Seperti yang dilansir oleh sejumlah media cetak beberapa hari lalu, kasus prostitusi yang melibatkan kontestan Putri Pariwisata 2016 berinisial PA sedang ramai dibicarakan karena polisi baru-baru ini berhasil membongkar praktik prostitusi yang dioperasikan oleh dua orang mucikari.
Negara Indonesia dikenal dengan adat ketimurannya. Oleh karena itu, wajar saja hal-hal yang dianggap sebagai bagian dari tradisi barat, seperti gaya busana, kehidupan sosial, dan aktivitas “malam” sangat dibatasi dan menjadi momok serius bagi masyarakat Indonesia. Maka dari itu, prostitusi dianggap melanggar norma dan etika terlebih dalam paradigma orang timur.
Prostitusi, dengan segala stigma-stigma negatifnya, ditentang karena masyarakat menganggap prostitusi menyebar penyakit seks yang menular (HIV/AIDS), eksploitasi manusia (khususnya dalam hal eksploitasi seksual), mendiskreditkan martabat perempuan.
Yang paling umum, mayoritas masyarakat di Indonesia menentang prostitusi karena dalih agama. Jargon-jargon yang digunakan diantaranya adalah “Prostitusi itu zina!”, “Prostitusi melanggar agama!”. Intinya, prostitusi dianggap amoral. Namun yang saya lihat sikap mereka lebih cenderung ke hipokrit. Buktinya, walau banyak orang yang bilang prostitusi itu haram, tetap saja bisnis prostitusi masih banyak peminatnya.
Karena memenuhi rule by the majority, pemerintah kerap menangkap beberapa pelaku bisnis prostitusi sampai menutup beberapa tempat yang menjadi lokasi kejadian seperti yang Anies Baswedan lakukan pada Alexis. Apakah regulasi anti-prostitusi ini benar-benar efektif sampai sekarang?
Prostitusi merupakan bisnis paling tua yang akan selalu ada dan tidak akan pernah hilang. Ilegalisasi prostitusi sendiri tidak akan menyelesaikan masalah pemerkosaan, kekerasan dan pelecehan seksual, human trafficking yang angkanya dianggap melonjak drastis karena bisnis “ilegal” ini.
Menurut saya, bukan legalisasi dibutuhkan untuk membereskan masalah prostitusi di Indonesia. Begitupun dengan prostitusi yang dibubarkan begitu saja. Langkah cepat untuk mengatasi masalah pro dan kontra prostitusi yang tepat adalah dilakukannya lokalisasi.
Beberapa tempat yang dikenal sebagai lokalisasi bisnis prostitusi di Indonesia sebenarnya banyak. Ada di Sarkem (Yogyakarta), Saritem (Bandung), Sintai (Batam), Gang Sadar (Banyumas), wilayah Jakarta Utara (Angke dan Kramat Tunggak). (malangtimes.com, 17/12/18).
Lokalisasi prostitusi terbukti sukses dan diawasi oleh pemerintah dengan lebih ketat sehingga lebih aman dilaksanakan. Kawasan Red Light Distrcit di Amsterdam, Belanda, merupakan salah satu contohnya. Bukan hanya menjadi ikon destinasi wisata dan budaya, tapi juga contoh nyata tempat praktik jual-beli jasa seks yang legal dan aman berlangsung selama puluhan tahun.
Dengan menjadi favorit tersendiri bagi turis yang datang, lokasi bisnis prostitusi otomatis akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi ekonomi lokal yang berdampak pada devisa negara. Bila prostitusi dilegalkan, Pekrja Seks Komersial (PSK) akan dianggap sebagai pekerjaan yang diatur dalam hukum. Untuk itu, PSK harus bayar pajak karena profesi dan hak-hak kemanusiaannya dilindungi oleh negara.
Dengan begini, pajak checklist, permintaan pariwisata dari turis checklist, dan akhirnya devisa negara bertambah. Secara kasar, dapat diambil kesimpulan prostitusi merupakan lahan basah yang mendatangkan prospek bagus bagi negara.
Selain mempengaruhi pendapatan sebagai nilai plus dari pelaksanaan lokalisasi prostitusi, kebijakan lokalisasi ini juga akan berdampak pada social damage dalam masyarakat yang menjadi fokus utama kenapa prostitusi dilarang.
Pertama, anak-anak dan remaja akan terhindar dari pengaruh pelacuran bila lokasi prostitusi jauh dari lingkungan mereka. Selain itu, bagi para pria yang ingin membeli jasa seks ini tidak akan terlalu mengganggu mereka yang tinggal di kawasan yang lebih konservatif karena tempat untuk mendapatkan jasa tersebut jauh dari lingkungan mereka . Dengan begini, pemerintah juga bisa meregulasi tempat dan kegiatan-kegiatan di sana lebih terstruktur.
Dalam menetapkan kebijakan mengenai prostitusi memang tidak akan habisnya dengan pro dan kontra dari berbagai kalangan yang didapat. Sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya, saya menyetujui kebijakan lokalisasi karena nantinya pasti ada bisnis diam-diam yang menjalankan ini tanpa sepengetahuan pemerintah. Ini tentu lebih berbahaya karena pemerintah tidak bisa memperhatikan kesehatan pekerja, penyebaran dampak, dan sebagainya.
Referensi
https://www.malangtimes.com/baca/34195/20181217/073300/tujuh-lokalisasi-terbesar-di-indonesia-ada-yang-masuknya-lewat-gang-pondok-pesantren

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.