Mendengar kata ‘Pram’, terbayang seorang penulis masyhur yang mendekam lama di penjara karena dianggap berasosiasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di minggu-minggu tragis setelah peristiwa G30S/PKI, naskah-naskah Pram dibakar oleh massa yang menyatroni rumahnya. Setelah bebas dari penjara pun, buku-buku Pram tetap dilarang peredarannya oleh pemerintah. Dan ketika Pram meninggal, ia dikebumikan diiringi lagu komunisme internasional Internationale.
Melihat kembali peristiwa-peristiwa tersebut, dan membaca kembali tulisan-tulisan Pram di era sekarang, mau tidak mau menimbulkan rasa getir. Karena, ketika dibebaskan dari konteks sosial dan politiknya, tulisan Pram terasa ditulis oleh orang berpikiran jernih dan berjiwa bebas. Bukan oleh orang berpikiran keruh dengan asumsi-asumsi Marxis yang keliru.
Di sini penulis mengambil contoh buku Pram ‘Panggil Aku Kartini Saja’, ‘Bumi Manusia’ dan ‘Anak Semua Bangsa’. Ada beberapa garis pikiran yang terulang dalam tiga buku ini. Pertama adalah kekaguman Pram terhadap liberalisme Barat. Kedua adalah kebencian terhadap feodalisme yang merupakan musuh alami gagasan kebebasan. Ketiga adalah dukungan terhadap bisnis dan kewirausahaan. Apabila digabung tiga hal ini bisa dibilang Surat Cinta Pram untuk Kebebasan yang mungkin kerap luput dipahami orang-orang.
Dalam buku-bukunya, Pram kerap mendeskripsikan keunggulan pola pikir Barat dan pribumi yang mampu berpikir gaya Barat (walaupun sambil konsisten mengingatkan ekses negatifnya terutama terkait imperialisme). Ide liberalisme Barat merangsang keinginan menjadi individu yang bebas. ‘Kemajuan menyebabkan Pribumi Filipina makin dekat pada ilmu pengetahuan Eropa … dan berontaklah mereka. Mereka sebagai manusia telah berubah karena pendidikan Eropa. Mereka tak bisa balik jadi pribumi yang dulu’ (Toer, 2011). Dalam “Panggil Aku Kartini Saja” bahkan dielaborasi bagaimana buku-buku liberal dari Belanda atau Perancis yang dibaca Kartini mempengaruhi semangatnya membawa masyarakat Jawa menjadi bebas.
Keberpihakan Pram terhadap kebebasan paling terasa ketika beliau berbicara tentang feodalisme. Ia tulis bagaimana feodalisme Jawa yang menciptakan segregasi dan belenggu dalam lapisan masyarakat membuat “perikemanusiaan dihalang-halangi tumbuhnya” (Toer, 2018). Para bupati menolak adanya pesawat telepon karena tidak bisa melihat langsung bawahannya berbicara sambil menyembah. Akses sekolah untuk masyarakat lebih luas ditolak karena khawatir muncul golongan terdidik yang mengancam bangsawan. Dan perlu digarisbawahi, Pram bukannya ingin merampas harta bupati untuk dibagikan secara merata pada masyarakat. Tidak. Dia ingin feodalisme dikubur agar individu bisa dipandang setara setidaknya dalam hal mental, hak asasi dan di mata hukum.
Terakhir, tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh di ‘Bumi Manusia’ memperlihatkan dukungan Pram terhadap bisnis dan kewirausahaan. Minke digambarkan berjualan furnitur yang ia produksi di bengkel kecil-kecilan bersama sahabatnya Jean Marais. Sifat kewirausahaan Minke membuatnya akur dengan Nyai Ontosoroh yang sendirinya mengepalai perusahaan perkebunan milik suaminya. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri” kata Nyai Ontosoroh (Toer, 2015). Jelas Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan perwakilan kapitalis yang disetujui oleh Pram. Pun jika ada kritik Pram terhadap kapitalisme, yang dikritik adalah unsur imperialismenya yang memungkinkan pelanggaran terhadap hak-hak individu.
Dapat disimpulkan bahwa ide yang terkandung dalam tulisan Pram bertolak belakang dengan ide anti-kebebasan. Tidak ada jejak ide Tan Malaka, misalnya, tentang Diktator Proletariat, Dewan Perencana Ekonomi atau perampasan tanah dari petani makmur (Malaka, 2015). Konyol sekali membayangkan Pram bicara panjang lebar tentang bagaimana feodalisme merampas kebebasan dan kemanusiaan lalu membiarkan badan semacam Politbiro mengatur seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Apabila boleh kita tinggalkan sejenak carut marut kehidupan serta dinamika sosial politik masa lalu, saya rasa bukan hal yang buruk untuk melahirkan kembali Pram sebagai seorang pembela kebebasan. Mengutip kata-kata Multatuli yang sering digaungkan kembali oleh Pram, “Tugas manusia adalah menjadi manusia,” dan hakikat utama manusia adalah menjadi bebas.
Referensi
Malaka, Tan. 2015. Catatan-Catatan Perjuangan. Bandung: Sega Arsy.
Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara.
Toer, Pramoedya Ananta. 2015. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Toer, Pramoedya Ananta. 2018. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.

Pekerja swasta di bidang komunikasi strategis. Komunikasi UGM angkatan 2009.