Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan tahun baru kali ini tampak tidak semarak, sepi dan kehilangan gairah. Suara-suara bising di langit malam menghilang, gemerlap mercon dan petasan tak terlihat, tawa canda berubah menjadi keheningan. Banyak orang memilih menyelimuti dirinya ketimbang bangun di tengah malam yang sepi. Ya, tahun baru kali ini nampak kehilangan momentumnya.
Wabah COVID-19 yang kini semakin mengganas adalah alasan utama dibalik sepi sunyinya malam tahun baru. Wabah COVID-19 yang sudah mewabah ke seluruh dunia hampir setahun lamaya, kini telah menjangkit lebih dari 80 juta orang dan menelan korban jiwa hampir 2 juta orang. Ini cukup fantastis karena wabah ini menyebar hanya beberapa bulan saja, namun dengan cepat menulari dan telah menyebabkan korban jiwa berjatuhan.
Karena wabah inilah, orang takut untuk berkumpul di luar rumah. Di berbagai negara, pemerintah juga mulai mengetatkan protokol kesehatan dan juga menetapkan beberapa aturan untuk mencegah penyebaran COVID-19. Di China misalnya, pemerintah menerapkan peraturan yang ketat, mengkarantina kota-kota yang dianggap sebagai pusat penyebaran virus. Di Inggris, Jerman, dan Italia, pemerintah juga melakukan pembatasan sosial dan karantina wilayah. Di Korea Selatan, walaupun mereka tidak melakukan karantina kota, pemerintah tetap melakukan pengetatan dan pembatasan sosial.
Di Amerika, alih-alih ikut menerapkan pembatasan sosial, Donald Trump, Presiden Amerika, justru tidak setuju dengan pembatasan sosial. Hal ini juga diikuti oleh beberapa orang yang melakukan penolakan terhadap karantina kota atau pembatasan sosial. Walhasil, jumlah pengidap COVID-19 di Amerika hingga kini terus melonjak hebat.
*****
Tidak ada yang mampu-secara akurat-memprediksi kapan wabah virus ini menghilang, walaupun beberapa negara sudah mempersiapkan vaksinisasi massal dan memproduksi vaksin untuk melawan virus ini, namun menurut penulis, masih terlalu dini untuk bisa bernafas lega. Jikalau wabah virus terus melonjak dan terus melaju tinggi, barangkali kita akan tetap menghadap bulan-bulan ke depan di tahun ini dengan ketakutan dan pembatasan sosial.
Jika virus masih belum bisa ditanggulangi, dikhawatirkan sepanjang tahun ini pun kita belum bisa untuk beraktivitas dengan normal. Kita belum bisa bercengkerama bersama secara bebas, belum bisa nongkrong di cafe atau ke tempat wisata pada hari-hari libur, dengan kata lain, jika wabah virus ini belum dapat ditanggulangi, maka kita harus merelakan “kebebasan” kita demi kepentingan bersama.
Yang ditakutkan oleh masyarakat sebenarnya, bukan hanya wabah virus, tetapi kebebasan yang hilang akibat pembatasan sosial skala besar dan karantina kota justru membuat masyarakat menjadi resah. Bayangkan saja, selama masa pandemi ini, banyak kegiatan tidak bisa dilakukan, setiap orang tidak dapat keluar rumah dengan bebas, banyak usaha kecil seperti rumah makan tutup, banyak pedagang kaki lima terpaksa tak bisa melapak karena banyak polisi pamong praja yang siap menyita dagangan mereka, begitu juga orang-orang yang ingin menghibur diri, tak bisa pergi ke tempat wisata atau tempat favorit mereka.
Pembatasan berskala besar yang mengekang kebebasan inilah yang kemudian banyak dikritik dan menimbulkan gejolak. Contohnya, di India yang menyebabkan migrasi puluhan ribu orang penduduk New Delhi ke desa-desa. Di Indonesia, pembatasan sosial skala besar juga tidak mencapai hasil yang diharapkan. Banyak masyarakat yang menolak mematuhi protokol dengan alasan ekonomi dan juga kepentingan lainnya (Bisnis.com, 11/11/2020).
Di kalangan pegiat kebebasan, pembatasan pemerintah yang sudah berlangsung selama setahun menjadi dilematik. Di satu sisi, masyarakat harus terhindar dari wabah yang makin mengganas. Namun, di sisi lain, pembatasan sosial oleh pemerintah (yang berujung represif) justru akan berdampak buruk bagi kelangsungan kebebasan dan demokrasi.
