Saya beruntung dapat menghadiri acara konferensi untuk me-recharge pemahaman ekonomi-politik saya, wawasan dan jejaring baru melalui acara Public Choice Summer University di Bakuriani, Georgia. Konferensi yang berlangsung dari 9-15 Agustus 2016 diselenggarakan oleh panitia dari New Economic School (NES) Georgia. Acara yang telah lima kali terselenggara ini menghadirkan Prof. Randy Holcombe sebagai salah satu pembicara yang selalu hadir dalam konferensi tersebut.
Selain menghadirkan Randy Holcombe sebagai pembicara dalam sesi-sesi yang dipersiapkan NES Georgia, saya merasa beruntung dapat memperoleh kuliah dari lima orang profesor lainnya, yaitu Prof. Edward Stringham (Amerika Serikat), Prof. Pierre Garello (Perancis), Dr. Alberto Mingardi (Italia), Prof. Roland Vaubel (Jerman), dan Prof. Morteza Sameti (Iran), serta dua pembicara dari NES Georgia Paata dan Gia.
Randy Holcombe adalah Profesor Ekonomi pada Florida State University. Ia memperoleh Doktor Ekonomi dari Virginia Tech University dibawah bimbingan James Buchanan – pioneer Teori Pilihan Publik. Sebelum mulai mengajar di Florida pada tahun 1988, Ia pernah mengajar di Texas A&M University dan di Auburn University. Prof. Holcombe juga menjadi peneliti tamu senior (Senior Fellow) di James Madison Institute, sebuah lembaga pemikir yang memiliki spesialisasi isu-isu yang terkait pemerintah daerah. Berikut adalah wawancara Muhamad Iksan (MI) dan Randy Holcombe (RH).
Terima kasih Prof. Holcombe untuk wawancara di waktu yang sangat berharga ini. Saya Muhamad Iksan Editor Pelaksana dari Suarakebebasan.Org. Kami adalah sebuah portal yang mendedikasikan diri dalam promosi gagasan kebebasan kepada anak muda. Saya ingin memulainya dengan berbincang tentang public choice 101. Jadi Teori Pilihan Publik pada intinya sebuah analisis kegagalan pemerintah dalam mengatasi kegagalan pasar. Dapatkah anda mengelaborasinya lebih mendalam?
Pada dasarnya pilihan publik merupakan analisis ekonomi mengapa pasar tidak dapat berfungsi secara sempurna atau terjadi kegagalan pasar, sehingga gagal menghasilkan solusi optimal yang seharusnya. Dan asumsinya pemerintah dapat memberikan solusi optimal terhadap kegagalan pasar tersebut. Namun bila kita menganalisis pemerintah, menggunakan analisis ekonomi yang sama kita pergunakan kepada pasar, yang kita temui adalah bukan hanya kegagalan pasar karena pasar kerap tidak berfungsi sempurna. Tetapi juga terdapat kegagalan pemerintah. Pemerintah juga tidak sempurna. Jadi kita menginginkan adanya teori yang dapat digunakan menganalisis pemerintah, sebagaimana juga pasar. Analisis tentang bagaimana politik sebenarnya bekerja, ketimbang politik seharusnya bekerja. Dan tipikal kebijakan ekonomi saat kita membuat solusi optimal, maka pemerintah tidaklah berfungsi optimal. Dan bila kita berhenti pada solusi (made in pemerintah) akan menjadi analisis yang wishful thinking. Ide dasarnya pilihan publik ialah mari gunakan analisis ekonomi ketimbang wishful thinking.
Menurut anda mana yang lebih berbahaya kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah dalam konteks kebijakan yang keliru sehingga tidak dapat direvisi kembali? Atau justru keduanya berbahaya?
Mari kita lihat berkeliling dunia untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bila kita lihat lebih mendalam apakah ada negara yang menderita karena memiliki lebih banyak pasar bebas (free-market). Justru negara-negara yang paling makmur adalah negara yang lebih berorientasi kepada pasar. Kita bisa melihat banyak negara yang terlilit masalah karena terlalu banyak campur tangan pemerintah, yah kita bisa melihat contoh-contoh tersebut. Jadi buat saya, dengan hanya melihat contoh dari beragam kawasan dunia. Pertanyaan tersebut dapat dijawab kegagalan pemerintah lebih berbahaya dari kegagalan pasar.
