Relasi Kuasa dan Pelecehan Seksual di Institusi Gereja

    583

    Belakangan ini, kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan kaum klerus di kalangan Gereja Katolik terhadap anak-anak maupun orang dewasa kembali mencuat di beberapa media. Awalnya, kasus-kasus ini menyeruak di banyak negara, seperti di Eropa, Amerika, bahkan sampai di Australia. Sementara itu, di Indonesia, kasus-kasus masih tampak sangat samar-samar. Baru-baru ini, adanya laporan tentang pelecehan seksual yang dilakukan seorang pastor di gereja Katolik daerah Tomang, Jakarta Barat, mendorong lebih banyak korban angkat bicara (Tirto.id, 13/08/2020).

    Selain di Jakarta, ada kasus yang menimpa novelis asal Nusa Tenggara Timur, Felix K. Nesi. Apa yang dirasakan Felix juga menghantui banyak pihak, khususnya mereka yang pernah bergelut dengan lingkungan gereja Katolik, entah sebagai putra-putri altar, asrama, seminari, hingga sekolah umum. Lewat akun Facebook, Felix bercerita ia menemui romo kepala sekolah SMK Bitauni yang letaknya tidak jauh dari rumah Felix pada bulan Januari-Februari 2020. Dia mempermasalahkan mengapa romo yang pernah bermasalah dengan perempuan di sebuah gereja paroki lantas dipindah ke sebuah sekolah kejuruan dengan ratusan siswi (Detik.com, 6/07/2020).

    Kasus-kasus pelecehan seksual seperti ini konon dikabarkan sudah menjamur selama ratusan tahun di berbagai belahan dunia. Lantas, kenapa praktik tersebut tampaknya masih sedikit yang diekspos ke publik dan dilanggengkan turun-temurun?

    Praktik pelecehan seksual dalam gereja Katolik telah dilaporkan sejak abad ke-11. Ini dapat dilacak dari risalah panjang tulisan Santo Petrus Damianus (Peter Damoni) dalam bukunya “Liber Gomorrhianus” yang terbit pada tahun 1051. Buku ini ikut mendasari terjadinya Reformasi Gregorian yang dilakukan Paus Gregorius VII untuk meningkatkan moral dan independensi para rohaniawan Katolik, serta menghapuskan praktik suap jabatan gereja atau kerap disebut dengan Simoni (Damoni, 1051).

    Dalam bukunya, Petrus Damianus menyebut adanya praktik-praktik sodomi yang dilakukan para biarawan atau klerus. Di samping merajalelanya praktik simoni dan korupsi di antara para klerus pelaku sodomi ini, Damianus juga menyoroti bahwasanya terdapat pula hubungan patron-klien antara para imam efebofilia, yaitu sebuah preferensi seksual orang dewasa pada seorang remaja di bawah umur. Dalam kasus yang dicatat Damianus, praktik ini dilakukan oleh kalangan klerus gereja Katolik pada anak-anak lelaki.

    Praktik pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik lantas terus terjadi hingga berabad-abad lamanya. Umumnya, kasus semacam ini menjadi rahasia tiap lingkaran komunitas gereja, entah dalam biara, paroki, keuskupan, atau sejenisnya. Pada tahun 2010, kasus pedofilia di kalangan klerus Katolik di Irlandia terbungkam sejak 1975 hingga 2004. Hal ini lantaran pihak dari Keuskupan Agung Dublin menutup mata dan merahasiakan kasus ini dari publik. Pihak Gereja menyuruh seorang anak untuk menandatangani perjanjian bungkam terhadap kasus pedofilia yang dialaminya (BBC, 14/09/2010).

    *****

    Ada dua sorotan penting dalam kasus pelecehan seksual di gereja-gereja Katolik, yakni mengenai pembungkaman terhadap pihak korban demi nama baik gereja dan kelakuan berkedok yang tertutup hanya karena “kuasa” dan “kesucian” simbol gereja.

