Transfigurasi yang terjadi secara masif, termasuk perkembangan IPTEK serta kemunculan globalisasi memberi momentum tersendiri bagi peningkatan studi ekonomi kreatif digital di seluruh pelosok dunia. Salah satu pemicunya adalah fakta bahwa digitalisasi merupakan fenomena yang tidak dapat terpisahkan dari kondisi masyarakat saat ini, tak terkecuali dalam bidang ekonomi.
Masih ingat viralnya seorang bocah kelas 4 SD yang menjual gambarnya di platform Shopee dan mendapat ratusan pesanan? Atau, maraknya komunitas fan artist anime di Indonesia yang menjual gambarnya dalam bentuk photocard atau artprint? Komunitas ekonomi kreatif berbasis digital di Indonesia tidak mengenal batas usia, pengalaman, modal, atau regulasi yang serumit perusahaan besar (re: PT, institusi formal, atau institusi swasta).
Mekanisme pasarnya sudah jelas, tenang, sampai pada 30 Juli 2022 lalu, Kominfo resmi memblokir 8 situs dan aplikasi internasional yang masih belum mendaftar sebagai Penyelanggara Sistem Elektronik (PSE). Tindakan Kominfo ini menuai banyak kritik dan protes dari warganet sehingga tagar #BlokirKominfo pun sampai saat ini masih ramai disebarkan di linimasa media sosial. Harapan anak muda dalam melepas penat dari sekolah dengan mengumpulkan hero atau mengontrol rune di map Dota 2 harus pupus karena pemblokiran yang tiba-tiba ini. Selain itu, para freelancer di luar sana yang dananya masih berada di aplikasi Paypal juga terkena imbasnya.
Dengan kata lain, tanpa sadar regulasi amburadul yang Kominfo tetapkan melalui permenkominfo tentang PSE tersebut membuat iklim ekonomi digital di Indonesia semakin tidak atraktif. Meskipun telah diresmikan sejak tahun 2020, pemerintah baru memberlakukan permenkominfo tersebut mulai tahun ini dikarenakan pandemi yang melanda. Pada awalnya Kominfo berdalih pendaftaran tersebut hanya merupakan pendataan bersifat administratif yang dilakukan agar negara dapat mengetahui perusahaan yang beroperasi secara digital di Indonesia (pikiran-rakyat.com/28/07/2022). Di sisi lain, permenkominfo tersebut juga menyatakan bahwa setiap perusahaan teknologi harus menyediakan akses ke penegak hukum dan lembaga pemerintah, sehingga dapat diberlakukannya pengawasan oleh pihak negara.
Selain alasan tersebut yang membuat beberapa perusahaan digital internasional tidak mendaftarkan namanya ke PSE, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sudah diinisasi sejak tahun 2016 (tetapi masih belum terdengar kejelasannya lebih lanjut di DPR) juga menjadi salah satu faktornya. Saat ini, isu perlindungan data pribadi masih diatur oleh 32 Undang-Undang dan beberapa regulasi turunannya. Akibatnya, pelaksanaan dan pengawasan terkait isu perlindungan data ini tersebar di beberapa kementerian. Sebagai contoh, penyalahgunaan data pribadi di e-commerce diatur oleh UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Konsumen, dan UU Perdagangan. Hal ini menyebabkan tumpang tindih peraturan perlindungan data pribadi dan sulitnya koordinasi, implementasi, serta pengawasan terhadap RUU PDP tersebut (Tsamara, 2021: 57).
Berbeda dengan General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa yang tegas melindungi aktivitas proses data seluruh warga negara anggota EU, tidak ada kepastian data WNI yang terdaftar sebagai pengguna platform digital terlindungi dari pelanggaran privasi (Sirait, 2019). Hal ini lantas menyebabkan banyak provider khawatir dengan keamanan data penggunanya dan enggan mendaftarkan ke platform PSE-nya Kominfo. Belum lagi maraknya fenomena digital dossier atau berkas digital yang merupakan kumpulan informasi pribadi pengguna internet menjadi sangat berharga karena mengandung nilai ekonomi dalam dunia bisnis (atau dapat diperjualbelikan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab).
Selain peraturan mengenai perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang masih belum dituliskan secara eksplisit maupun harmonisasi hukum perlindungan yang belum jelas, hal lain yang perlu diperhatikan dalam kasus permenkominfo tersebut adalah terkait regulasi administrasi dan perizinan usaha.
