa dihayati oleh segenap masyarakat NU di lapisan bawah. Semoga.

    Referensi

    Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKIS.

    https://khazanah.republika.co.id/berita/rfdd6d320/saiful-mujani-mayoritas-numuhammadiyah-enggan-sila-pertama-pancasila-sesuai-islam. Diakses pada 21 Februari 2023, pukul 15.22 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-073310457/terpilih-sebagai-ketua-pbnu-gus-yahya-saya-tak-mungkin-menggantikan-gus-dur. Diakses pada 22 Februari 2023, pukul 17.04 WIB.

    Noer, Deliar. 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Obor.

    Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKIS.