Pandemi COVID-19 saat ini merupakan salah satu permasalahan besar yang melanda berbagai negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Pandemi ini telah menyebabkan jutaan orang di seluruh dunia kehilangan nyawa, dan telah menghancurkan aktivitas ekonomi banyak penduduk dunia.
Setelah beberapa bulan lalu pandemi ini seakan kian meredup, munculnya varian baru, yang bernama varian Delta, telah kembali membuat terjadinya peningkatan kasus kembali. Tidak sedikit pihak dan juga para pakar yang berpandangan bahwa, satu-satunya solusi yang memungkinkan untuk meredam dan mengakhiri pandemi ini adalah melalui vaksinasi setiap orang yang tinggal di planet kita.
Untuk itu, saat ini berbagai negara berlomba-lomba untuk mendapatkan dan menyimpan vaksin dalam jumlah besar untuk diberikan kepada warga mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tidak sedikit perusahaan farmasi dan lembaga pendidikan yang berupaya melakukan riset dan penelitian, yang akhirnya melahirkan vaksin COVID-19 yang telah menyelamatkan banyak nyawa.
Diantara berbagai jenis vaksin tersebut, salah satu vaksin yang paling dikenal dan digunakan di banyak negara adalah vaksin Oxford-AstraZeneca (AZ). Vaksin tersebut dibuat oleh lembaga pendidikan tinggi ternama Inggris, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang mengunakan AZ untuk pemberlakuan program vaksinasi. Belakangan, ada hal menarik perhatian banyak warga Indonesia mengenai vaksin AZ, yakni bahwa diantara peneliti vaksin tersebut, terdapat dua orang Indonesia, yakni Indra Rudiansyah dan Carina Joe (Detik.com, 27/7/2021).
Carina Joe sendiri merupakan ilmuwan yang meraih gelar PhD dari dari Royal Melbourne Institute of Technology. Sementara, Indra Rudiansyah merupakan ilmuwan yang saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Oxford. Keduanya terlibat dalam proses pembuatan vaksin AZ di lembaga Jenner Institute, Oxford (Detik.com, 27/7/2021).
Carina Joe dan Indra Rudiansyah sendiri tidak bisa dipungkiri telah memberikan inspirasi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tentunya, merupakan kebanggaan kita semua ada saudara sebangsa yang meraih prestasi yang luar biasa di bidang perkembangan ilmu pengetahuan, dan terlibat dalam penelitian untuk menyelamatkan jutaan nyawa.
Peran Carina dan Indra dalam proses penelitian vaksin Oxford Astra-Zeneca menimbulkan banyak reaksi di Indonesia. Hampir semua masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan sangat mengapresiasi hal tersebut, karena telah mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Tidak sedikit pula, orang-orang yang menginginkan mereka agar pulang ke Indonesia. Menteri BUMN misalnya, Erick Thohir, dalam salah satu diskusi Instagram Live bersama Indra Rudiansyah, menanyakan kepada ilmuwan tersebut kapan ia akan pulang (finance.detik.com, 24/7/2021).
Keinginan sebagian masyarakat Indonesia, termasuk dari kalangan pejabat negara, untuk memulangkan warga Indonesia yang berprestasi tinggi di luar negeri bukanlah sesuatu yang baru. Bila kita berselancar di dunia maya, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai komentar yang menginginkan mereka yang berprestasi tinggi, khususnya di bidang ilmu pengetahuan, baik itu bioteknologi, fisika nuklir, fisika partikel, ilmu komputer, dan lain sebagainya, untuk kembali ke Indonesia.
Banyaknya pandangan tersebut memang sesuatu yang bisa dimengerti. Sains dan teknologi yang saat ini ada di Indonesia sebagai negara berkembang masih sangat jauh bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Pada tahun 2017 misalnya, rasio jumlah peneliti di Indonesia sangat kecil, yakni hanya 89 peneliti per 1 juta penduduk, yang merupakan rasio terkecil di antara negara-negara G-20. Negara tetangga kita, Singapura, misalnya, memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk (edukasi.kompas.com, 17/4/2017).
Dengan mereka yang berprestasi di luar negeri pulang ke Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan jumlah peneliti di Indonesia. Dan dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan di negara kita juga akan semakin terdongkrak naik.
Tetapi, pandangan bahwa meningkatkan ilmu pengetahuan dapat semudah membalikkan telapak tangan dengan mendatangkan mereka yang berprestasi di luar negeri adalah pandangan yang sangat keliru. Mengembangkan ilmu pengetahuan tidak bisa hanya sekedar mendatangkan para jenius asal Indonesia, yang mendapatkan prestasi tinggi di negara-negara lain.
Menyediakan iklim yang ramah akan ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat krusial untuk meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan, dimanapun tempatnya. Bila suatu negara masih memiliki sikap yang sangat antipati terhadap sains dan ilmu pengetahuan, maka mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi hal yang sangat sulit.
Evolusi misalnya, yang merupakan konsep yang paling fundamental dalam ilmu biologi modern, masih menjadi gagasan yang sangat kontroversial dan tidak sedikit yang menentang pengajarannya di sekolah dan lembaga pendidikan. Hal ini dikarenakan evolusi dianggap bertentangan dengan ajaran yang diyakini oleh banyak warga negara Indonesia.
Bagaimana misalnya, kita bisa menyediakan tempat yang memumpuni di bidang bioteknologi bagi orang-orang seperti Indra Rudiansyah dan Carina Joe, bila banyak masyarakat di negara kita yang masih memiliki sikap yang antipati terhadap ilmu pengetahuan? Bisa-bisa, mereka yang dipulangkan dari luar negeri justru tidak bisa menggunakan kapasitas mereka yang luar biasa secara maksimal, sebagaimana ketika mereka tinggal di luar negeri.
Selain itu, tidak bisa kita pungkiri bahwa, warga Indonesia yang berprestasi di luar negeri bisa meraih prestasi yang luar biasa tersebut karena kondisi dan fasilitas yang mereka dapatkan di luar negeri. Adanya institusi yang modern dan kuat, yang dibangun melalui iklim yang sangat ramah dan mendukung sains dan ilmu pengetahuan, merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kesempatan yang bisa mereka dapatkan untuk meraih prestasi yang luar biasa.
Lebih baik mereka yang berprestasi di luar negeri, khususnya di negara-negara maju, tetap tinggal di sana agar mereka bisa menggunakan kapasitas mereka secara maksimum. Sangat mungkin, orang-orang seperti Carina Joe dan Indra Rudiansyah misalnya, dalam tahun-tahun ke depan bisa kembali berkontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat penting, yang akan membantu miliaran penduduk dunia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sebagai penutup, yang sangat penting, sebelum meminta mereka yang berprestasi di luar negeri untuk pulang, terlebih dahulu kita harus mampu membangun fondasi iklim yang ramah ilmu pengetahuan. Tanpa adanya hal tersebut, maka akan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.