Praktik Penyiksaan: Perlindungan Hak Korban dan Penegakan Hukum

    468

    Tanggal 26 Juni 1987 merupakan tanggal di mana Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia ditandatangani. Momen ini kemudian diperingati sebagai Hari Internasional untuk Mendukung Korban-Korban Penyiksaan (International Day in Support of Victims of Torture). Hal ini ditujukan untuk memberikan solidaritas kepada mereka yang pikiran, badan atau jiwanya pernah mengalami penyiksaan.

    Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) atau yang biasa dikenal dengan istilah Konvensi Menentang Penyiksaan saja merupakan salah satu instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) yang penting. Karena, konvensi ini mengatur satu hak tunggal yang tercantum dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yaitu hak bebas dari penyiksaan (kontras.org, 26/6/2012).

    Penyiksaan dipandang sebagai kejahatan serius oleh komunitas internasional dan pelarangan penyiksaan adalah jus cogens. Berarti, pelarangan ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) dan melakukan praktik penyiksaan juga merupakan kejahatan internasional menurut Statuta Roma (Mahkamah Pidana Internasional) (Asplund, 2010).

    Tingginya angka penyiksaan yang dilakukan dalam proses hukum tidak terlepas dari sejarah penyiksaan itu sendiri. Secara historis, sejak masa pemerintahan Roma di abad kedua dan Civil Law System Eropa di abad ke 19, penyiksaan digunakan sebagai metode mengumpulkan informasi dalam proses peradilan. Hingga pada pertengahan abad ke- 19, praktek penyiksaan dihapuskan dari daftar alat yudisial yang diterima untuk mengumpulkan informasi.

    Praktik penyiksaan muncul kembali pada abad ke 20, seiring dengan bangkitnya rezim totalitarian di berbagai negara dan Perang Dunia II. Kemudian, negara-negara Blok Barat dan Blok Timur menggunakan penyiksaan sebagai alat menginterogasi tawanan dan mereka yang dianggap pengkhianat. Terungkapnya hal ini menarik perhatian dunia untuk menghentikan penyiksaan, seiring dengan gelombang Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang merupakan instrumen internasional pertama, yang melarang penyiksaan secara mutlak (referensi.elsam.or.id).

    Dalam konteks Indonesia, di bawah rezim otoriter Soeharto, polisi yang masih bergabung dengan militer digunakan sebagai alat negara untuk merepresi setiap gerakan yang dianggap menentang pemerintah atau mengganggu ketertiban umum. Termasuk untuk membatasi kebebasan berbicara dan berpendapat. Pada masa itu, seseorang yang mengkritik pemerintah diculik dan dihilangkan secara paksa. Bahkan pada tahun 1997, pada saat krisis ekonomi, rakyat melakukan aksi turun ke jalan yang sangat massif turun menuntut turunnya presiden. Militer dan polisi diturunkan untuk merepresi para demonstran, sebagian bahkan dibunuh dan diculik.

    Upaya untuk memberantas permasalahan ini memang tidak mudah. Dalam konteks nasional, upaya untuk memberikan perlindungan HAM terkait hak bebas dari penyiksaan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap negara termasuk Indonesia sebagai kewajiban negara.

    Dalam melaksanakan kewajiban negara tersebut, Indonesia telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak bebas dari penyiksaan. Dimulai dengan melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

    Namun, adanya jaminan melalui konstitusi dan ratifikasi konvensi internasional terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan di Indonesia ternyata dalam tataran implementasi belum efektif melindungi hak tersebut, karena masih terdapat sejumlah praktik pelanggaran. Sebagai contoh, masih sering terjadi kasus-kasus penyiksaan terhadap tahanan atau tersangka yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan suatu perkara.

    Penelitian LBH Jakarta pada tahun 2005 menemukan 81,1% tersangka mengalami penyiksaan saat diperiksa di tingkat kepolisian. Angka bertambah pada tahun 2008, ditemukan bahwa 83,65% mereka yang pernah diperiksa di kepolisian mengaku mengalami penyiksaan (LBH Jakarta, 2008).

