Awal tahun baru ini merupakan tahun yang melegakan dan penuh keoptimisan, karena beberapa vaksin COVID-19 telah melewati uji klinis fase ketiga, yang menandakan vaksin sudah siap untuk didistribusikan kepada masyarakat Indonesia. Bahkan dalam pidatonya, Presiden Jokowi menargetkan vaksinasi diselenggarakan pada pertengahan Januari 2021 (Pidato Presiden Jokowi, 31/12/2020). Selain itu, di DKI Jakarta, diberlakukan sistem denda sebesar 5 Juta rupiah bagi masyarakat yang menolak vaksinasi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease (COVID) 2019.
Namun, wacana vaksinasi ini menimbulkan ketakutan bahkan penolakan dari sebagian masyarakat. Hal ini diungkap dalam sejumlah survei, diantaranya yang dilakukan oleh Populi Center, Kementerian Kesehatan, dan Lapor COVID-19. Survei dilakukan pada tanggal 21 sampai 30 Oktober 2020 di 100 Kabupaten atau Kota secara proposional di 32 Provinsi, dengan jumlah responden mencapai 1000 orang.
Alhasil, terdapat sekitar 46,5 persen para responden tidak bersedia divaksin COVID-19. Angka ini jelas cukup besar dalam mempengaruhi pertimbangan pemerintah untuk kembali membuat strategi agar bisa meyakinkan rakyatnya. Sampai sekarang pun, sebagian masyarakat tetap dalam pendiriannya, tidak bersedia divaksin dengan berbagai pertimbangannya (kompas.com, 19/12/2020).
Dari kedua paragraf di atas, terdapat permasalahan dan pertanyaan yang dapat kita angkat. Diantaranya adalah, sejauh mana batas kebebasan sipil dalam suatu negara? Apakah penolakan vaksin atas dasar kebebasan sipil dapat dibenarkan? Dan sejauh mana negara dapat mengintervensi kebebasan sipil?
Dalam kacamata demokrasi, pemerintah merupakan bagian dari lembaga demokratis dan harus bertindak dalam koridor konstitusional. Namun, sebagian besar kondisi sosial dan ekonomi tetap dianggap sebagai wilayah privat yang lepas dari intervensi dan struktur politik (Meyer, 2012).
Menurut Djohan Rady dalam buku “Libertarianisme: Perspektif Kebebasan Atas Kekuasaan dan Kesejahteraan” yang diterbitkan oleh Suara Kebebasan, batas individualisme itu terletak pada konsep pemisahan antara ruang privat dan ruang publik (Suara Kebebasan, 2019). Adapun ruang privat adalah domain individual, di mana tidak boleh satupun pihak yang boleh mencederai kebebasan tersebut kecuali dirinya sendiri.
Dalam ruang ini, persoalan rasa dan etika menjadi hal yang krusial. Sedangkan, ruang publik adalah ruang bersama, di mana segala peraturannya telah disepakati bersama. Oleh karena itu, setiap individu wajib tunduk dan patuh terhadapnya. Dalam ruang ini, shared value atau acuan nilai bersama menjadi basis dalam membuat norma atau peraturan yang tentunya aturan itu tidak dapat masuk ke ruang privat (lamunanmalam.wordpress.com, 2008).
Kemudian muncul pertanyaan, apakah penolakan vaksin dari masyarakat ini masuk ke dalam ruang privat atau ruang publik? Apakah penolakan dari sipil ini dicap sebagai perusak ruang publik atau sikap negara (pemerintah) yang koersif ini mencedarai hak-hak individu dalam ruang privat?
Jawaban dari permasalahan ini tergantung bagaimana kita menentukan duduk perkara tekait “vaksinasi” ini. Hemat saya, dalam hal hak atas tubuh seperti penyuntikan vaksin ke dalam tubuh seorang individu, masuk ke dalam ruang privat.
Namun, perlu diketahui bahwa, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang berkomunal (zoon politicon), dan memiliki kecondongan untuk berinteraksi antar individu. Apabila interaksi antar individu di masa pandemi ini dibiarkan begitu saja tanpa ada kontrol dari negara, maka sisi mudaratnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya, karena virus ini dapat tersebar luas dan lebih dari itu dapat menyebabkan kematian. Jadi, shared value dalam fenomena ini dapat diberlakukan untuk menyelesaikan masalah, mengingat batasan-batasan di ruang pubik ini lebih konkret.
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan masyarakat sipil dalam menolak vaksin tidak bisa dibenarkan bila tanpa alasan medis tertentu. Hal ini dikarenakan wabah pandemi ini merupakan masalah bersama dan opsi terbaik yang dimiliki untuk mencegah terjadinya penularan bahkan sampai kematian yaitu dengan cara vaksinasi.
Referensi
Buku
Meyer, Thomas. 2019. Demokrasi Sosial dan Libertarian: Dua Model Yang Bersaing Dalam Mengisi Kerangka Demokrasi Liberal. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stifung (FES).
Suara Kebebasan. 2019. Libertarianisme: Perspektif Kebebasan Atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.
Internet
https://lamunanmalam.wordpress.com/2008/01/14/antara-ruang-privat-dan-ruang-publik/ Diakses pada, 9 Januari 2021, pukul 18.10 WIB.
https://lokadata.id/artikel/vaksinasi-covid-19-mendekat-kenapa-warga-enggan-dan-ragu Diakses pada 9 Januari 2021, pukul 17.30 WIB.
Sekretariat Presiden (2020), “Sambutan Presiden Joko Widodo Menyambut Tahun 2021”, diakses dari https://youtube.com/watch?v=9aM-ngxwl00 pada 9 Januari 2021, pukul 15.38 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/19/12234221/lakukan-survei-soal-vaksin-populi-center-mayoritas-yang-menolak-karena Diakses pada 9 Januari 2021, pukul 18.45 WIB.

Ahmad Bashori adalah seorang mahasiswa UIN Jakarta jurusan Aqidah & Filsafat, suka membaca antologi cerpen dan tentunya tertarik dengan bacaan falsafah Islam maupun Barat. Falsafah hidupnya ialah “Manusia bisa saja lenyap tergerus waktu karena ia berupa materi. Namun tidak dengan ide, ia abadi, maka tuangkanlah ia ke dalam karya agar dirimu selalu kekal.”