Produktivitas, Efisiensi, dan Pasar Baru Revolusi 4.0

    450

    Istilah kecerdasan buatan (artificial intelligence) kini merupakan istilah yang akrab bagi banyak orang, khususnya mereka yang gemar mengikuti isu-isu terkait perkembangan teknologi. Istilah ini diciptakan pada tahun 1956. Tetapi, AI telah menjadi kian populer saat ini berkat peningkatan volume data, algoritma canggih, dan peningkatan daya, serta penyimpanan komputasi. Riset AI awal pada tahun 1950-an mengeksplorasi topik-topik seperti penyelesaian masalah dan metode simbolik.

    Pada tahun 1960-an, Departemen Pertahanan AS menaruh minat terhadap jenis pekerjaan ini dan mulai melatih komputer-komputer untuk menirukan penalaran manusia yang mendasar. Misalnya, Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) menyelesaikan proyek pemetaan jalan pada tahun 1970-an. Dan DARPA menghasilkan asisten pribadi cerdas pada tahun 2003, jauh sebelum Siri, Alexa atau Cortana diberi nama (sas.com, tanpa tahun).

    Kecerdasan buatan memungkinkan mesin untuk belajar dari pengalaman, menyesuaikan input-input baru dan melaksanakan tugas seperti manusia. Sebagian besar contoh AI yang Anda dengar dewasa ini, mulai dari komputer yang bermain catur hingga mobil yang mengendarai sendiri sangat mengandalkan pembelajaran mendalam dan pemrosesan bahasa ilmiah. Dengan menggunakan teknologi ini, komputer dapat dilatih untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan memproses sejumlah besar data dan mengenali pola dalam data.

    Implementasi tekonologi seperti di atas memang selalu menciptakan efisiensi. Tidak heran, banyak tudingan bahwa teknologi akan membuat pengangguran lebih tinggi. Saya sendiri menyaksikan bagaimana kartu e-toll yang menggantikan posisi petugas yang biasa duduk di bilik dan menjaga setiap mobil masuk pintu tol. Sekilas, bila dilihat dari satu sudut pandang seperti itu memang efisiensi teknologi menciptakan klaster pengangguran yang baru.

    Padahal, efek dari efisiensi tersebut tidak sampai di situ saja. Perubahan yang bermula pada Revolusi Industri dan semakin berkembang karena adanya globalisasi ini membawa dampak pada perubahan lingkungan bisnis yang mencakup perubahan teknologi, persepsi konsumen, dan persaingan produk. Akibatnya, perusahaan dituntut mampu meningkatkan kualitas produk, pelayanan, efisiensi, biaya produksi, dan produktivitas perusahaan itu sendiri.

    Filosofi dan spirit tentang produktivitas sudah ada sejak awal peradaban manusia. Makna produktivitas ada keinginan (the will) dan upaya (effort) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang. Menurut Encyclopedia Britania disebutkan bahwa produktivitas dalam ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan, menurut formasi National Productivity Board (NPB) Singapura, dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap mental (attitude of mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Dalam laporan tahun 1983, dikatakan bahwa produktivitas mengandung pengertian sikap mental yang selalu mempunyai pandangan ”mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.” (Sedarmayanti, 2001).

    Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa, produktivitas memiliki dua dimensi, yakni efektivitas dan efisiensi. Dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian untuk kerja yang maksimal dalam arti deadline target tidak lepas dari kualitas dan kuantitas. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan upaya membandingkan masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilakukan.

    Setelah meningkatkan kondisi kemasan, produk, kualitas, dan sebagainya, barulah perusahaan dihadapkan pada mekanisme pasar yang berdampak besar terhadap keunggulan daya saing perusahaan. Keunggulan daya saing perusahaan dinilai berdasarkan kriteria ekonomi dengan menggunakan variabel-variabel internal, seperti yang disebutkan di atas tadi (kreativitas, kemasan, efisiensi, dan sebagainya). Bagaimana peran teknologi dalam hal ini? Apakah hanya mengurangi pekerja dan menambah angka pengangguran?

    Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan tersebut mampu membantu manusia menciptakan produk dengan kapasitas besar, hemat energi, dan melakukan fungsi dan jenis pekerjaan yang semakin banyak. Alhasil, output produksi yang dikeluarkan pun semakin memuaskan dan memiliki daya saing di pasar. Tentunya, kita sebagai konsumen menginginkan produk yang bernilai tinggi dengan kualitas mumpuni, bukan?

     

    Produsen Tetap Pekerja, Namun Buruh Kehilangan Pekerjaannya

    Tidak cuma Anda saja yang beranggapan bahwa kemajuan inovasi teknologi akan merugikan pegawai. Bahkan, orang tua saya juga percaya prediksi teknologi perlahan akan menyingkirkan orang-orang yang seharusnya ada di posisi tersebut.

