Politik COVID-19 di Indonesia

    594

    Berdasarkan laporan dari beberapa media, data rumah sakit melaporkan bahwa umlah orang meninggal di seluruh jaringan rumah sakit itu lebih tinggi dari laporan pemerintah. Misalnya pada tanggal 17 Juni lalu, tercantum di sistem Bersatu Lawan COVID menunjukkan jumlah pasien meninggal 10.735 orang. Sedangkan angka yang diumumkan pemerintah adalah 2.276. Pada 3 Juli 2020, jumlah orang meninggal akibat COVID-19 mencapai 13.885, lebih dari empat kali lipat angka kematian yang diumumkan, sebanyak 3.036 (Tempo, 05/07/20).

    Tidak sesuainya laporan korban COVID-19 dan di lapangan diduga merupakan bagian dari kepentingan politik menjelang pemilihan kepala daerah. Ini dilakukan agar tetap mendapat kepercayaan publik dan dianggap berhasil menangani wabah.

    Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, “ Banyak dokter di daerah melaporkan ini karena beranggapan  kalau minim kasusnya sebagai prestasi” (Kompas, 02/09/20).

    Syarat bahwa sebuah daerah harus masuk zona hijau terlebih dahulu agar dapat menjalankan aktivitas ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, tidak jarang membuat pemerintah daerah berusaha menekan angka penderita korona dengan cara meminimalisir tes.

    Situasi ini amat berbahaya. Terlihat jelas bahwa demi kepentingan nama baik, prestasi, popularitas pribadi maupun kelompok, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang. Penekanan pemeriksaan wabah ini membawa dampak yang amat serius bagi masyarakat. Masyarakat seolah diyakinkan bahwa mereka sudah aman dari virus ini, padahal virus ini masih berkeliaran kesana kemari mencari mangsa di tengah dunia mereka.

    Keputusan seperti ini sungguh disayangkan dan tidak dapat dibenarkan. Sebab, nyawa manusia dikorbankan demi prestasi. Padahal sebagai yang mendapat mandat memimpin, mereka (pemerintah) sudah seharusnya menjaga warganya. Keputusan-keputusan yang diambil sudah seharusnya demi bonum commune, bukan kepentingan pribadi / kelompok.

    Memang harus diakui juga bahwa situasi negeri ini kian hari-kian sulit karena perekonomian rontok. Berhentinya aktivitas ekonomi telah membawa negara ini kian dekat ke jurang resesi. Tetapi, alasan demi memperbaiki ekonomi dan menjauhi jurang resesi tidak bisa dibenarkan bila mengabaikan nyawa manusia. Sebab, pertumbuhan ekonomi tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

    Apabila rakyat sendiri yang dikorbankan demi meningkatkan perekonomian, pertanyaannya untuk siapa ekonomi itu. Jangan-jangan keputusan itu diambil semata-mata untuk menyelamatkan orang kaya yang notabene dianggap lebih penting daripada rakyat kecil yang rentan terkena COVID-19.

    Selanjutnya, jika argumennya adalah mengorbankan sedikit rakyat (korban COVID-19) demi kepentingan lebih banyak orang, hal tersebut sama sekali tidak bisa diterima. Sebab, semua manusia adalah sama, tidak peduli siapakah dia dan apa latar belakangnya. Jadi, satu orang ataupun sedikit orang dikorbankan demi kelompok yang lebih besar tidak bisa dibenarkan karena mereduksi nilai manusia pada angka mayoritas dan minoritas.

    Apalagi, jika keputusan yang riskan itu diambil demi kepentingan dipilih lagi saat Pilkada nanti, ini keterlaluan. Pilihan ini sungguh tidak manusiawi karena mengorbankan nyawa warga demi mendapat kue politik yang hanya berpihak pada segelintir orang saja.

    Pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Pemerintah Daerah, sebagai yang memiliki kekuasaan penuh di wilayahnya, sudah seharusnya lebih menomorsatukan kepentingan bersama. Memberikan fakta zona hijau palsu dan penekanan jumlah tes COVID-19 hanya akan memperparah keadaan.

    Fakta sudah menunjukkan bahwa ketika pemerintah baru ingin memberlakukan new normal saja masyarakat sudah mulai abai terhadap protokol kesehatan. Tingkat penularan COVID-19 yang sebelumnya rendah saat karantina wilayah (PSBB), menjadi sedemikian melejit tinggi ketika terjadi pelonggaran.

    Masyarakat mengira pandemi sudah tidak ada dan hidup sudah kembali normal. Akibatnya, pembangkangan terhadap protokol kesehatan terjadi secara masif dan menimbulkan peningkatan korban COVID-19 yang kian mengerikan. Berhadapan dengan aneka keruwetan ini, Pemerintah Daerah perlu jujur, diskretif, dan harus mementingkan kehidupan orang banyak.

    *****

    Charles Dickens, penulis Inggris terkenal, pernah berkata, ”There is nothing so strong or safe in an emergency of life as the simple truth.” Ketika kita berada dalam masa penuh bahaya, tak ada yang begitu kuat dan begitu melindungi selain kebenaran bersahaja. Sulfikar Amir, Associate Professor dan Sosiolog Bencana di Nanyang Technological University, mengatakan, kebenaran bersahaja adalah kebenaran yang tidak dibumbui pernyataan bombastis, kebenaran yang tidak dibungkus dengan informasi tanpa bukti, kebenaran yang tidak dibingkai pandangan ideologis.

    Artinya, di situasi yang genting ini, pemerintah, termasuk di daerah, sudah seharusnya jujur pada fakta di lapangan. Dengan kejujuran itu, masyarakat akan sadar bahwa situasi saat ini sedang tidak kondusif sehingga mematuhi protokol kesehatan adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

    Segala konflik kepentingan pribadi terkait pemilihan kepala daerah di masa mendatang perlu dijernihkan dan ditanggalkan. Di situasi ini, Pemerintah Daerah diundang untuk keluar dari segala bentuk self interest-nya dengan bertindak jujur pada masyarakat.

    Dengan itu, kedisiplinan dengan sendirinya akan terbentuk karena adanya kesadaran akan fakta yang benar. Jika tidak, akan banyak nyawa yang terus melayang karena adanya kebohongan fatal ini.

    Pemimpin perlu sadar bahwa panggilannya sebagai pemimpin itu sebuah amanah yang perlu dijaga. Kekuasaan yang didapatkan adalah kepercayaan yang perlu dipertanggungjawabkan demi kebaikan bersama, bukan demi kebaikan diri dan kelompoknya sendiri.

    Jangan sampai hanya karena nafsu akan kekuasaan, manusia rela dikorbankan. Jika demikian itu sama saja seperti para diktator masa lampau yang rela membunuh demi mendapatkan atau mempertahankan kekuasaannya. Hanya saja bentuknya kali ini lebih halus, menyatakan seolah-olah keadaannya baik dan terkendali, padahal pintu maut (pandemi) begitu dekat.

     

    Referensi

    https://nasional.tempo.co/read/1361448/kisruh-data-covid-19-angka-kematian-diduga-lebih-tinggi Diakses pada Kamis, 3 Agustus 2020, pukul 21.30 WIB.

    https://www.kompas.id/baca/humaniora/2020/09/02/bersiap-yang-terburuk-berharap-terbaik/ Diakses pada Rabu, 2 September 2020, pukul 15.34 WIB.