Sistem pelayanan dan regulasi kegiatan berusaha, baik fisik maupun digital, perlu ditinjau dan ditata ulang yang sesuai dengan tuntutan dunia usaha, perkembangan teknologi, dan persaingan global agar semakin memudahkan kegiatan usaha. Namun, upaya untuk mewujudkan iklim ekonomi kreatif tersebut selalu diawali dengan pembuatan konstruksi yuridis yang kemudian dituangkan ke dalam kebijakan-kebijakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum sebagai langkah utama mempercepat pembangunan sektor ekonomi kreatif nasional. Akan tetapi, produk kebijakan pemerintah tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan kebutuhan percepatan usaha atau pembangunan. Ini terbukti dari masih banyaknya regulasi-regulasi yang mengalami redudansi, duplikasi, atau ketidakcocokan regulasi (irrelevant regulations) antara satu dengan lainnya (Harseno, 2017). Belum lagi, regulasi yang inefisien dan berbelit-berbelit membuktikan bahwa government failure pasti ada dalam setiap kebijakannya.
Akibat over-regulation ini banyak komoditas yang tidak jadi dijual, lapangan kerja yang tidak jadi tercipta, inovasi anak muda yang terhambat, perusahaan yang tidak jadi mulai karena rumitnya sistem, dan lain sebagainya. Selain berdampak pada masalah, mekanisme pasar yang terganggu dan tidak efisien, jangan lupakan masalah biaya kepatuhan apabila regulasi ekonomi terlalu over. Saat memulai suatu bisnis, diperlukan beberapa prosedur yang harus dilakukan demi kepatuhan terhadap sertifikasi, administrasi, atau pun pendaftaran yang diharuskan pemerintah. Belum lagi biaya tambahan, biaya penalti, biaya uji produk, biaya denda, dan masih banyak lainnya yang akan dikenakan pemerintah untuk bisnis. Biaya eksternal akan datang jika perusahaan mengalami kerugian atas regulasi yang berdampak besar pada penerimaan komoditasnya di pasar.
Satu-satunya sumber daya yang tidak bisa digantikan teknologi adalah sumber daya intelektual. Perkembangan teknologi dan sistem digital justru mendorong agar inovasi dan karya anak bangsa dapat tersalurkan lebih mudah lagi melalui fasilitas maupun wadah yang lebih aksesibel. Apabila prosedur jalannya pasar ekonomi kreatif di Indonesia diusik dengan regulasi perizinan yang berlebihan, pemerintah justru menghambat inovasi dan ide kreatif dari generasi muda Indonesia. Sebaliknya, pemerintah seharusnya menitikberatkan pada penciptaan ekosistem yang kondusif untuk ekonomi digital dan kreatif, serta jaminan prosedur perlindungan data pribadi agar peluang-peluang yang diperoleh dari perkembangan digitalisasi tidak disalahgunakan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab.
Referensi
Artikel
https://www.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-015123192/media-asing-soroti-aturan-pendaftaran-pse-oleh-kominfo-apa-artinya-bagi-perusahaan-teknologi-di-indonesia?page=2 Diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 17.30 WIB.
Jurnal
Harseno,R.M. “Kebijakan Deregulasi dan Debirokratisasi Regulasi Ekonomi Kemaritiman sebagai Katalisator Nawacita Indonesia Poros Maritim Dunia,” Gema Keadilan, vol. 4, no. 1, pp. 86-98, Oct. 2017. Diakses melalui https://doi.org/10.14710/gk.4.1.86-98 pada 2 Agustus 2022, pukul 18.50 WIB.
Sirait, Y. (2019). “General Data Protection Regulation (GDPR) dan Kedaulatan Negara Non-Uni Eropa.” Gorontalo Law Review, Vol. 2(2). Diakses melalui https://jurnal.unigo.ac.id/index.php/golrev/article/view/704 pada 2 Agustus 2022, pukul 21.30 WIB.
Tsamara, N. (2021). “Perbandingan Aturan Perlindungan Privasi Atas Data Pribadi Antara Indonesia dengan Beberapa Negara.” Jurnal Suara Hukum, Vol. 3 (1). Diakses melalui https://journal.unesa.ac.id/index.php/suarahukum/article/view/11353/5957 pada 2 Agustus 2022, pukul 21.15 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.