Ketika sedang ngulik-ngulik beranda Facebook, muncul postingan video dengan caption “Jogetan lucu Jamet Kuproy” yang isinya berupa video orang berjoget dengan diiringi musik remix campur-campur. Kalau kita mencoba mengetik di pencarian Facebook kata “jamet”, “kuproy” maka akan muncul postingan dan video yang rata-rata penuh komentar bernada ejekan dan celaan.
Istilah “jamet” dan “kuproy” adalah akronim dari “Jawa Metal” dan “Kuli Proyek” yang secara spesifik merujuk pada suku Jawa yang dianggap sebagai kuli, rendahan, alay, dan juga norak. Stereotip negatif seperti ini mulai ramai sehingga banyak netizen mencela orang-orang Jawa dengan “cor jalanan dulu sana”, “nguli dulu sana” dan komentar lainnya yang tak layak disebutkan.
Stereotip negatif seperti ini sebenarnya sudah sering kita dengar dari lingkungan sekitar kita. Kita sering mendengar penilaian bahwa orang Padang itu matre, orang Batak itu keras dan arogan, orang Tionghoa pelit, orang Ambon dan Papua itu tak ramah, atau orang Kalimantan tidak kenal kompromi, serta stigma-stigma negatif lainnya.
Begitu juga orang Indonesia menggeneralisir bahwa orang Arab itu mulia hanya karena Nabi lahir di tanah Arab. Sementara itu, orang-orang Amerika dan Eropa adalah orang-orang kafir yang pantas diperangi karena mereka menindas bangsa-bangsa muslim, dan orang Malaysia dianggap tak berbudaya karena sering mengklaim beberapa produk kesenian Indonesia.
Kesalahan Berpikir
Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia pernah menjelaskan bahwa, di zaman kolonial Belanda, pernah diciptakan stereotip negatif bahwa orang Jawa itu hipokrit, orang Sumatera itu keras kepala, dan orang Tionghoa itu sombong. Stereotip-stereotip ini diciptakan bukan untuk mendeskripsikan, tetapi untuk memecah belah dan menyebar kebencian antar suku (Lubis, 1978).
Ketika Perang Kemerdekaan meletus tahun 1945-1949, orang-orang Jawa mencurigai orang-orang Ambon, kecurigaan tersebut karena kebanyakan personil KNIL (tentara resmi pemerintahan Hindia Belanda) adalah orang-orang Ambon. Sehingga, banyak orang di Jawa yang mengira bahwa Orang Ambon adalah mata-mata Belanda.
Munculnya stereotip negatif tersebut kadang lahir bukan hanya karena adanya tendensi kebencian satu suku terhadap suku yang lain. Kadangkala, stereotip negatif tersebut lahir dari kekeliruan masyarakat dalam menilai suatu suku atau ras.
Kesalahan dalam memberi stereotip pada suku tertentu ini termasuk logical fallacy (kesalahan berpikir) yang masuk dalam kategori hasty generalization, kekeliruan dalam menggeneralisir suatu objek yang diamati (Nordquist, 2019). Fenomena hasty generalization sangat sering terjadi dalam masyarakat kita. Misalnya banyak orang mengira jika perempuan pulang terlalu larut maka dia disebut bukan wanita baik-baik, atau anak laki-laki yang berambut gondrong disimpulkan sebagai anak berandalan. Padahal, asumsi-asumsi umum itu jelas-jelas keliru.
Hal ini sama kelirunya jika kita melihat kuli-kuli proyek kebanyakan adalah orang dari etnis Jawa, sehingga digeneralisir (secara serampangan) bahwa semua orang Jawa lebih akrab dengan pekerjaan kuli. Begitu juga jika kita menganggap semua orang Tionghoa itu pelit hanya karena melihat kebanyakan orang Tionghoa pemilik toko paling sulit barang dagangannya ditawar.
