
Isu agama beberapa tahun belakangan tampak seperti gincu permanen, di mana isu tersebut tidak pernah luput dari perbincangan masyarakat, (yang saya rasa memiliki relevansi dengan kebangkitan organisasi teroris yang mengatasnamakan agama, atau saya yang terlalu asyik berkonspirasi?). Belakangan, isu ini memuncak setelah Holywings membuat geger masyarakat karena membuat promosi minuman beralkohol gratis bagi pemilik nama Muhammad dan Maria, polisi telah menetapkan enam tersangka yang berasal dari manajememen Holywings. Adapun keenam tersangka ini terjerat pasal penistaan agama berlapis dan terancam bui selama 10 tahun (suara.com, 24/06/2022).
Kasus ini kemudian menarik banyak pehatian dari seluruh kalangan masyarakat. Tito Maulana, Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah DKI menjelaskan bahwa cara promosi yang dilakukan Holywings dengan promosi minuman beralkohol gratis khusus untuk pelanggan bernama ‘Muhammad’ dan ‘Maria’ berujung pada tindakan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan atau SARA. “Kasus yang terjadi pada Holywings membuat Masyarakat Ekonomi Syariah DKI Jakarta mengingatkan agar tidak terjadi lagi kedzaliman dan menghalalkan segala cara dalam semua aktivitas ekonomi termasuk marketing campaign yang berujung ke tindakan SARA”, ujar Tito (republika.co.id, 27/06/2022).
Di samping itu, ada juga kalangan masyarakat yang kontra terhadap penangkapan staf Holywings yang didasarkan atas pasal penistaan agama. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Abraham Todo Napitupulu, melihat adanya keganjilan dalam kasus ini. Menurutnya, pasal yang merupakan warisan era kolonial itu tidak bisa lagi digunakan untuk menghukum seseorang. Erasmus sendiri juga menyatakan pendapat yang sama terkait kasus penodaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama. Ia mengatakan mengatakan bahwa, “Semua kasus penodaan agama yang menggunakan Pasal 156a KUHP itu tidak jelas yang mau dibuktikan apa. Dalam kasus Ahok, niat untuk menodai itu juga tidak jelas, yang mana bagian yang menodai.” (cnnindonesia.com, 10/05/2017).
Pasal Penistaan Agama (Blasphemy Law) dan Problematikanya
Pasal penodaan agama sendiri pertama kali menjadi tindak pidana di Indonesia pada 27 Januari 1965 dengan diundangkannya Ketetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama. Hal ini dibuktikan dengan Surat Keputusan Presiden (Dekrit Presiden) yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 (Peterson, 2020). Pasal ini kemudian berkembang dalam status hierarki UU di Indonesia, mulai dari Dekrit Presiden 1959 hingga Konstitusi Pasal 29 UUD NKRI 1945 mengenai pasal yang mengatur agama di Indonesia.
Namun, hukum dan kebijakan Indonesia memicu sejumlah kasus persekusi oleh umat agama tertentu terhadap umat agama atau sekte lain. Pihak berwenang biasanya gagal mengadili pelaku kejahatan. Pelaku umumnya membenarkan tindakan mereka sebagai perlawanan terhadap kebencian, kesesatan, penistaan, atau penyimpangan. Beberapa contohnya seperti kasus Ahok dan Meiliana (warga Tanjung Balai) yang dinilai melanggar Pasal 156(a) karena mengeluhkan volume suara azan yang berkumandang di dekat rumahnya (nasional.tempo.co, 23/08/2018).
Atas dasar beberapa contoh kasus yang terjerat dalam pasal penistaan agama tersebut, saya merasa hukum penistaan agama ini sangat elastis, subjektif, dan hukum ini dapat dengan mudah dieksploitasi oleh beberapa instansi khususnya untuk keperluan politik. Dengan bahasa sehari-hari, pasal karet. Dalam artian lain, pasal karet ini bisa disalahgunakan menjadi alat opresi oleh segelintir kelompok.
