Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk (binatang) politik (zoon poticon). Dalam hal ini, filsafat politik Aristoteles mengacu pada masyarakat itu sendiri, Aristoteles sendiri juga pernah menulis mengenai konsep negara yang ideal. Bagi filsuf asal Yunani tersebut, negara ideal adalah negara yang menjadikan politik untuk kebaikan bersama (Poespoprodjo, 1998).
Pandangan Aristoteles terkait “politik untuk kebaikan bersama” tersebut mengingatkan saya saat ini pada euforia kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris dalam pemilu AS lalu. Beberapa teman di sosial media merayakan kemenangan mereka yang dianggap menjadi sosok nyata pembawa kehendak kolektif setelah keburukan kepemimpinan Trump.
“Trump juga ada baiknya, loh. Di bawah beliau, toleransi terhadap gesekan cenderung meningkat, misal perang dagang Trump dengan China, tekanannya terhadap Iran dan Venezuela, serta retorika berapi-api yang dia gunakan pada kepresidenannya sehubungan dengan Korea Utara.”, begitu kira-kira argumen seorang teman yang berusaha melihat sisi baik dari Trump. Argumen penentangnya? “Lah, si Trump aja marah-marah melulu di berita, apa yang bagus dari dia?”
Rasanya tidak sah mencap kebijakan politik seseorang buruk hanya karena headline berita atau judul yang mengandung clickbait. Dalam menilai kinerja pemerintah lewat berita, setidaknya Anda harus menyeleksi sampel dalam konteks, memperhatikan bias account, validalitas, dan yang terpenting memahami bahwa sifat berita ada yang faktual atau opini.
Misalnya, banyak penggemar Kamala Harris hanya karena dia ‘perempuan’ dan minoritas. Representasi politik memang penting. Dalam konteks ini, Kamala sebagai representasi perempuan dalam panggung pejabat, namun apa dengan menjadi perempuan lantas membuat Kamala sama sekali tidak bersalah.
Sejauh ini, saya belum banyak melihat orang yang mempermasalahkan track record Kamala. Jadi, apakah fakta bahwa Kamala sendiri pernah memenjarakan banyak orang kulit hitam karena penggunaan mariyuana dan memisahkan anak imigran dengan orang tuanya (forbes.com, 18/08/2020), tidak bermasalah asal dia termasuk representasi perempuan?
Inilah politik identitas yang didasarkan pada kesamaan identitas suatu kelompok: agama, ras, gender, orientasi seksual, kelas sosial, dan sebagainya. Politik identitas identik dengan minoritas atau mereka yang tertindas: perasaan senasib sepenanggungan karena ditindas akibat identitas mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang membuat mereka bersatu dan bergerak menuntut hak-hak politik yang setara.
Bagi saya, hal ini kurang tepat karena beberapa hal. Pertama, politik identitas menekankan narasi “kita dan mereka”. Kita menghadapi musuh yang sama, karena itu kita perlu mencari tahu siapa kawan dan lawan. Kedua, politik identitas juga cenderung oportunis: musuh dari musuhku adalah sahabatku. Akibatnya adalah menuduhkan guilt by association, yakni kamu musuh saya karena kamu segolongan, seetnis, seagama dan sejenis dengan musuh saya; kecuali kamu menyangkal diri.
Nah, bagaimana jika tuntutan mereka sudah terpenuhi, atau, dengan kata lain, mereka sudah tidak lagi tertindas? Apakah mereka sekarang menganggap identitasnya sebagai suatu keunikan dalam masyakarat yang setara, tetapi tidak perlu digembar-gemborkan dan diistimewakan? Apakah tidak ada lagi “kita vs mereka”? Idealnya demikian.
Tapi umumnya yang terjadi justru sebaliknya. Dengan berakhirnya penindasan, Anda dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara atau mengeluarkan pernyataan. Bisa jadi, harga yang harus dibayar bukan saja kehilangan suara pemilih, tetapi juga kehilangan kebebasan.
Mereka melanggengkan kekuasaan dengan cara menciptakan ketakutan di tengah masyarakat bahwa mereka selama ini menjadi korban musuh-musuh mereka. Mereka mengkampanyekan “mentalitas korban” di masyarakat.
Hal inilah yang misalnya digemborkan pejabat yang gemar menggunakan narasi “pro rakyat”. Masyarakat ditakut-takuti akan kehilangan jati diri karena diserbu imigran, kehilangan pekerjaaan karena direbut pekerja asing, dan kehilangan gengsi karena globalisasi. Tanpa disadari, negara jatuh dalam lingkaran sektarianisme karena kaum minoritas yang dianggap ‘ancaman’ itu juga melawan dengan politik identitas.
Beberapa negara tertentu menerapkan beberapa kebijakan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu, dengan dalih mencegah konflik sektarian. Ada yang memberikan “jatah” atau kuota keterwakilan di parlemen, tetapi tidak punya kekuatan apa-apa. Selain itu, ada juga yang membuat “kantong-kantong” kelompok minoritas supaya mayoritas tidak terganggu.
Yang paling halus mungkin adalah yang terjadi di negara kita, yakni memaksakan political correctness pada kelompok minoritas. Yang muda, yang datang belakangan, tentu harus sopan, mengalah dan tunduk pada yang senior, yang lebih dulu ada. Falsafah bahasa Jawa sudah jelas: anak dan pembantu harus bicara krama pada orang tua, tetapi orang tua boleh bicara ngoko pada mereka.
Sebagai penutup, menurut saya, keberadaan politik identitas dan political correctness, bagi saya hal tersebut malah bertendensi ke arah mobokrasi, di mana pemerintah hanya menerjemahkan preferensi mayoritas. Politik identitas dan political correctness nantinya akan semakin memperkeruh suasana politik dan membuat diskursus politik menjadi tidak sehat.
Referensi
Buku
Poespoprodjo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya .
Internet
https://www.forbes.com/sites/emilyearlenbaugh/2020/08/18/kamala-harris-controversial-cannabis-history-is-making-wavesheres-where-she-stands-now/?sh=79974d6a232b Diakses pada 10 November 2020, pukul 21.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.