Saya ingat ketika awal tahun 2019, saya suka mempelajari kebijakan proteksionisme. Hal tersebut dikarenakan, tanggal 1 -3 November 2018 lalu, lebih dari 1.000 pelaku bisnis dan tokoh politik internasional menghadiri acara The 16th Asia Pasific Conference of German Business (APK). Perhelatan APK ini diharapkan bisa memperkenalkan potensi bisnis di Indonesia.
Dalam acara tersebut, ada pembahasan mengenai “Connecting Asia and Europe: Belt and Road and Beyond” pada hari Jumat, 2 November. Beberapa tokoh terkemuka hadir menjadi panelis, diantaranya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, CEO dan President Siemens AG Joe Kaeser, Deputy Chairman dan CEO HSBC Asia Peter Wong, dan Anggota Parlemen Eropa Reinhard Buetikofer.
Sri Mulyani menyampaikan fokus dan prioritas Indonesia dalam pembangunan infrastruktur untuk menciptakan konektivitas antar wilayah. Selain itu, topik yang dibahas juga sangat beragam, mulai dari inovasi, infrastruktur, kecerdasan buatan, urbanisasi, hingga stabilitas politik dibahas dalam perhelatan acara yang diselenggarakan di salah satu hotel di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) di Jakarta.
Salah satu hal menarik yang mengundang perhatian dari media adalah pernyataan Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier, yang mengungkapkan, “mari membentuk aliansi global yang mendukung ekonomi pasar. Inilah yang dibutuhkan dunia, bukan proteksionisme.”
Namun, tidak sedikit pihak yang menganggap ekonomi pasar sebagai bentuk kolonialisme modern. Memang bisa dipahami, di saat banyak orang kurang mendapat informasi mengenai bagaimana pasar bebas bekerja, memberikan pidato anti-asing merupakan sesuatu yang mudah dilakukan oleh para politisi.
Strategi kampanye salah satu calon presiden saat Pemilu 2019 lalu misalnya, banyak menggunakan retorika fear mongering dan mengedepankan proteksionisme. Hal ini membuat saya déjà vu terhadap pemilu Amerika Serikat pada tahun 2016 lalu di mana retorika anti-asing juga kerap digunakan oleh salah satu kandidat.
Lalu, apakah proteksionisme itu sendiri akan menyejahterakan rakyat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya membuat ilustrasi sederhana. Tejo ingin membeli peralatan untuk ibadah yang diproduksi di Arab Saudi. Namun, kepala desa tempat ia tinggal memaksa Tejo untuk membeli barang tersebut dari produsen di desanya.
Karena paksaan tersebut, produsen peralatan ibadah di desa Tejo tersebut kini menjadi monopoli karena bekerja sama dengan kepala desa. Produsen tersebut mampu mematok harga sangat tinggi, sehingga terjadi kelangkaan peralatan untuk ibadah di desa tersebut.
Melalui ilustrasi ini, Tejo adalah kita, warga negara yang seharusnya memiliki kehendak bebas dalam menentukan produk yang ingin kita beli. Kepala desa adalah pemerintah, sedangkan produsen peralatan untuk ibadah di desa Tejo tersebut adalah pebisnis dalam negeri yang bisa sekehendaknya menetapkan harga atas komoditas tertentu, karena ia memonopoli produk tersebut.
Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau kebijakan proteksionisme akan membantu mereka untuk menyelamatkan pekerjaan di masing-masing negara. Hal ini justru mengakibatkan deadweight loss, atau unrecovered loss of social welfare.
Penurunan keunggulan komparatif akan menekan angka produktivitas. Oleh karena itu, hal ini juga turut menekan angka upah riil. It’s worthwhile for people to sell what they are more efficient at producing and to buy what others are comparatively better at producing. Dengan ini, produktivitas meningkat dan semua pelaku ekonomi dapat diuntungkan.
Perdagangan bukanlah permainan zero sum, di mana kemenangan harus diimbangi dengan kerugian. Perdagangan internasional akan menambah kompetisi, menggenjot inovasi, serta meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu.
Mereka yang merasa terproteksi dengan kebijakan ini hanya merasakan ilusi yang justru melanggengkan kekuasaan kroni-kroni pemerintah di perekonomian dalam negeri, seperti kebijakan Soeharto pada Orde Baru yang malah meningkatkan angka korupsi.
Sebagai penutup, sangat penting untuk diperhatikan bahwa, bila Anda mendengar pemerintah berkoar-koar tentang tarif yang akan menyelamatkan rakyat dari kemelaratan, itu hanyalah propaganda belaka. Selain itu, proteksionisme juga dapat mengakibatkan distorsi pasar dan menurunnya efisiensi alokatif.
Sebagaimana yang diucapkan oleh ekonom tersohor kelahiran Austria, Ludwig von Mises, “The philosophy of protectionism is a philosophy of war.”

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.