Dalam kerangka filsafat politik, kita pertama-tama harus berurusan dengan pertanyaan dasar mengenai cara manusia hidup bersama: “bagaimana hidup yang baik itu?”. Pertanyaan ini sudah diandaikan ketika para filsuf mulai memikirkan kekuasaan, yang merupakan awal mula pencarian itelektual mereka untuk menetapkan kehidupan apa yang baik bagi manusia. Percarian tersebut kemudian melahirkan berbagai bentuk spekulasi dan klaim moral untuk membenarkan suatu pandangan. Tapi, meskipun pertanyaan ini sudah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu, pertanyaan ini perlu selalu diandaikan, karena di satu sisi menyangkut filsafat politik, di sisi lain sebagai kritik ideologis.
Dalam diskursus tentang kekuasaan, tentunya selalu terdapat pengandaian akan prinsip-prinsip moral yang mendasarinya. Dalam tulisan ini, saya mencoba menawarkan sebuah prinsip moral atau pandangan etika politik untuk berusaha membayangkan kehidupan yang baik atau ideal bagi manusia. Prinsip tersebut saya ambil dari etika politik libertarianisme.
Bagi libertarianisme, kehidupan yang baik itu jika hak milik dan kebebasan individu diakui. Institusi politik tidak pernah punya hak atau legitimasi apapun untuk merebut hak tersebut dari individu-individu. Untuk itu, kehidupan yang baik adalah selalu kehidupan di mana masyarakat hidup dengan bebas. Apa kiranya prinsip moral yang mendasari kehidupan tersebut? Jawaban libertarian adalah aksioma “non-agresi” (non-aggression). Prinsip inilah yang menjadi dasar hukum atau pedoman moral bagi kebebasan individu dan hak miliknya, atau yang mendasari masyarakat bebas itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh libertarian abad 20, Murray Rothbard, dalam bukunya For A New Liberty: The Libertarian Manifesto:
Kredo libertarian bertumpu pada aksioma sentral: bahwa tidak ada seseorang atau sekelompok orang yang dapat menyerang orang atau milik orang lain. Ini disebut aksioma non-ageresi “nonaggression”. Agresi didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan fisik pada tubuh dan pada milik (kepemilikan eksternal) orang lain. Oleh karena itu, agresi identik dengan invasi.
Prinsip non-agresi dikatakan mempunyai karakter “askiomatik”, tapi di sini perlu dipikirkan kata aksioma dalam kerangka etis dan aksioma pada kerangka matematis. Aksioma secara umum dikenal sebagai sebuah proposisi yang mengalahkan lawan-lawannya dengan fakta bahwa mereka harus menerimanya, sebab, penyangkalan terhadapnya akan menyebabkan kontradiksi diri.
Dalam matematika atau logika, karakter aksioma selalu menjadi titik awal pengetahuan apriori yang selalu mempunyai syarat nesesitas, sebagaiaman prasuposisi geometri Euclidean. Pada kerangka etis—sebagaimana Kant hingga Rothbard—tindakan-tindakan kejahatan seperti mencuri, membunuh, merampas dst, adalah buruk secara moral, karena tidak memperlakukan manusia sebagai manusia. “Manusia adalah tujuan,” kata Kant, “bukan alat”. Jadi, menghindari tindakan-tindakan jahat adalah harus. Keharusan ini pada Kant disebut “imperatif kategoris”, status pengetahuannya adalah apriori. Jadi, penggunaan akasioma pada kerangka etis menurut saya bisa dibenarkan.
Dengan kita mendasarkan pada pemahaman akan aksioma atau prinsip non-ageresi ini, kita bisa memahami bagaimana masyarakat bebas itu sebenarnya, dan bagaimana masyarakat yang sebaliknya. Kita tentunya masih bisa melihat negara-neagara di dunia dengan sistem pemerintahan mereka hari ini, di mana bentuk-bentuk agresi, baik dari pemerintah atau dari kelompok sipil, masih terjadi. Di Kuba, Venezuela, dan Korea Utara adalah contoh bentuk agresi yang paling telanjang yang dapat kita saksikan hari ini. Pemerintah mereka mengorganisasi warga negara mereka dengan menanggalkan kebebasan bahkan hak milik atas nama negara dan organisasi.
Lebih parah lagi jika negara-negara yang menyatakan diri mereka sebagai negara demokratis, tapi kebijakan-kebijkan politiknya memuat unsur-unsur agresi, baik itu agresi lewat pajak, intervensi pasar, dan kebebasan berpikir. Orang-orang cenderung berpikir mereka tidak diserang di bawah rezim yang menyatakan diri domokratis; mereka aman-aman saja ketika berhadapan dengan tumpukan aturan dari pemerintah mereka; konon mereka sangat menjunjung tinggi kesetaraan ekonomi, yang mana mereka sendiri tidak menyadari bahwa itu adalah serangan atau agresi tidak langsung terhadap milik mereka, hidup mereka.
