Rasionalisasi Pentingnya Critical Thinking dalam Ruang Kebebasan Belajar Anak

252
Sumber gambar: https://www.dw.com/en/rodins-the-thinker-sells-at-auction/a-62312142

Fenomena “bocah filsafat dari SMK” yang ramai diperbincangkan semenjak video perbincangannya dengan Okky Madasari mengenai kritiknya terhadap konstruksi makna kedisiplinan yang dibangun oleh nilai-nilai sekolah, sontak mencuri perhatian saya untuk mengikuti tweet-tweet opini-nya. Rafi Azzamy, anak SMK yang beberapa waktu lalu menulis artikel berjudul “Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan”, mempertanyakan bagaimana kedisiplinan bekerja dalam sistem sekolah serta fungsi sekolah dalam mendidik yang dirasanya perlu dikaji ulang (Omong-omong.com, 16/05/2022).

Dalam artikel yang ditulisnya, kita bisa sama-sama melihat pendekatan yang digunakan Rafi dalam uraiannya yang sangat kental dengan nuansa kecurigaan hierarki dan perayaan subjek pinggiran. Dengan gaya bahasa dan tutur pikirannya, ia menghadirkan ruang subjek minor dengan khas filsuf pascakulturalis. Hal menarik lainnya, saya kagum dengan bagaimana pembangunan argumen Rafi dengan bobot diksi dan kosakata filsafatnya yang terbilang cukup ‘kaya’ dalam takaran usianya. Secara mendasar, dapat disimpulkan bahwa Rafi mencoba menguraikan kepatuhan, banalitas, relasi kuasa, serta praktik dalam institusi pendidikan.

Terlepas dari konstruksi dan ketepatan argumen yang ditulis Rafi (karena hal ini tentu berjalan beriringan dengan proses pembelajaran terus-menerus), saya sangat-sangat mengapresiasi tulisan dan ‘kevokalan’ Rafi dalam menyuarakan pendapatnya. Saya teringat ketika masa SMA saya yang juga diwarnai dengan masturbasi ideologi, membaca buku kiri seraya membangkitkan jiwa aktivis yang terpendam (dalam diri), dan juga bercengkerama dengan orang-orang yang lebih ahli dalam bidangnya. Momen-momen itu terasa menyenangkan, sampai negeri api menyerang, seperti ketika netizen di Twitter mulai menyerang argumen ‘ilusi kedisiplinan’ Rafi dengan menuduhnya dalam beberapa format: terlalu menggenaralisir sekolah di Indonesia; kurang data dalam argumen; tidak jelas argumennya; terlalu ‘ngawang’; kemudian muncul sebutan argumen anak kecil dari SMK, dan anak yang tersesat dalam filsafat.

Apa yang salah dari seorang anak SMK dalam masa pertumbuhannya—di  saat remaja seusianya mungkin sedang asik memikirkan keputusan tahun ajaran baru akan diadakan offline atau online—belajar  filsafat dan dengan kritis menentang sistem sekolah? Apa yang salah dari keberaniannya mengungkapkan rasa penasarannya terhadap ilusi konstruksi sosial di media sosial?

Dari fenomena Rafi Filsafat ini, bisa kita lihat kultur masyarakat di Indonesia yang masih zero tolerance terhadap kesalahan yang padahal merupakan proses dalam belajar. Mencela dan meremehkan argumen atau pertanyaan atau rasa penasaran (curiosity) yang datang dari anak muda adalah satu kultur yang salah jika dipelihara turun-temurun. Justru, kebebasan berpikir inilah yang seharusnya dipertahankan, rasa penasaran inilah yang harus digali dan dikembangkan. Critical thinking seorang anaklah yang harus terus menerus distimulasi dan diekspresikan. Dengan demikian, ruang anak belajar menjadi lebih sehat dan dapat bersifat dua arah.

Kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi dalam menyatakan pendapat adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memiliki korelasi yang sangat erat. Ke­be­basan berpikir adalah proses mem­pertanyakan, menguji, mengkritisi, bah­kan menjungkirbalikkan kebenaran-ke­benaran yang sudah mapan selama ini berdasarkan tingkat keilmuan se­se­orang. Ia bebas mempertanyakan apa saja yang dianggap “tabu” sekalipun un­tuk mencari kebenaran sementara yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam artian lain, kebebasan berpikir adalah langkah awal untuk menyatakan pendapat atau pikiran secara bebas. Sementara, kebebasan berekspresi merupakan menyatakan opininya, emosinya, atau argumennya melalui suatu medium, baik itu seni, tulisan, orasi, dan lain sebagainya).

Adapun cakupan dari hak kebebasan berekspresi terdiri dari dua argumen kuat. Argumen pertama, adalah kebebasan merupakan prasyarat penting bagi keberlangsungan hidup demokrasi. Perlindungan perlu diberikan terhadap kebebasan berekspresi masyarakat. Argumen kedua, yakni bahwa kebebasan tersebut perlu untuk memberikan perlindungan terhadap individu sebagai sebuah entitas yang bebas dan merdeka, serta tidak terbelenggu oleh tirani keotoriteriatan. Kebebasan berekspresi secara universal dikenal sebagai hak asasi manusia yang fundamental, tidak hanya sebagai dasar landasan demokrasi, tetapi juga sangat relevan terhadap kehidupan masyarakat sipil dalam suatu negara (Olivia, 2020).

Apa yang didapat dari implementasi kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi ini? Kegaduhan yang terjadi dalam demokrasi merupakan cerminan keberhasilan demokrasi. Hal ini menandai keterlibatan masyarakat, termasuk kalangan milenial dalam menghidupkan demokrasi lewat mereka yang mewarnai linimasa media sosial dengan opini-opini yang saling tonjok-tonjokan satu sama lain (pertarungan ide itu justru baik!).  Dalam komentar beberapa cuitannya Rafi misalkan, ada yang tidak setuju dengan perihal bangun pagi yang disinggung Rafi dan melontarkan antitesisnya dalam melawan argumen Rafi.

Dari sisi edukasi, ini bukan masalah sosial soal bertengkar (atau ribut), melainkan ini cerminan proses demokrasi yang bising. Rafi menulis dan ada orang yang menanggapi tulisannya dengan memberikan pandangannya, Rafi jadi mempunyai tempat untuk diskursus lebih lanjut. Lebih lanjut, ide-ide inilah yang tidak boleh dikekang oleh intervensi manapun. Meskipun bagi sebagian masyarakat Indonesia, ide filsafat kiri (terutama yang erat kaitannya dengan komunisme) itu merupakan ide subversif yang mengancam negara, tetap ide tersebut tidak boleh dilarang. Restriksi-restriksi ide atau argumen inilah yang ke depannya akan memperkeruh ruang proses pembelajaran seseorang dan di masyarakat.

“Children are organically predisposed to be critical thinkers. Across the boundaries of race, class, gender, and circumstances, children come into the world of wonder and language consumed with a desire for knowledge.” (Bell Hooks on “Teaching Critical Thinking”)

Referensi

Artikel

https://omong-omong.com/sekolah-dan-ilusi-kedisiplinan/ Diakses pada 12 Juli 2022, pukul 19.50 WIB.

Jurnal

Olivia, D. (2020). “Hakikat Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia”. Rio Law Jurnal, Vol. 1(2). Diakses pada 13 Juli 2022, pukul 10.00 WIB melalui http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/RIO