Bila Anda gemar mengikuti perdebatan mengenai isu-isu atau gagasan politik, besar kemungkinan Anda pernah mendengar bahwa pemerintah dikuasai segelintir elit oligarki. Elit oligarki ini dianggap sebagai kelompok kecil yang memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap pemerintah, dan oleh karena itu, mereka bisa mengatur serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk keuntungan diri mereka sendiri.
Diskursus mengenai oligarki di dalam kekuasaan bukan sesuatu yang baru. Pembahasan mengenai adanya kelompok-kelompok kecil tertentu yang dapat memanfaatkan negara demi kepentingan diri mereka sendiri merupakan topik yang dibahas oleh berbagai pemikir dan filsuf politik, hingga pada masa Yunani Kuno ribuan tahun yang lalu (Brewminate.com, 9/10/2018).
Di Indonesia sendiri, slogan-slogan mengenai oligarki yang menguasai pemerintahan umumnya disuarakan oleh mereka yang berafiliasi dengan ideologi-ideologi politik kiri. Mereka yang percaya akan adanya oligarki menganggap bahwa pemerintah dan institusi-institusi negara hanya berfungsi untuk melayani kepentingan orang-orang yang berada di puncak strata sosial.
Lantas, apakah cara pandang tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Dan bila hal tersebut adalah sesuatu yang tepat, bagaimana cara kita untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya bila kita melihat terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan oligarki. Oligarki berasal dari kata dalam bahasa Yunani, oligarkhes, yang memiliki arti “few to rule or command” (segelintir orang yang mengatur dan memerintah). Dengan kata lain, oligarki umumnya dipahami sebagai pemerintahan yang dipimpin dan dikuasai oleh segelintir orang di puncak kekuasaan, yang berkuasa hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri (The American Prospect, 4/6/2019).
Fenomena adanya segelintir orang yang memanfaatkan negara untuk keuntungan diri mereka sendiri tentu bukan suatu fenomena yang baru saja muncul. Hal ini misalnya, sangat umum terjadi di negara-negara otoritarian dan dengan sistem politik yang tertutup dan tidak mengizinkan adanya tranparansi kepada masyarakat.
Mesir misalnya, sejak selama 30 tahun, dari 1981-2011 dipimpin oleh rezim diktator Husni Mubarak. Karena ia memimpin Mesir dengan tangan besi dan memberangus suara-suara oposisi, hal ini memungkinkan dirinya dan keluarganya mengambil keuntungan dalam jumlah besar dalam bentuk korupsi terhadap uang yang dimiliki negara (aa.com.tr, 29/2/2020).
Hal yang sama juga terjadi di Filipina di bawah kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos. Marcos berkuasa di Filipina dari tahun 1965 – 1986 dengan tangan besi yang memberangus suara oposisi. Hal ini menyebabkan ia mampu memanfaatkan negara untuk mendapatkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar, yang diestimasi mencapai 10 miliar Dollar (The Guardian, 7/5/2016).
Hal yang sama juga terjadi di negara kita ketika berada di bawah pemerintahan otoritarian Orde Baru dari tahun 1967 – 1998. Berdasarkan laporan dari organisasi pegiat anti korupsi, Transparency International, korupsi yang di bawah rezim otoritarian Orde Baru mencapai USD15 miliar hingga USD35 miliar (The Guardian, 30/3/2004).
Negara-negara dengan sistem ekonomi dan politik yang tertutup memang menjadi surga bagi kelompok-kelompok oligarkis untuk mendapatkan keuntungan dalam jumlah besar. Institusi-institusi negara dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh elit-elit politik dan kroni-kroni mereka untuk mengisi pundi-pundi kekayaan yang mereka miliki.
Ketika pemerintah memiliki peran dan kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur kehidupan masyarakat, maka satu-satunya cara agar seseorang bisa mendapatkan kekayaan dan keuntungan ekonomi adalah bila mereka memiliki kedekatan dengan para politisi dan pembuat kebijakan. Selain itu, para pejabat negara dengan mudah membuat serangkaian aturan untuk menyingkirkan pihak-pihak yang ingin bersaing dengan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan elit-elit politik.
Oleh karena itu, memberikan kekuasaan yang besar kepada negara merupakan hal yang sangat berbahaya. Hal tersebut bukan saja bisa menyebabkan semakin terkikisnya kemerdekaan individu yang dimiliki oleh anggota masyarakat, namun juga membuka pintu kesempatan yang semakin luas bagi orang-orang yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi untuk semakin memeperkaya diri mereka dengan memanfaatkan institusi-institusi negara, dan melalui serangkaian aturan yang dikeluarkan oleh para pembuat kebijakan.