Terkadang pasar tidak/belum “ada” di negara-negara berkembang. Seperti apa yang terjadi pada jaminan sosial kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah di sisi lain memiliki sumber daya dan kelihatannya dapat memberikan solusi yang berujung pada argumen tradisional negara kesejahteraan (welfare state). Bagaimana kita menghadapi soal-soal barang publik seperti ini dalam perspektif Anda?
Tentu saja ada trade-off disana menyangkut isu social security seperti itu. Kamu menyebutkan banyak orang suka dengan ide saat mereka memasuki usia tua, bila mereka ada masalah kesehatan dan mereka tidak bekerja. Mereka tidak jatuh tertimpa tangga dua kali, ada seseorang yang mengurusinya. Dan orang menyukai manfaat-manfaat serupa. Namun tentu saja hal ini berdampak kepada ekonomi keseluruhannya menjadi kurang efisien. Karena membebani aktivitas produktif ekonomi, maka orang awam tentu menyukai hal-hal (tentang jaminan sosial) serupa ini, namun tentu saja akan memperlambat perekonomian dan menciptakan disinsentif untuk menjadi produktif. Sebagian masalah dalam program serupa adalah lebih banyak orang menjadi tergantung kepada manfaat yang diberikan pemerintah, ketimbang mencari cara kontribusi terhadap perekonomian secara umum.
Saya bekerja pada lembaga pemikir (think-tank) dapatkah Anda memberikan saran bagaimana untuk menggunakan Teori Pilihan Publik sebagai lensa untuk menganalisis masalah ekonomi-politik bagi para penggiat think-tank?
Dua hal yang dapat saya katakan. Pertama, Anda harus dapat menempatkan pemerintah secara lebih realistis. Seperti saya sebutkan sebelumnya terlalu sering awam melihat pemerintah dengan penuh harapan, alias wishful thinking. Ini yang saya inginkan pemerintah lakukan, dan mereka tidak pernah berpikir: Apakah memang benar pemerintah dapat melakukan hal tersebut. Apa yang akan terjadi apabila pemerintah ikut terlibat. Coba ajak orang-orang untuk berpikir: apa yang sebenarnya terjadi bila pemerintah campur tangan? Ketimbang berpikir apa yang seharusnya terjadi.
Kedua, saya melihat lebih efektif bila kita mulai menganalisis intervensi pemerintah dalam ekonomi. Coba mulai bertanya kepada awam: Apakah kamu lebih menginginkan pilihan-mu sendiri? Atau kamu lebih menginginkan pilihan orang lain buatmu? Dan jawabannya tentu saja bermuara pada argumen pemerintahan yang terbatas (limited government).
Dan berbicara soal demokrasi saya suka quote Anda: Demokrasi tidaklah sempurna. Apa yang baik dalam demokrasi adalah batasan konstitusional bagi politisi yang sedang menjabat sehingga mereka tidak bisa menjadi tirani. Benarkah pernyataan saya tadi tentang keterkaitan demokrasi dan batasan konstitusional ini?
Saya kira sangat sering orang dalam ekonomi yang sedang berkembang melihat ekonomi Barat. Amerika Utara, Kanada, dan sebagian besar Eropa adalah pemerintahan yang demokratis, untuk itu kita butuh demokrasi. Namun hal yang menjadikan ekonomi Barat makmur bukanlah demokrasi itu sendiri. Justru pemerintahan yang terbatas atau dibatasi oleh konstiusi-lah yang lebih penting bagi upaya mencapai kemakmuran. Esensi demokrasi adalah siapa yang memiliki legitimasi untuk memerintah, namun yang lebih penting justru bagaimana dalam menggunakan kekuasaan itu dan memberikan batasan terhadapnya.
Saat Anda menyatakan konstitusi, maksud Anda adalah kesepakatan dasar yang kerap dimiliki oleh berbagai negara di dunia ini. Atau seperti aturan-aturan yang dilahirkan dari dinamika hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. Mengingat di Indonesia sangat sulit dewasa kini di Indonesia untuk merubah konstitusi.
Bagian pertama menjawab pertanyaan Anda, menurut saya, konstitusi merupakan aturan-aturan umum yang berlaku bagi setiap orang baik yang sifatnya tertulis, atau aturan-aturan yang diikuti (tidak tertulis). Misalnya, di Amerika Serikat ada konstitusi tertulis yang tidak mencakup semua hal. Sehingga Mahkamah Agung (MA) membuat keputusan. Sehingga secara efektif menyangkut konstitusi, dalam menjalankan fungsinya kami berharap MA “dibimbing” oleh konstitusi tertulis. Konstitusi tentu bersifat lebih umum daripada keputusan MA. Sepemahaman saya, batasan menjabat bagi pejabat publik adalah ide yang baik.