Stereotip negatif akan membawa kita pada sikap merendahkan suku lain untuk meninggikan suku sendiri. Ketika tiap suku saling merendahkan maka akan timbul kebencian, ketika kebencian tumbuh maka muncul fanatisme primordial, ketika fanatisme suku muncul, maka komunikasi yang terbuka antar suku dan ras tidak terjadi. Sukuisme telah menyebabkan pengkotak-kotakan yang menghambat sesama anak bangsa saling berkomunikasi.
Media Sosial dan Rasisme
Sementara, di konteks global, kasus rasisme juga tengah hangat disuarakan. Kematian George Floyd telah membakar kemarahan orang-orang di seluruh dunia. Slogan Black Lives Matter bergema di seluruh Amerika dan penentangan terhadap rasisme bergema di seluruh dunia. Nama George Folyd menjadi nama yang paling dicari di Google dan kini media massa turut berperan serta dalam menggemakan dukungan anti-rasisme.
Diakui atau tidak, media sosial telah mengubah secara revolusioner hidup kita saat ini. Kini, dengan adanya internet dan keterbukaan media, informasi dan komunikasi antar bangsa dan antar negara dapat terjalin. Media sosial, kemajuan transportasi, jaringan ekonomi pasar bebas, telah membuat manusia hidup dalam sebuah desa global (global village).
Dengan media sosial, ide-ide seperti kebebasan, demokrasi, toleransi, dan pasar bebas bisa menggema sampai ke akar rumput. Berbagai pemikiran positif lebih mudah tersalurkan dan dibaca secara luas oleh khalayak ramai.
Namun sayangnya, bagaikan pisau yang bermata dua, bukan hanya ide-ide toleransi, perdamaian dan kemanusiaan yang bisa disebarkan. Di Indonesia, media sosial justru menjadi alat yang paling ampuh untuk menyebar hoaks dan kebencian antar suku. Contohnya, ketika Pilgub DKI tahun 2017 dan Pilpres 2019, muncul tagar “#guePribumi”, “#PribumiBersatu”, lalu muncul suara “anti asing dan aseng” merupakan fakta bahwa di Indonesia media sosial menjadi lahan basah bagi rasisme tumbuh subur.
Istilah-istilah rasis yang memberi stereotip negatif pada suku lain juga semakin meluas di tengah masyarakat, seperti istilah “jamet-kuproy” yang meledek etnis Jawa. Akronim “jamet-kuproy” bukan hanya menghina orang Jawa yang dilecehkan sebagai suku rendahan. Istilah yang jadi candaan itu juga memberi justifikasi negatif kepada para kuli dan pekerja bangunan yang sebenarnya adalah orang-orang bertalenta dan pekerja keras.
Alih-alih ikut pada gerakan global yang menghapus tendensi rasisme, banyak masyarakat Indonesia yang justru “mengembang-biakkan” tendensi rasisme lewat candaan dan stereotip negatif terhadap saudara-saudara mereka sendiri. Dalam catatan sejarah, tendensi rasisme dan chauvinistik telah membuat umat manusia jatuh pada kehancuran dan kesengsaraan. Krisis ekonomi tahun 1998 bukan hanya karena jatuhnya nilai rupiah dari dollar, tetapi rusaknya tali persaudaraan oleh kebencian pada etnis Tionghoa.
Virus rasisme ini lebih berbahaya dari virus Corona, karena ia menjadi penyakit laten yang merusak persaudaraan antar bangsa. Kedewasaan di media sosial dan juga norma dan etika harus diperhatikan. Ubahlah status makian menjadi kritikan dan status bernada marah menjadi lebih bijaksana. Media sosial adalah cerminan kehidupan demokrasi kita, tapi jangan sampai kita menjadikan media sosial sebagai wadah yang meyuburkan kebencian rasial.
Referensi
Buku:
Lubis, Mochtar. 1978. Manusia Indonesia: Suatu Pertanggungjawaban. Yayasan Idayu: Jakarta.
Internet:
Nordquist, Richard. 2019. Hasty Generalization (Fallacy): When The Evidence Doesn’t Support the Conclusion. Dikutip dari: https://www.thoughtco.com/hasty-generalization-fallacy-1690919 diakses pada 22 Juni 2020, pukul 08.30 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com