Refleksi Tentang Mahsa Amini: Kontroversi Hijab di Iran dan Indonesia

    267
    Sumber gambar: https://www.indiatoday.in/news-analysis/story/what-the-iranian-anti-hijab-protest-unveiled-2282932-2022-10-09  

    Iran bergolak! Gelombang demonstrasi besar yang diinisiasi oleh anak muda, perempuan, dan masyarakat sipil lainnya tumpah ruah ke jalan. Pemandangan ini sangat menggetarkan hati. Belakangan ini saya rajin memantau perkembangan di Iran dan demonstrasi warga sipil di sana.

    Dalam siarannya, channel BBC menggambarkan suasana demonstrasi yang begitu tegang dan menakutkan. Massa membakar dan merusak segala sesuatu untuk menghalau petugas. Dan petugas dengan moncong senjata tak segan menembaki mereka.Tentu, para demonstran tahu bahwa hari itu bisa jadi hari terakhirnya, namun teriakan: kehidupan, perempuan, kebebasan, menjadi slogan yang memberi api semangat tanpa takut kematian.

    Majalah Tempo mengkonfirmasi bahwa korban kematian akibat kekerasan yang dilakukan polisi Iran terhadap demonstran muda sudah mencapai 244 orang. Angka ini diprediksi akan terus bertambah jika rezim ulama dan polisi Iran melakukan tindakan berlebihan terhadap demonstran (Tempo, 22/10/2022).

    ***

    Semua demonstrasi ini bermula dari sikap aparat moral di Iran yang bersikap arogan dan sewenang-wenang. Mahsa Amini, atau yang disapa Jina Amini, berasal dari suku Kurdi Iran, kakaknya adalah seorang aktivis HAM yang melarikan diri ke daerah Kurdistan Irak. Amini, perempuan muda berumur 22 tahun yang bercita-cita menjadi pengacara ini, harus mengubur impiannya karena kepolisian moral Iran telah merenggut nyawanya.

    Amini ditangkap polisi moral karena dirinya dianggap tidak berpakaian Islami karena jilbabnya terlalu longgar dan menampakkan rambut. Padahal, bagi rezim teokrasi Iran, perempuan seluruhnya harus lah berjilbab, serta menutup kepala dan pipinya, yang selain dari aturan itu berarti melanggar hukum Tuhan. Meskipun demikian, menurut sejarah di masa lalu, aturan ini pernah menimbulkan polemik di mana seminggu setelah revolusi pada tahun 1979, sebagian besar perempuan Iran turun ke jalan untuk memprotes kebijakan Ayatollah Khomeini yang mewajibkan kaum perempuan untuk berjilbab (CBC Radio, 8/03/2019). Demonstrasi ini berhasil diatasi oleh Khomeini dan aturan wajib hijab terus dipaksakan, bahkan menggunakan kekerasan yang mana dilakukan oleh polisi moral sebagai pelaksananya dengan dalih bertujuan untuk menegakkan syariat.

    Jadi, para pembaca bisa menebak, bahwa meskipun Iran mayoritas warga Muslim, namun tak seluruh rakyat Iran sepakat dengan kebijakan tersebut dan pada dasarnya kebijakan wajib hijab adalah aturan yang dipaksakan. Karena aturan ini pulalah, Mahsa Amini ditangkap. Ia dipukuli polisi hingga pingsan, koma, dan akhirnya meninggal dunia. Aparat kepolisian dan pemerintah Iran menolak jika Amini dianiaya, namun banyak orang percaya, bahwa Amini mendapatkan penyiksaan hebat hingga mengalami pendarahan otak.

    Jilbab di Iran VS di Indonesia

    Jika kita membandingkannya dengan Indonesia, tentu pembaca mungkin terkejut. Pasalnya, tahun 1979-1980 Rezim Islam Iran mewajibkan penggunaan hijab bagi perempuan. Sebaliknya, di Indonesia, rezim Orde Baru justru melarang penggunaan hijab di sekolah dan di kantor pemerintahan. Jika perempuan Iran protes karena diri mereka dipaksa berjilbab, di Indonesia, banyak perempuan muslimah justru mengenakan hijab sebagai bentuk protes terhadap pemerintah saat itu. Di sini kita bisa melihat dua perbedaan mencolok antar negara, di satu pihak, protes aturan penggunaan hijab, dan di lain pihak malah protes karena dilarang menggunakan hijab.

    Mengapa bisa begitu?Jawabannya sederhana, karena di Iran, hijab menjadi simbol penindasan pemerintah, sedang di Indonesia pada dekade 1980-an memakai hijab justru dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintah.

    Kita tak bisa menafikkan sejarah bahwa kemenangan revolusi Islam di Iran turut memengaruhi ragam hijab di Indonesia. Yang awalnya adalah kain kudung kemudian menjadi jilbab yang kita kenal sekarang (historia.id, 14/03/2018). Namun, jika kita melihat konteks di Indonesia pada dekade 80-an, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Daoed Joesoef, melarang penggunaan hijab disetiap institusi pendidikan di Indonesia dengan tujuan penyeragaman (Tirto.id, 21/01/2021).