    Selain itu, juga terdapat catatan khusus mengenai praktek penyiksaan di daerah konflik seperti Aceh, Papua, dan Poso. Pada wilayah-wilayah ini, praktek penyiksaan terjadi lebih brutal daripada penyiksaan pada umumnya. Penyiksaan terhadap kelompok yang dianggap separatis kerap dilegitimasi karena dianggap mengancam keamanan dan kesatuan negara. Pelaku penyiksaan di daerah konflik adalah aparat militer yang kerap sulit dipertanggungjawabkan di pengadildan. Akibatnya penyiksaan di daerah konflik jauh dari pemantauan masyarakat. Papua dan Poso dicatat sebagai wilayah yang paling rentan terjadi penyiksaan, karena di bawah pengawasan militer secara ketat (media.neliti.com).

    Sedangkan secara kultural, tidak sedikit masyarakat dan aparat penegak hukum mentolerir penyiksaan. Meskipun penyiksaan diakui memberi dampak penderitaan yang hebat bagi korban, namun penyiksaan diterima sebagai bagian yang terintegrasi dalam proses penegakan hukum pidana. Secara struktural, tidak ada mekanisme pengaduan yang efektif terhadap praktek penyiksaan. Mereka yang mengungkap dan mengeluhkan penyiksaan, tidak mendapatkan tanggapan dari aparat penegak hukum.

    Kesulitan dalam penindakan kasus penyiksaan juga muncul dalam tataran yang lebih prosedural. Dalam kasus-kasus penyiksaan, sulit ditemukan saksi pendukung, baik karena biasanya tindakan penyiksaan dilakukan di tempat di mana korban hanya sendirian. Selain itu, apabila ada saksi yang melihat terjadinya penyiksaan, biasanya sesama tersangka atau terdakwa atau penghuni tempat penahanan, mereka enggan bersaksi karena khawatir dengan kemungkinan adanya balas dendam atau dampak lain yang diterima selama mereka menghuni tempat penahanan. Kondisi ini jelas menempatkan para korban penyiksaan pada situasi yang sulit untuk memperoleh keadilan atas penderitaan yang mereka alami.

    Situasi ini secara tidak disadari akan membahayakan wibawa institusi penegakan hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada proses hukum, yang tidak mustahil akan memunculkan akumulasi kekecewaan dan ketidakpercayaan publik pada mekanisme hukum formal. Masyarakat akan mencari alternatif jalan untuk melindungi dirinya sendiri, termasuk dengan melakukan penyiksaan antara sesama masyarakat yang berujung sama-sama saling merugikan.

    Sebagai penutup, adapun langkah-langkah yang semestinya diambil oleh pemerintah dalam memperketat perlindungan HAM dalam konstitusional di Indonesia, antara lain melalui undang-undang atau peraturan yang lebih kuat untuk mencegah dan menindak berbagai tindakan penyiksaan. Selain itu, kampanye untuk menyebarkan gagasan anti penyiksaan kepada masyarakat juga hal yang sangat penting untuk dilakukan, untuk mengubah persepsi

     

    Referensi

    Buku

    Asplund, Knut. D., dkk. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi HAM UII.

    LBH Jakarta. 2008. Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan: Survei Penyiksaan di Rumah Tahanan di wilayah Jabodetabek. Jakarta: LBH Jakarta.

     

    Internet

    https://kontras.org/2012/06/26/dukungan-terhadap-korban-penyiksaan/ Diakses pada 24 Juni 2021, pukul 21.30 WIB.

    https://media.neliti.com/media/publications/425-ID-mengukur-realitas-dan-persepsi-penyiksaan-di-indonesia-melalui-indeks-penyiksaan.pd Diakses pada 25 Juni 2021, pukul 23.00 WIB.

    https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Penyiksaan-Belum-Terbendung.pdf Diakses pada 25 Juni 2021, pukul 21.30 WIB.