Rekonsiliasi dan Ketakutan Kita

    519

    Sejak dari masa Orde Baru sampai hari ini, September adalah bulan di mana isu komunisme kembali diperbincangkan. Sejumlah elit membicarakan komunisme seolah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibubarkan pada tahun 1966 masih dan akan terus hidup. Ketakutan sebagian pihak akan bangkitnya ideologi komunis di Indonesia mempengaruhi peraturan-peraturan yang dibuat dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap ideologi tersebut.

    Komunisme dan simbol-simbolnya, dipengaruhi oleh kuatnya doktrin rezim Orde Baru saat itu dan dipersepsikan sebagai hal yang tabu dan terlarang. Namun, tak banyak orang yang menggali jauh mengenai persepsi itu dan memahami sejarah dibalik komunisme hingga bisa dicap “jelek”.

    Sejarawan UGM, Abdul Wahid, meneliti dampak peristiwa G30S 1965 di berbagai universitas di Indonesia dan menemukan fakta adanya pelanggaran terhadap kebebasan intelektual dan akademis. Dari 10 kampus yang ditelitinya, diperoleh data sekitar 299 dosen dan 3464 mahasiswa ditahan, hilang atau bahkan tewas sehingga berhenti dari kegiatan belajar-mengajarnya. Intelektual kiri UGM menempati urutan pertama yang paling banyak disingkirkan, meliputi 115 dosen dan 3.006 mahasiswa (historia.id, 02/10/2017).

    Selain dosen dan mahasiswa, dalam disertasinya tentang standarisasi pendidikan guru sekolah di Indonesia 1893-1969, sejarawan UGM Agus Suwignyo, menemukan pula fakta hilangnya guru-guru sekolah yang berafiliasi kepada PKI. Akibatnya, banyak murid sekolah kehilangan guru-gurunya yang kritis dan memiliki kesadaran politik. Sebagian besar mereka tergabung dalam organisasi PGRI Non Vak Central yang dinyatakan terlarang berdasarkan keputusan No. 85/KOGAM/1966 yang ditandatangani Soeharto pada 31 Mei 1966 (historia.id, 02/10/2017).

    Tidak hanya di bidang pendidikan, tragedi 1965-1966 pun berdampak negatif bagi gerakan buruh. Sebagian besar buruh yang dianggap berafiliasi dengan PKI dipenjara, hilang atau bahkan tewas atas tuduhan terlibat peristiwa G30S 1965.

    Kegiatan kesenian dan kesusastraan yang dinamis dan penuh kontestasi ide sebagaimana yang pernah terjadi pada era 1960-an, harus berakhir tragis karena sebagian besar seniman dan sastrawan kiri ditahan bahkan terbunuh. Pertarungan ide berakhir dengan pemenjaraan. Karya-karya sastra buah tangan sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer harus dibaca secara sembunyi-sembunyi di bawah ancaman subversif selama Soeharto berkuasa.

    Pemberangusan intelektual kiri, penangkapan massal guru, pembungkaman gerakan buruh dan berhentinya proyek-proyek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak besar bagi budaya intelektual dan tradisi kritis yang menurun di kalangan pelajar, mahasiswa.

    Teori-teori kiri dalam ilmu sosial, terutama teori Marxisme, ditinggalkan dan buku-buku literatur tentang paham-paham kiri menghilang karena dilarang beredar. Masih ingat razia buku “berbau komunis” yang hanya dilihat dari warna sampul merah pada awal tahun 2019? Alasannya, karena larangan penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, atau Leninisme yang dimuat dalam TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966.

    Selain itu, tentu kita masih ingat juga peristiwa demonstrasi oleh mahasiswa saat DPR ingin mengesahkan rancangan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) terkait beberapa pasal karet di dalamnya yang mengancam kebebasan berekspresi.

    Salah satunya adalah Pasal 219, yang berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.” Pasal ini menjadi sorotan karena mengandung artian yang multitafsir, perumusan yang samar-samar mengenai perbuatan yang dilarang, dan tidak adanya batasan yang jelas.

    Dari berbagai gambaran itu, peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi 1965-1966 memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan bangsa Indonesia secara umum, melampaui sekat-sekat kelompok politik yang bertikai dalam periode berdarah itu. Tradisi berpikir logis dan kritis tergantikan oleh indoktrinasi

    Selain itu, masih banyak juga keluarga almarhum atau tahanan politik (tapol) pasca kejadian 1965 yang dikucilkan dan diperlakukan tidak adil, dan mengalami kesulitan mendapat akses-akses tertentu. Hal ini merupakan salah satu contoh bentuk perlakuan tidak adil yang dialami para korban yang dituduh sebagai simpatisan gerakan komunis.

    Hal serupa juga diberlakukan untuk berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas maupun belum diplubikasikan ke media massa, seperti kasus Marsinah, Widji Thukul, ataupun Munir. Bagi saya, yang penting digarisbawahi di sini bukan pada aspek ideologinya atau berarti saya membenarkan pemberontakan PKI.

    Saya dalam hal ini juga bukan berusaha membangkitkan kembali ideologi komunisme di Indonesia. Tetapi, yang harus kita perhatikan adalah, hak masyarakat untuk berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan untuk belajar sejarahnya sendiri adalah sesuatu yang sangat penting dan harus dilindungi.

     

    Referensi

    https://historia.id/politik/articles/kerugian-nasional-akibat-genosida-politik-1965-1966-P1B7K diakses pada 26 September 2020, pukul 20.00 WIB.

    https://kaltim.tribunnews.com/2019/09/17/berbeda-dengan-yang-diberitakan-inilah-pengakuandokter-yang-otopsi-jasad-korban-g30spki?page=2 diakses pada 27 September 2020, pukul 18.00 WIB.