Refleksi 75 Tahun Berakhirnya Perang Dunia II: Mengenang Perjuangan Eropa Tengah dan Eropa Timur Melawan Komunisme

    563

    Perang Dunia II, yang berlangsung pada tahun 1939 – 1945 merupakan konflik bersenjata paling besar dan paling banyak memakan korban jiwa sepanjang sejarah manusia. Setidaknya 70 juta warga dunia, atau sekitar 3% dari keseluruhan penduduk dunia pada masa itu, kehilangan nyawanya akibat perang tersebut (U.S. Census Bureau, 2013).

    Dalam wacana sejarah, Perang Dunia II tak jarang kerap dibaca sebagai pertarungan antara kebebasan dan demokrasi melawan fasisme dan totalitarianisme. Tentara sekutu, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Britania Raya, harus bertahan menghadapi serangan rezim totalitarian Nazi Jerman dan rezim militer Jepang yang ingin menjadikan dunia di bawah genggaman kekuasaan mereka.

    Secara umum, anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah. Nazi Jerman misalnya, merupakan rezim yang sangat kejam dan totalitarian, yang ingin menghabisi mereka yang dianggap sebagai sub-human. Yakni mereka yang bukan menjadi bagian dari ras Arya yang dianggap Nazi sebagai ras unggul di atas manusia-manusia lainnya.

    Kita tentu patut bersyukur Nazi Jerman dan rezim militer Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Dunia akan semakin kelam dan mengerikan bila kedua rezim totalitarian tersebut menjadi pemenang perang. Namun, narasi bahwa Perang Dunia II adalah perang antara kebebasan dan demokrasi melawan fasisme dan totalitarianisme adalah narasi yang juga tidak sepenuhnya benar.

    Salah satu negara besar yang menjadi bagian dari tentara sekutu adalah negara totalitarian komunis Uni Soviet, yang pada masa itu dipimpin oleh diktator Joseph Stalin. Stalin, yang meraih kekuasaan melalui represi politik besar-besaran terhadap jutaan warga Soviet hingga genosida di berbagai wilayah seperti Ukraina dan Asia Tengah, menjadi penguasa negara-negara di kawasan Eropa Tengah dan Eropa Timur pasca kekalahan Nazi pada tahun 1945.

    Negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur yang diduduki tentara merah Uni Soviet ini dijadikan sebagai negara satelit oleh Stalin dengan sistem pemerintahan komunis seperti di Uni Soviet. Oleh karena itu, ketika negara-negara Barat tengah bersuka cita meraih kebebasan dari okupasi kejam Nazi Jerman, perjuangan warga di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur pasca Perang Dunia II untuk meraih kebebasan belumlah selesai. Setelah sebelumnya mereka dikuasai oleh rezim totalitarian Nazi, pasca perang mereka dikuasai oleh rezim totalitarian Uni Soviet.

    Salah satu contoh dari pendudukan Uni Soviet terhadap negara-negara di kawasan Eropa Tengah dan Eropa Timur yang paling dikenal adalah pendudukan yang dilakukan terhadap Jerman. Pasca Perang Dunia II, Jerman dibagi menjadi 4 bagian yang dikuasai oleh Amerika Serikat, Prancis, Britania Raya, dan Uni Soviet (Southern China Morning Post, 24/02/1993).

    Bagian yang dikuasai oleh Prancis, Britania Raya, dan Amerika Serikat bergabung dan membentuk Jerman Barat. Sementara, bagian yang dikuasai oleh Uni Soviet menjadi negara Jerman Timur. Uni Soviet, di bawah kepemimpinan Stalin, menerapkan sistem politik dan ekonomi yang sama seperti yang diberlakukan di Uni Soviet. Tentara Merah merepresi institusi keagamaan, mengambil alih lahan-lahan pertanian untuk dikolektivisasi, dan menyerang kelas menengah di Jerman bagian timur (The New York Times, 17/06/2013).