    Hal ini lantas memicu reaksi negatif dari kalangan umat Islam. Pada pertengahan era Orde Bbaru, bisa dikatakan bahwa partai Islam dan kelompok Islam dipinggirkan. Komunitas Muslim mayoritas pun berusaha dihilangkan identitasnya. Ini juga yang memaksa Nurcholish Madjid “bergerilya” untuk menyiarkan ajaran Islam inklusif agar pemerintah yang begitu mencurigai kelompok Muslim, bisa hidup tanpa tekanan dan stigma negatif.

    ***

    Jika ada aksi, maka akan ada reaksi, begitu salah satu bunyi hukum fisika. Tentu saja sikap pemerintah mengundang sikap protes masyarakat. Kemenangan Revolusi Iran juga membuat semangat Islam hadir sehingga banyak perempuan “dengan kesadaran hati” berhijab untuk menunjukkan identitasnya sebagai muslimah di hadapan masyarakat yang dikontrol oleh rezim Orde Baru.

    Munculnya tren hijabisasi muslimah Indonesia dan populernya cendekiawan Muslim moderat ke muka publik, seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Syafi’i Ma’arif dan lainnya, membuat pemerintah Orde Baru mengalah. Akhirnya, saat Soeharto “kembali ke pelukan Islam”, pemerintahan merevisi aturan tersebut dan menjadikan busana hijab sebagai pilihan alternatif yang bebas dipakai.

    Apalagi ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU bekerja sama dengan Bank Summa pada tahun 1990-an membuat Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang mengizinkan karyawati Bank menggunakan hijab. Melihat perjalanan hijabisasi di Indonesia, pada akhirnya hijab menjadi budaya populer masyarakat Indonesia pada dekade 2000-an dan menjadi tren di tahun 2010 dengan berbagai mode dan perkembangan fashion hijab yang dipakai secara bebas, sesuka hati, dan tanpa paksaan.

    ***

    Ini berkebalikan dengan kondisi Iran. Perkembangan hijab di Iran berdiri di atas hukum positif. Pemerintah Iran memberi stigma perempuan tak berhijab adalah ‘telanjang’ dan ‘pantas untuk dilecehkan’ (BBC. 06/07/2022).

    Pengkerdilan peran perempuan dalam masyarakat Iran dan pembatasan busana, membuat kecenderungan masyarakat Iran terhadap hijab sebagai simbol pengekangan. Oleh karena itu tren fashion hijab di Iran tak semarak seperti di Indonesia. Perempuan Iran tak diberi pilihan atas tubuhnya dan Pemerintah Iran tak memberikan otonomi khusus terhadap perempuan untuk berpakaian semaunya.

    Tak heran jika gelombang protes terhadap hijab ini sering terjadi di Iran. Ini dikarenakan hijab disodorkan bukan sebagai sebuah tren atau budaya populer, melainkan sebagai hukum positif yang diterapkan secara represif.

    Mengembalikan Hijab sebagai Budaya

    Saya tidak menafikkan bahwa menutup aurat adalah kewajiban seorang Muslim dan Muslimah. Namun, apakah penggunaan hijab dengan paksa adalah solusi terbaik? Jawaban saya jelas, tidak. Terlepas dari ragam penafsiran cendekiawan Muslim modern terhadap hijab, bagi saya jelas bahwa beragama adalah masalah individu bukan atas desakan negara.

    Agama dijalankan dengan hati nurani bukan atas dasar pemaksaan siapapun. Dan yang perlu dicatat, segala bentuk pemaksaan yang melanggar wilayah hak individu, pasti akan menuai kontroversi.

    Saya hanya ingin memberitahu Pemerintah Iran agar melihat situasi di Indonesia. Di sana sini, banyak perempuan berhijab karena sudah membudaya dengan sendirinya. Mereka juga bebas tak berhijab jika mereka mau. Tren hijab di Indonesia menjadi sebuah fashion yang membuat perempuan bertambah cantik. Mempromosikan hijab lewat kultur dan pendidikan jauh lebih efektif ketimbang lewat jalur hukum positif. Gelombang penolakan hijab di Iran, saya pikir akan memakan waktu lama. Ini harusnya menjadi pembelajaran bagi Iran untuk mengevaluasi kebijakannya, bukan malah menjadikan Amerika sebagai kambing hitam.

     

    Referensi

    https://www.bbc.com/persian/iran-62068950. Diakses pada 26 Oktober 2022, pukul 14.13 WIB.

    https://www.cbc.ca/radio/ideas/the-stolen-revolution-iranian-women-of-1979-1.5048382. Diakses pada 26 Oktober 2022, pukul 13.08 WIB.

    https://dunia.tempo.co/amp/1648051/korban-tewas-demo-iran-jadi-244-orang-12-500-lainnya-ditahan. Diakses pada 26 Oktober 2022, pukul 12.39 WIB.

    https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/kultur/articles/membuka-bab-sejarah-jilbab-PKkye. Diakses pada 26 Oktober 2022, pukul 13.44 WIB.

    https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/pemaksaan-memakai-jilbab-saat-ini-dan-pelarangan-pada-era-orde-baru-f9Kb. Diakses pada 26 Oktober 2022, pukul 13.59 WIB.