Ontologi Kepemilikan
Perdebatan yang langsung menyentuh jantung libertarianisme adalah perdebatan mengenai konsep “kepemilikan”. Ia adalah basis atau core dari kerangka ideologi libertarianisme, yang kemudian juga memungkinkan aksioma non-agresi ditetapkan. Hak kepemilikan mempunyai basis ontologis dan kebenaran yang nyaris prima facie (walaupun ada perdebatan yang cukup menarik antara konsep kepemilikan tubuh self ownership dan kepemilikan barang-barang eksternal, seperti pada Locke).
Misalnya kepemilikan tubuh, seseorang adalah pemilik prima facie tubuhnya: karena ia memiliki kaitan objektif atas tubuhnya, yaitu kemampuan mengendalikannya secara langsung. Berbeda dengan pendasaran teologis pada Locke, yakni bagaimana klaim kepemilikan barang-barang eksternal yang pada mulanya milik bersama, beralih menjadi milik pribadi dengan “kerja”. Artinya, kerjalah yang membuat barang-barang itu beralih dari kepemilikan bersama yang diberikan Tuhan, menjadi milik pribadi. Jadi, dapat dipahami bahwa fitur yang diandaikan pada kepemilikan barang-barang eksternal, berbeda sama sekali dengan kepemilikan atas tubuh.
Namun, terlepas dari perdebatan itu, kepemilikan tubuh dan kepemilikan barang-barang ekternal sama-sama-berasal dari sumber yang sama, yakni “kelangkaan”. Hal ini sebagaimana yang dibahas Hans-Hermann Hoppe dalam risalah monumentalnya, A Theory of Socialism and Capitalism:
Lembaga properti mucul karena fakta kelangkaan atau persaingan di dunia. Fakta ini juga menimbulkan konflik kekerasan atas penggunaannya. Bagi mereka yang menyukai kedamaian, kemakmuran, dan penggunaan sumber daya produktif, alih-alih konflik kekerasan, jelaslah bahwa hak kepemilikan dibutuhkan di tengah kekuatan persaingan tersebut. Sumber daya tersebut termasuk tubuh kita, dengan alasan-alasan tujuan yang ingin dicapai. Aturan seperti ini untuk mencukupi aturan sosial, dan oleh karena itu harus objektif dan adil agar dapat diterima oleh setiap individu .
Pandangan Hoppe terhadap konsep kepemilikan menggambarkan suatu kedaan di mana pencarian orang-orang beradab di tengah masyarakat adalah selalu objektif, suatu kenyataan yang Hoppe sebut sebagai kenyataan intersubjectively ascertainable. Dengan kenyataan tersebut, penetapan terhadap aturan kepemilikan dimungkinkan.
Menurut saya, dalam kerangka Mises dan membentang dari Rothbard hingga Hoppe, semua kepemilikan didasarkan pada fakta kelangkaan dan kemungkinan konflik di dalamnya. Properti dalam tubuh seseorang didasarkan pada fakta bahwa setiap orang memiliki kaitan terbaik dengan tubuhnya, yaitu tubuh satu-satunya di dunia. Properti pada barang-barang eksternal didasarkan pada kerangka “kerja” Locke dan kemungkinan klaim terbaik lewat alasan-alasan yang dapat diterima, semisal warisan, hadiah, dan lain sebagainnya—sebuah kerangka yang pada dasarnya menggambarkan realitas ekonomi—yakni kelangkaan.
Tubuh manusia dan kepemilikan eksternal adalah sumber daya yang langka, dan oleh karena itu, peraturan properti dibutuhkan. Peraturan-peratuaran yang dibutuhkan tentunya harus objektif, dan tidak ada prinsip etis yang paling mungkin untuk mendasari aturan tersebut, selain prinsip “non-agresi”. Sebab, ketika kita berbicara mengenai konfilik interpersonal, yaitu kekerasan interpersonal yang melibatkan tubuh atau kepemilikan barang-barang ekternal mereka, gagasan ”nonagresi” adalah yang paling bisa untuk mengatasi konflik tersebut.
Ketika kita menentang agresi, kita juga sekaligus membela atau menyatakan hak kepemilikan kita, baik tubuh maupun kepemilikan eksternal. Misalnya ketika kita membela pernikahan sesama jenis; keyakinan agama tertentu; atau ketika menentang atauran-aturan pemerintah yang memberatkan warga negara, penentangan tersebut adalah pembelaan terhadap kedirian kita, hidup kita. Inilah kiranya solusi untuk membayangkan bagaimana masyarakat bebas itu sebenarnya, yakni masyarakat di mana peradaban dinikmati semua orang.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.