    Namun, pemaksaan pemberlakuan sistem komunis yang diberlakukan oleh Uni Soviet terhadap warga Jerman ini juga bukan tanpa perlawanan.. Salah satu demonstrasi terbesar tersebut adalah demonstrasi dan pemberontakan besar yang dilakukan oleh warga Jerman Timur pada tahun 1953 pasca Stalin tutup usia. Mereka memprotes kebijakan pemerintah komunis yang memaksakan jam kerja lebih banyak, dan berhasil mengumpulkan sampai dengan 1 juta massa. Namun, demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa dan brutal oleh tentara Soviet (The New York Times, 17/06/2013).

    Sebagai akibat kebijakan ala Soviet yang diberlakukan oleh rezim komunis, warga Jerman bagian timur juga bukan hanya terpaksa harus hidup di bawah rezim totalitarianisme dan otoritarianisme, sebagaimana ketika Nazi berkuasa pada masa lalu. Mereka juga dipaksa untuk hidup dengan standar kehidupan dan keadaan ekonomi yang jauh lebih di bawah saudara-saudara mereka yang tinggal di Jerman bagian barat, yang mengadopsi sistem politik demokrasi dan ekonomi pasar bebas (Foundations for Economic Educations, 11/05/2019).

    Negara lain yang menjadi korban akibat dari okupasi Uni Soviet pasca Perang Dunia II adalah Hungaria dan Cekoslowakia. Sebelum Perang Dunia II, pada tahun 1938, Cekoslowakia diokupasi oleh Nazi Jerman. Pasca kekalahan Nazi dalam Perang Dunia II di tahun 1945, Cekoslowakia memiliki sistem demokrasi yang stabil. Namun, hal tersebut harus berakhir pada bulan Februari tahun 1948 ketika Partai Komunis Cekoslowakia, dengan bantuan Uni Soviet, melakukan kudeta dan mengubah negara tersebut menjadi negara komunis dengan sistem ekonomi sosialis (History.com, 13/11/2009).

    Sebagaimana ketika Partai Komunis melakukan kudeta di berbagai negara, represi politik juga dilakukan terhadap warga Cekoslowakia. Mereka yang memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan Partai Komunis Cekoslowakia diadili dalam pengadilan yang sudah diatur (show trials), dan tidak sedikit dari mereka yang dieksekusi. Sekitar 130.000 warga Cekoslowakia juga dikirim ke penjara atau kamp kerja paksa oleh pemerintah komunis negara tersebut (Bideleux & Jeffries, 2007).

    Hal yang sama juga terjadi di negara Eropa Timur lainnya, salah satunya adalah Hungaria. Setelah tentara Nazi berhasil didorong keluar dari wilayah Eropa Timur pada Perang Dunia II, Hungaria berada di bawah pendudukan Uni Soviet. Uni Soviet membantu Partai Pekerja Hungaria (MDP) yang berhaluan komunis untuk mendapatkan kekuasaan. Pada tahun 1949, MDP berhasil meraih kekuasaan dan menjadikan Hungaria sebagai negara komunis-stalinis. Puluhan ribu warga Hungaria yang dianggap memiliki pandangan berbeda ditangkap dan ratusan ribu lainnya diklaim ke kamp kerja paksa (Cato Institute, 2018).

    Sebagai akibat represi politik yang begitu besar dan keadaan ekonomi Hungaria yang semakin memburuk akibat dari kebijakan ekonomi sosialis, pada tahun 1956, ratusan ribu warga Hungaria turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Dalam demonstrasi yang diprakasai oeh para mahasiswa tersebut, para demonstran merubuhkan paksa patung Joseph Stalin dan menuntut diadakannya pemilu yang bebas. Namun, peristiwa yang dikenal dengan nama Revolusi Hungaria 1956 tersebut, harus berakhir ketika Uni Soviet memutuskan untuk mengirim tentaranya untuk membubarkan paksa gerakan pro-demokrasi tersebut. Sekitar 2.500 demonstran juga kehilangan nyawanya akibar invasi Soviet tersebut  (History.com, 24/11/2009).