    Tidak bermaksud menyudutkan pihak “gereja Katolik” dan klerus agamis lainnya, namun tak jarang saya temui banyak kejahatan yang berhasil disimpan dalam-dalam hanya karena nama baik agama. Banyaknya institusi agama yang dijadikan ladang bisnis, pemuka agama yang cabul, pencucian otak tentang iman dan kemakmuran hidup, politik dan hukum yang semena-mena menjadi refleksi nyata yang tidak bisa dielak lagi.

    Kembali pada masalah pelecehan seksual yang dilakukan “orang dalam” gereja, sebagaimana kita ketahui, kebanyakan kasus kekerasan seksual terjadi tanpa ada saksi yang melihat langsung. Korban cenderung enggan menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain atau pihak yang bertanggungjawab.

    Ditambah lagi, pemahaman konservatif tentang sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki, serta karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens membuat kekerasan seksual dimaklumi atau tidak dianggap serius.

    Selain itu, budaya hukum dan paradigma masyarakat kita masih perlu dibenahi dalam menangggapi kasus-kasus seperti ini. Penyintas dalam kasus kekerasan seksual seringkali dipersalahkan dan dianggap bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang menimpanya, bukan si pelaku, yang membuat penyintas berpikir dua kali untuk menceritakan masalahnya. Cara pandang ini menyebabkan kekerasan seksual tidak dianggap penting ketimbang kasus lainnya dan korban menjadi ‘korban kedua kalinya’ ketika menempuh jalur hukum.

    Hal ini mencerminkan kekuasaan sangat potensial berubah menjadi kekerasan, apabila disalahgunakan. Kekuasaan yang bersifat penaklukan dalam bentuk, seperti tampilan yang berwibawa, menampakkan kehebatan, pesona, kepintaran, penolong dalam kesulitan, dan pemilik kharisma. Semua bentuk proyeksi imajinatif ini sangat efektif bekerja untuk membuat orang di sekitarnya tunduk dan mengikuti apa saja perintah dan keinginan orang tersebut. Peristiwa seperti inilah yang kerap membuat korban tidak sadar dan seolah-olah dibutakan karena pengaruh “nama” dan “kuasa”.

    Atas pernyataan mengenai pelecehan seksual dan lingkup agama serta pengaruh kekuasaan, masyarakat dan orang-orang di sekitar korban harus mampu menjadi medium untuk membangun kesadaran yang dapat memicu korban lain untuk speak up, termasuk terhadap yang masih berpikir kekerasan seksual adalah kesalahan korban. Dengan bersuara, tidak sedikit akses keadilan untuk korban terbuka dan tidak lagi terhambat melalui sistem hukum

    Dalam konteks pelecehan oleh “orang dalam” gereja, kita perlu melihat apa landasan teologis atas segala sesuatu, tidak terkecuali “alat-alat” yang dipakai oleh institusi agama. Keterlibatan dalam penanganan masalah ini tentunya harus berasal dari semua arah yang progresif dan mendukung. Diperlukan momentum kritis untuk menciptakan ruang publik yang aman dan kontribusi pengabdian yang bisa dijadikan contoh.

     

    Referensi

    Buku

    Damian, Peter. 1051. The Book of Gomorrah. Dikutip dari https://books.google.co.id/books?id=Rc3fAgAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=book+of+gomorrah+pdf&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwif5pvtxb3qAhUslEsFHapoC8oQ6AEwAHoECAUQAg#v=onepage&q=sodomy&f=false Diakses pada 20 Agustus 2020, pukul 10.00 WIB.

     

    Internet

    https://tirto.id/korban-pelecehan-seksual-bersuara-gereja-katolik-mengkhianati-saya-fXAZ Diakses pada 18 Agustus 2020, pukul 12.30 WIB.

    https://news.detik.com/berita/d-5081926/sastrawan-felix-k-nesi-jadi-tersangka-kasus-perusakan-jendela-rumah-pastoran Diakses pada 19 Agustus 2020, pukul 22.00 WIB.

    https://www.bbc.com/news/10407559 Diakses pada 19 Agustus 2020, pukul 22.00 WIB.