Inilah salah satu bentuk kesalahpahaman pandangan dari mereka yang berafiliasi dengan gagasan politik kiri. Di satu sisi, mereka memiliki pandangan bahwa berbagai institusi negara saat ini dikuasai oleh sekelompok “oligarki” yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Namun, di sisi lain, mereka juga mengadvokasi peran negara yang sangat besar, seperti regulasi yang ketat, program-program sosial yang sangat besar, serta monopoli negara untuk sektor-sektor tertentu, yang tentunya akan membatasi kompetisi dan persaingan.
Di Amerika Serikat misalnya, berbagai kelompok-kelompok politik kiri banyak yang menuduh Donald Trump sebagai pemimpin yang korup hingga fasis (The Intercept, 27/9/2020). Namun, di sisi lain, mereka juga mengadvokasi peran negara yang sangat besar untuk meregulasi kegiatan ekonomi dan menyediakan program-program sosial, seperti fasilitas dan pendidikan.
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif. Bila mereka menyatakan bahwa Trump adalah seorang yang fasis, namun di sisi lain mereka juga mengadvokasi peran yang semakin besar, maka bukankah hal tersebut berarti sama saja dengan mereka ingin memberikan kekuasaan yang semakin besar kepada seorang fasis? Apakah mereka benar-benar yakin untuk memberikan Trump kekuasaan yang semakin besar untuk menentukan kebijakan kesehatan, pendidikan, dan mengatur perekonomian?
Bila kita ingin benar-benar ingin melawan “oligarki” dan kelompok-kelompok tertentu untuk memanfaatkan negara demi keuntungan diri mereka semata, maka solusi terbaik atas hal tersebut, selain meningkatkan transparansi dan kebebasan politik, adalah mengurangi peran dan wewenang negara untuk mengatur kehidupan kita hingga seminim mungkin. Dengan demikian, maka kesempatan kelompok-kelompok tersebut untuk mengambil keuntungan dengan memanfaatkan institusi negara atau melalui kebijakan publik menjadi semakin kecil.
Dalam sistem ekonomi yang bebas, maka satu-satunya cara agar seseorang bisa mendapatkan keuntungan dan kekayaan adalah bila mereka bisa menyediakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Seseorang yang memiliki kedekatan dengan para pejabat negara dan elit-elit politik tidak bisa menggunakan koneksi yang mereka miliki demi keuntungan mereka semata bila mereka tidak bisa menyediakan produk yang terbaik, karena mereka niscaya akan dikalahkan oleh orang-orang lain yang lebih inovatif.
Sebagai penutup, kekuasaan adalah sesuatu yang sangat adiktif. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan dan menjadi pejabat negara adalah orang-orang yang tidak berbeda dengan kita semua yang tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Mereka juga berpotensi besar memiliki ambisi untuk mengambil keuntungan dari kekuasaan yang mereka miliki melalui berbagai cara, seperti memberikan keistimewaan untuk orang-orang yang menjadi kerabat mereka, atau membantu mereka duduk di kursi pemerintahan. Oleh karena itu, memberikan wewenang yang besar kepada mereka untuk mengatur hidup kita adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh sejarawan ternama asal Britania Raya, Lord Acton, dalam kata-katanya yang sangat terkenal “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Referensi
https://brewminate.com/oligarchy-tyranny-and-democracy-in-ancient-greece/ Diakses pada 15 Desember 2020, pukul 21.40 WIB.
https://prospect.org/economy/oligarchy-mean/ Diakses pada 15 Desember 2020, pukul 23.35 WIB.
https://www.aa.com.tr/en/analysis/political-legacy-of-hosni-mubarak/1749676 Diakses pada 16 Desember 2020, pukul 01.15 WIB.
https://www.theguardian.com/world/2016/may/07/10bn-dollar-question-marcos-millions-nick-davies Diakses pada 16 Desember 2020, pukul 01.55 WIB.
https://www.theguardian.com/world/2004/mar/26/indonesia.philippines Diakses pada 16 Desember 2020, pukul 20.25 WIB.
https://theintercept.com/2020/09/27/trump-supporters-fascism-election/ Diakses pada 16 Desember 2020, pukul 03.05 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.