Akhir-akhir ini ada sedikit perbincangan yang menarik perhatian saya di linimasa media sosial, mengenai salah satu pemain di drama Korea The World of the Married. The World of the Married mempunyai premis yang singkat tapi efektif, yakni seorang istri dan dokter ambisius yang berusaha menguak perselingkuhan suaminya. Sebagai bagian dari negara yang menjadikan lagu “Jablay” sebagai anthem dan sebutan “pelakor” sebagai kata makian yang fenomenal, tentu saja premis tersebut langsung menarik minat penonton Indonesia dengan cepat, termasuk saya.
Disuguhi dengan beragam visual ciamik yang seakan-akan membuat penonton menyadari eksistensi “rich privilege.” Mulai dari seorang Lee Tae Oh yang terlahir bukan dari keluarga berada dan selama hidupnya harus dibantu secara finansial oleh kedua mantan istrinya, sampai begitu mudahnya Da Kyung menyelesaikan berbagai masalah karena posisi ayahnya di kota kecil tersebut.
Hal ini membuat saya teringat pada topik privilege yang pada masanya sedang boom dan menuai pro kontra, baik di kalangan menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Keluarga-keluarga di kalangan menengah ke atas memang sering kali dianggap memiliki privilege tersendiri, mulai dari kesempatan jaringan pekerjaan yang lebih luas, biaya pendidikan yang terjamin (tanpa repot-repot harus bekerja sambilan), atau kemudahan akses informasi.
Bukan hanya orang kaya yang mayoritas dianggap memiliki privilege lebih. Orang berkulit putih di Amerika yang juga cenderung lebih dihormati, dan standar kecantikan wanita di Korea yang membuat berlomba-lomba wanita mempercantik dirinya sesuai standar kultur masyarakat di sana.
Di tanah Nusantara, kisah serupa terjadi. Salah satunya, tentang privilege yang diperoleh bangsa Belanda di atas kaum pribumi Indonesia. Privilege yang didapat Belanda di tanah jajahannya tak lepas dari kekuasaan yang ditanamkan kongsi dagang mereka, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Badan ini dikenal sebagai perseroan dagang yang memiliki status politik kuat di Asia. Dan karena status mereka yang lebih tinggi, orang pribumi Indonesia seringkali mendapat perlakuan yang tidak adil, bahkan dicap sebagai pemalas yang bodoh.
Karena timbul status-status sosial yang beragam di masyarakat, maka para ahli membedakannya menjadi assigned dan ascribed status yang mungkin sudah sangat akrab di telinga pelajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Maijor Polak dalam bukunya, status mempunyai dua aspek. Aspek pertama adalah yang sedikit stabil dan aspek kedua yang lebih dinamis. Pada aspek pertama, sifatnya hierarkis dan relatif terhadap status-status lain. Sedangkan aspek kedua dimaksudkan sebagai social role yang dimiliki oleh seseorang (Abdulsyani, 1987).
Karena pandangan-pandangan yang diciptakan oleh budaya nenek moyang kita ini (tentu saja perlakuan seperti rasial dan paradigma orang kaya dan miskin merupakan hasil dari jalannya sejarah manusia), saya melihat teori privilege seperti mahkota abu-abu yang sampai saat ini belum ditemukan titik terangnya.
Privilege sejatinya adalah konsep yang sangat samar. Pembentukannya amat tergantung pada kesepakatan kelompok individu dan masyarakat. Seperti yang saya bilang tadi, privilege sepenuhnya tidak jauh dari hasil bentukan konstruksi sosial budaya di masyarakat. Tak hanya dibentuk lewat proses sosial, privilege juga dapat dibentuk lewat mekanisme politik.
Dengan kata lain, privilege itu memang nyata, namun bentuknya relatif dan kondusif sesuai dengan lingkungan tempat privilege itu tumbuh. Keistimewaan yang dimiliki seseorang merupakan hasil interaksi antar subjek (antara individu tersebut dengan individu lain), yang dimana kemudian, hasil dari interaksi tersebut memiliki fungsi untuk hubungan antar individu di dalam masyarakat (Abdulsyani, 1987).
Oleh karena itu, bisa dikatakan basis privilege bisa bermacam-macam, tergantung apa yang diterima dalam hubungan tersebut. Misalnya, sebuah organisasi mengkhususkan perempuan akan diantar pulang jika acara hingga larut malam. Hal tersebut menjadi privilege dari perempuan, yakni privilege dalam bentuk perlindungan.
Contoh lain betapa relatifnya privilege adalah tentang bagaimana seorang profesor yang amat dihormati di lingkungan akademis, misalnya. Ketika berbelanja di pasar, ia akan setara dengan seorang mahasiswa abadi sekalipun. Maka, eksistensi dari privilege amat bergantung pada kondisi dan situasi lingkungan.
Suka atau tidak suka, privilege akan memberi jarak antar kelompok yang seringkali berangsur-angsur menjadi kelas sosial. Hal ini tidak bisa dihindari karena sedari awal manusia memang tidak ada yang setara dan terlahir dalam kondisi fisik maupun non fisik yang berbeda.
Berangsur-angsur, mereka yang telanjur memiliki paradigma berpikir bahwa hanya yang dilahirkan beruntung dan kaya saja yang bisa sukses dan menjalani hidup lebih baik, terbiasa hidup nyaman dan tidak mau repot-repot bekerja lebih keras. “Toh, ujung-ujungnya anak orang kaya lagi yang sukses”, begitu pikir mereka. Hal ini yang seringkali menyebabkan ketimpangan jauh, baik dari segi pendidikan dan akses kebebasan, dalam masyarakat.
Ketidaktahuan memengaruhi pilihan dan akhirnya memengaruhi kebebasan. Orang-orang yang tidak mengenal haknya, pengetahuan tentang dunia, tentang beragam pilihan yang bisa dia ambil dan lain-lain, tidak dapat menggunakan kebebasannya secara penuh. Ketidaktahuan merestriksi kebebasan.
Bayangkan orang-orang yang tinggal di suatu masyarakat dengan pilihan terbatas. Misalnya, pilihan yang tersedia hanya menikah atau menjadi miskin. Padahal, jika diposisikan di masyarakat lain, banyak alternatif yang bisa diambil. Maka dari itu, sebuah privilege untuk kita yang mengenal hak-hak kita, pilihan yang serba banyak dan pengetahuan mengenai dunia, apalagi dengan adanya internet. Sebuah privilege untuk mengenal banyak rekan dan memperluas koridor pilihan kita pula.
Itulah kenapa, bagi para pemikir abad pencerahan, kebebasan harus sejalan dengan pengetahuan. Karena dengan adanya pengetahuan, kebebasan untuk memilih dan mengambil kesempatan dapat kita dipakai dengan maksimal.
Referensi
Abdulsyani. 1987. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Fajar Agung.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.