    Melalui peristiwa perjuangan warga Eropa Tengah dan Eropa Timur yang dipaksa untuk hidup di bawah kemelaratan dan represi politik rezim komunis, kita belajar bagaimana narasi sejarah Perang Dunia II seakan melupakan fenomena tersebut. Pada tahun 2020 ini, dunia merayakan perayaan 75 tahun kekalahan Nazi Jerman yang mengakhiri Perang Dunia II di Eropa. Kemenangan tentara sekutu melawan Nazi kerap dimaknai sebagai momen pembebasan warga Eropa dari kekuasaan diktator dan sistem totalitarianisme, di mana warga Eropa akhirnya bisa mendapatkan kembali kebebasan mereka.

    Narasi tersebut merupakan sesuatu yang tepat untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di Eropa bagian Barat seperti Britania Raya, Prancis, Belanda, Denmark, dan Jerman Barat. Namun, nasib yang jauh berbeda harus dialami oleh mereka yang tinggal di wilayah Eropa Tengah dan Eropa Timur. Pasca kekalahan Nazi, bukan berarti penderitaan mereka yang tinggal di wilayah Eropa Tengah dan Eropa Timur yang dipaksa hidup di bawah totalitarianisme menjadi berakhir. Kenyataannya, yang terjadi tidak lebih dari pergantian rezim totaliter, dari totalitarianisme Nazi menjadi totalitarianisme pemerintahan Komunis.

    Indonesia sendiri dalam sejarahnya pernah mengalami beberapa kali pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan komunis. Beberapa pemberontakan tersebut yang paling dikenal adalah Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dan 1965. Namun, kita patut bersyukur bahwa, tidak seperti di Cekoslowakia atau Hungaria, pemberontakan dan upaya kudeta yang dilakukan oleh PKI berhasil digagalkan.

    Peristiwa sejarah yang terjadi di negara-negara kawasan Eropa Barat dan Eropa Timur pasca Perang Dunia II hanya merupakan segelintir dari berbagai jejak berdarah rezim-rezim komunis dan sosialis di seluruh dunia. Semoga berbagai peristiwa sejarah tersebut dapat memberi peringatan kepada kita mengenai bahaya gagasan-gagasan kolektivis seperti komunisme dan sosialisme, agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

     

    Referensi

    Buku

    Bideleux, Robert & Ian Jeffries. 2007. A History of Eastern Europe: Crisis and Change (Second Edition). New York: Routledge.

     

    Internet

    https://web.archive.org/web/20130306081718/https://www.census.gov/population/international/data/worldpop/table_history.php Diakses pada 10 Oktober 2020, pukul 19.05 WIB.

    https://www.scmp.com/article/19696/division-germany-after-wwii Diakses pada 10 Oktober 2020, pukul 22.30 WIB.

    https://www.nytimes.com/2013/06/18/world/europe/germany-puts-spotlight-on-its-own-anti-soviet-revolt.html Diakses pada 10 Oktober 2020, pukul 23.15 WIB.

    https://fee.org/articles/comparing-the-economic-growth-of-east-germany-to-west-germany-a-history-lesson/ Diakses pada 11 Oktober 2020, pukul 00.10 WIB.

    https://www.history.com/this-day-in-history/communists-take-power-in-czechoslovakia Diakses pada 11 Oktober 2020, pukul 01.20 WIB.

    https://www.cato.org/publications/commentary/debt-world-owes-hungary Diakses pada 11 Oktober 2020, pukul 02.05 WIB.

    https://www.history.com/this-day-in-history/soviets-put-brutal-end-to-hungarian-revolution Diakses pada 11 Oktober 2020, pukul 13.25 WIB.