Giorgio Agamben, filsuf sekaligus pemikir politik asal Italia, berpendapat bahwa pembatasan sosial dan karantina dengan tindakan represif (seperti di China dan di India) merupakan preseden buruk, di mana orang-orang dipaksa untuk menerima “keadaan darurat” di mana tindakan negara dalam merampas kebebasan dibenarkan selama digunakan untuk menyelamatkan negara (Pratomo, 2020).
Agamben menyatakan bahwa lewat pembatasan sosial, masyarakat dididik bahwa kebijakan pemerintah selalu benar dan untuk kepentingan bersama. Agamben berpendapat bahwa pembatasan sosial bukan bertujuan untuk melindungi individualisme, namun mendorong hilangnya individualisme. Dengan kata lain, kebebasan dan makna hidup, serta kehendak individu pada akhirnya direduksi dan bahkan dinafikkan, sebagai syarat keamanan dan kesehatan (Autonomies.org, 07/04/2020).
Pandangan dari Agamben ini kemudian dikomentari oleh Jean-Luc Nancy, seorang filsuf Prancis. Ia menganggap bahwa pandangan Agamben terhadap karantina dan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah terlalu ekstrim. Agamben seolah menafikan keberadaan virus berbahaya yang menjadi alasan utama dibalik pembatasan tersebut. Nancy menjelaskan bahwa kita tengah menghadapi sebuah virus yang tak ada obat yang mampu menanganinya, bukan flu biasa (Antinomie, 27/02/2020).
Nancy juga menggarisbawahi bahwa pembatasan sosial dan karantina yang dilakukan oleh pemerintah sudah menjadi aturan global untuk menjegal virus. Dengan demikian, akan tampak terlalu naif atau paranoia jika pembatasan sosial selalu dipersepsikan sebagai tabiat pemerintah untuk merebut kekuasaan individual. Faktanya, pengetatan protokol kesehatan sudah menjadi kebijakan setiap negara dan ini dipraktikan secara global dengan satu tujuan, menjegal virus (Antinomie, 27/02/2020).
Pembicaraan mengenai COVID-19 dan juga pembatasan kebebasan memang menjadi polemik luas. Beberapa yang tidak setuju dengan karantina wilayah dan juga pembatasan sosial, karena mereka takut jika “sistem pemaksaan” ini akan terus langgeng walau wabah penyakit sudah usai. Dengan memaksakan sistem karantina, kebebasan, aktivitas sosial, dan ekonomi masyarakat otomatis akan terganggu, pun itu akan membuat masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Namun terlepas siapa yang benar dan salah, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika pandemi virus ini tidak juga berakhir di tahun ini, justru malah ‘mengamuk’ hebat? Bagaimana jika kita berhasil melewati wabah tetapi dengan mengorbankan belasan juta nyawa?
Virus COVID-19 bukanlah makhluk yang memiliki akal, ia takkan mendengarkan jerit tangis, himbauan pemerintah, atau retorika politisi. Wabah virus adalah seleksi alam (hukum natural) yang mau tidak mau, manusia pasti mengalaminya. Karena itu Karena itu, penulis menganggap bahwa “berkompromi” dengan cara menahan kebebasan diri kita, itu lebih baik ketimbang melepaskan ego lalu mati terkapar di jalanan.
Nancy benar bahwa pembatasan sosial saat ini tidak bisa disamakan dengan dominasi negara pada kebebasan indidvidu, tetapi merupakan kebijakan yang terbaik untuk mencegah virus. Pun keresahan Giorgio Agamben juga tak bisa diabaikan, Karena kita harus selalu waspada mengenai potensi hadirnya tirani negara pasca wabah.
Referensi
Platomo, Dwi. Korespondensi Filosofis (Re) interpretasi atas COVID-19. Paper ditujukan untuk diskusi bedah buku Pan(dem)ic! dari Slavoj Zizek pada diskusi daring Zoom yang diadakan KONKLUSI, pada 25 April 2020.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20201111/9/1316404/mirip-india-chatib-basri-menilai-psbb-tak-sukses-diterapkan-di-indonesia Diakses pada 5 Januari 2021, pukul 04.36 WIB.
http://autonomies.org/2020/04/giorgio-agamben-social-distancing Diakses pada 5 Januari 2021, pukul 04.43 WIB.
https://antinomie.it/index.php/2020/02/27/eccezione-virale/ Diakses pada 5 Januari 2021, pukul 02.32 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com