Definisi yang ambigu menjadikan pasal ini bisa ditarik kemana saja dan siap memangsa siapa saja. Pasal 156(a) yang merupakan pasal penistaan agama menyebutkan:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Maka, unsur penting yang diperhatikan di sini adalah di depan umum yang bisa diartikan bahwa dilakukan di depan dua orang atau lebih. Namun bagaimana halnya dengan seorang pemimpin atau oknum agama tertentu yang membicarakan tentang keyakinan agama orang lain di depan umatnya sendiri? Lagi-lagi, persoalannya bagaimana definisi dan penjelasan dari pasal ini yang tidak menutup ruang bagi siapa saja untuk bisa menafsirkan definisi tersebut secara sesuka hati. Semua orang boleh menafsirkan untuk orientasi tertentu agar bisa mengakomodir kepentingannya.
Tidak ada standar objektif yang bisa digunakan sebagai regulatory base suatu ‘blasphemy’, statement-statement yang diklaim blasphemy hanya interpretasi subjektif dari masyarakat, tergantung siapa yang mendengar. Lagipula, perasaan tersinggung dan terhina itu subjektif sekali, itu masalah pribadi. Dengan tolak ukur siapakah suatu statement bisa dianggap sebagai penistaan? Standar saya dalam hal hina-menghina saja berbeda dengan teman saya. Hal yang menurut mereka menyinggung, belum tentu saya anggap demikian, belum tentu orang-orang tersinggung dengan perkataan serupa. Jadi, kepala siapa yang dijadikan standar untuk tersinggung? Siapa yang tersinggung?.
Hukum yang sejatinya menjaga dan menjamin ketertiban dalam hidup bermasyarakat telah bermetamorfosa sebagai alat untuk menghancurkan keharmonisan antara sesama warga negara atau masyarakat. Penduduk Indonesia dengan latar belakang agama dan kultur yang beraneka ragam memiliki kans yang cukup besar melanggar ketentuan pasal ini, kenyamanan dalam berekspresi dan berbicarapun menjadi hal yang justru berubah menakutkan karena ada jeratan hukum pasal penistaan yang senantiasa mengintai. Mengatakan sesuatu hal tentang suatu ajaran agama tertentu bisa saja bermuara pada persoalan hukum karena berbagai penafsiran yang tidak memiliki garis yang jelas tentang definisi pasal penistaan agama.
Maka, sudah sepatutnya agar pemberlakuan pasal ini harus ditinjau dan digali lebih jauh lagi guna meminimalisasi bertambahnya jumalah warga negara ini yang terjerat oleh pasal ini. Rancangan KUHP yang baru harus memperhatikan betul mengenai detail tentang garis yang jelas tentang definisi penistaan itu sendiri, sehingga orang tidak dengan mudah melaporkan seseorang warga negara ke aparat penegak hukum. Substansi hukum harus benar benar memadai untuk mendukung dan memastikan penegakan hukum yang benar dan adil selain penegakan struktur dan kultur hukum yang ada di Indonesia.
Referensi
Artikel
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170510073740-12-213686/kontroversi-pasal-penodaan-agama-ahok Diakses pada 27 Juni 2022, pukul 20.43 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1119663/ini-kronologi-kasus-penistaan-agama-meiliana-di-tanjung-balai Diakses pada 28 Juni 2022, pukul 10.13 WIB.
https://www.republika.co.id/berita/re44vu330/soal-kasus-penistaan-agama-holywings-ini-komentar-masyarakat-ekonomi-syariah Diakses pada 27 Juni 2022, pukul 20.33 WIB.
https://www.suara.com/news/2022/06/24/210619/dijerat-pasal-berlapis-kasus-penistaan-agama-direktur-kreatif-hingga-designer-grafis-holywings-terancam-10-tahun-bui Diakses pada 27 Juni 2022, pukul 20.16 WIB.
Buku
Peterson, D. (2020). Islam, Blasphemy, and Human Rights in Indonesia: The Trial of Ahok. New York: Routledge.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.