Dalam kuliah, Anda juga menjelaskan tentang keteraturan spontan (spontaneous orders) tentu saja gagasan ini sangat menarik, bahkan sangat magis bagi banyak non-ekonom. Bisa Anda eloborasi lebih jauh?
Saya kira ini konsep terpenting yang harus diajarkan dalam ilmu ekonomi. Dan bahkan dalam kelas-kelas ekonomi (sekarang) kita kurang memperhatikannya lebih mendalam. Dan bilamana Anda melihat bagaimana ekonomi pasar bekerja. Keteraturan spontan memang terjadi, tidak ada yang mendesain, tidak ada orang yang paling tahu bagaimana ekonomi secara keseluruhan bekerja. Setiap orang membuat keputusan individual mereka. Ekonomi pasar mengoordinasikan rencana-rencana setiap orang dan hasilnya lebih baik dari yang mereka rencanakan. Dan Anda bisa lihat perbedaan ekonomi Korea Utara dan Korea Selatan. Antara ekonomi berbasis keteraturan spontan (Korea Selatan) dan ekonomi berbasis perencanaan terpusat (Korea Utara). Beberapa dekade lampau, kita melihat Jerman Barat dan Jerman Timur. Setiap orang bebas merencanakan kepentingan pribadinya dan seperti dibimbing oleh tangan tak terlihat (invisible hand) yang bermanfaat bagi semua orang.
Berbicara mengenai perencanaan terpusat merupakan hal yang buruk. Dapatkan Anda elaborasi lebih jauh mengenai hal ini. Karena sebagian orang di negeri kami percaya kami bukan perencana yang baik, sehingga memerlukan otoritas menentukan apa yang baik dan apa yang tidak.
Untuk dapat mengalokasikan sumber daya, maka Anda harus mengalokasikannnya kepada sumber yang paling efisien. Namun bagaimana kita mengetahui sumber daya tersebut paling berharga? Hal inilah yang terefleksi dalam harga pasar (market prices). Harga pasarlah yang dapat memberikan informasi kepada kita bahwa emas lebih berharga dari perak, anggur lebih berharga dari air putih (kecuali di padang pasir tentunya), tetapi apa yang harga pasar berikan kepada kita adalah harga yang terkandung di dalam sesuatu itu dan melalui kepemilikan pribadi, orang memiliki insentif untuk meningkatkan nilai dari barang yang dapat gengamannya. Jadi, Anda memiliki dua masalah buat pemerintah: pertama, dengan perencanaan terpusat, Anda tidak memiliki harga pasar karena semuanya berada di bawah kendali pemerintah. Yang kedua, orang yang membuat keputusan tidak memiliki sumber daya tersebut, sehingga tidak ada insentif untuk memaksimalisasi nilainya.
Apakah kita pemilih memang bisa menjadi pembeda, apakah kita dapat membawa perubahan melalui pemilihan umum (voting) seperti yang Anda katakan soal batasan konstitusional. Bila kita bebas memilih, namun tidak ada pembatasan dari sisi konstitusi, dapatkan pilihan kita benar-benar berpengaruh (really matters)?
Tentu saja pilihan seorang diri tidak berpengaruh. Tetapi pilihan ribuan sampai jutaan orang akan sangat berpengaruh. Jadi hal ini memang permasalahan dalam demokrasi. Setiap orang memiliki hanya sedikit insentif terhadap pilihannya. Dan hasil daripada pemilihan umum menentukan siapa yang memegang pemerintahan. Jadi gagasan demokrasi mencerminkan keinginan publik atau kehendak bersama boleh jadi tidak berlaku demikian. Bahwa Anda inginkan batasan konstitusional dan bila Anda memiliki pemimpin yang buruk, Anda (pemilih) jadi mengetahuinya dan melalui pemilu yang demokratis kita bisa menggantikannya. Jadi hal ini (pemilu) seperti cara mendisiplinkan pemimpin politik walaupun bukan cara terbaik menentukan kebijakan publik.
Pembaca bisa menyimak wawancara lengkap dengan Prof Randy Holcombe pada podcast Suarakebebasan.Org (dalam Bahasa Inggris)

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.