    Bicara mengenai efisiensi teknologi, produktivitas yang meningkat antar perusahaan, daya saing dalam pasar menarik konsumen, dan lainnya ditafsir hanya menguntungkan kita sebagai konsumen karena hasil output yang bervariasi dan banyaknya pilihan produk. Bagaimana dengan pekerja? Perusahaan bisa meningkatkan produktivitas tanpa bantuan para pegawainya kan? Ternyata, tidak.

    Jika menelusuri jejak Revolusi Industri Pertama, munculnya teknologi akan meningkatkan jumlah pengangguran, karena teknologi dapat mengerjakan suatu perkerjaan dengan sedikit orang dan produktivitas yang tinggi. Hal ini juga terlihat pada industri mobil, karena pada saat Ford menerapkan ban berjalan, mereka dapat menjual mobil dengan harga yang jauh di bawah rata-rata.

    Namun, jangan dilupakan efek setelah itu. Dengan harga mobil yang terjangkau, kelas menengah dapat menjangkau bahkan membeli mobil-mobil tersebut. Intensitas jumlah pengguna mobil pada saat itu naik dengan cepat. Kenaikan jumlah pengendara mobil tersebut menyebabkan timbulnya pekerjaan baru, seperti tambal ban, pompa bensin, bengkel mobil, dan sebagainya. Semua lapangan pekerjaan baru tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja yang memberi sinyal positif.

    Bukti terbaru lainnya di negara-negara Eropa menunjukkan bahwa meskipun teknologi mungkin menggantikan para pekerja di beberapa jenis pekerjaan, secara umum teknologi meningkatkan permintaan tenaga kerja.

    Sebagai contoh, alih-alih merekrut petugas pinjaman tradisional, platform fintech besar, China JD Finance menciptakan lebih dari 3.000 lapangan kerja untuk analisis data dan manajemen risiko untuk mempertajam algoritma peminjaman digitalnya. Selain itu, penggunaan ponsel pintar (smartphone), tablet, dan berbagai alat elektronik lainnya yang semakin marak akhir-akhir ini ikut menciptakan banyak pekerjaan di bidang pengembangan aplikasi mobile dan desain virtual reality (cnbcindonesia.com, 21/1/2019).

    Teknologi juga memfasilitasi penciptaan lapangan kerja untuk mereka yang akan bekerja di sektor online atau gig economy. Gig economy terjadi ketika beberapa perusahaan mengontrak pekerja independen untuk jangka waktu tertentu.

    Sebuah perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang memiliki spesialisasi di bidang pelatihan pengembang piranti lunak (software) Andela misalnya, telah melatih 20.000 pemrogram software di Afrika menggunakan alat kursus online. Bila telah memiliki kualifikasi, mereka akan bergabung dan bekerja untuk Andela atau klien Andela dari seluruh dunia (cnbcindonesia.com, 21/1/2019).

    Dalam konteks yang mirip, perkembangan bidang IT juga menggeser banyak pekerjaan. Tetapi, pertumbuhan IT yang cukup pesat sekarang ini juga memunculkan lapangan pekerjaan baru, seperti content  writermultimedia developer, SEO expert, social media specialist, dan banyak pekerjaan lain yang enam atau lima tahun lalu masih sangat jarang.

    Tidak bisa dipungkiri bahwa, memang teknologi akan menghilangkan beberapa pekerjaan, namun imbasnya justru juga akan memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru yang sebelumnya tidak ada. Seperti revolusi yang mendahuluinya, Revolusi Industri 4.0 memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat pendapatan global dan meningkatkan kualitas hidup populasi di seluruh dunia.

    Di masa depan, inovasi teknologi juga akan mengarah pada keajaiban sisi penawaran, dengan keuntungan efisiensi dan produktivitas jangka panjang. Biaya transportasi dan komunikasi akan turun, logistik dan rantai pasokan global akan menjadi lebih efektif, dan biaya perdagangan akan berkurang, yang semuanya akan membuka pasar baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Sebagai pengganti otomatisasi untuk tenaga kerja di seluruh ekonomi, penggantian pekerja oleh mesin dapat memperburuk kesenjangan antara pengembalian modal dan pengembalian tenaga kerja. Di sisi lain, juga dimungkinkan bahwa pemindahan pekerja dengan teknologi akan, secara agregat, menghasilkan peningkatan dalam pekerjaan yang aman dan menguntungkan.

     

    Referensi

    Buku

    Sedarmayanti. 2001. Tata Kearsipan dengan Memanfaatkan Teknologi Modern.  Bandung: Mandar Maju.

     

    Internet

    https://www.sas.com/id_id/insights/analytics/what-is-artificial-intelligence.html Diakses pada 5 Desember 2020, pukul 20.00 WIB.

    https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190121072110-37-51510/tenang-ada-bukti-teknologi-juga-ciptakan-lapangan-kerja Diakses pada 5 Desember 2020, pukul 21.00 WIB.