Polisi Moral dibalik Cancel Culture

    691

    Istilah cancel culture, atau cancelling, atau dulu disebut call-out culture menjadi salah satu kata yang paling sering digunakan di media sosial, terutama Twitter dan Instagram. Penggunaannya erat dikaitkan dengan tokoh publik yang tersandung skandal. Lalu, apa penjelasan sederhananya? Bagaimana penggunaannya? Apakah kultur ini termasuk demokrasi yang sehat, atau justru sebaliknya?

    Secara sederhana, cancel culture adalah usaha kolektif masyarakat untuk ‘memboikot’ seseorang atas perbuatan atau perkataannya (urbandictionary.com, 19/02/2020). Biasanya tokoh yang di-cancel telah melakukan suatu hal yang buruk, seperti kekerasan seksual hingga komentar rasial. Dampaknya, sang tokoh tersebut dapat kehilangan kepercayaan masyarakat, dianggap rendah, hingga dipecat dari pekerjaannya.

    Baru-baru ini, dalam kasus Anji dan Hadi Pranoto yang mempublikasikan video berdurasi sekitar 30 menit menuai kontroversi hebat di kalangan masyarakat lantaran video itu sarat dengan klaim-klaim mengejutkan. Beberapa klaim tersebut diantaranya adalah mengenai obat herbal vaksin COVID-19, adanya metode tes yang sangat murah, dan virus COVID-19 tidak bisa dilawan dengan vaksin. Selain itu, Anji juga menyebut Hadi Pranoto sebagai profesor sekaligus kepala Tim Riset Formula Antibodi.

    Walaupun Anji sudah menghapus video tersebut, polemik di tengah masyarakat terus berlanjut, ada yang pro dan juga kontra. Hasil dari perbuatannya tersebut membawa Anji di-cancel oleh khalayak umum sampai ia sendiri harus dipecat dari pekerjaannya, diserang media sosialnya, dan sebagainya.

    *****

    Awalnya, cancel culture sendiri hanya sebuah fenomena lazim di media sosial dan tidak banyak membawa konsekuensi bagi pihak yang di-cancel. Mayoritas pembicaraan masih berfokus pada apakah “cancelling” adalah fenomena nyata dan apakah cancelling mencerminkan sifat iliberal atau anti kebebasan. Tapi, jarang ada yang mempertanyakan kenapa “cancelling” itu sampai disebut budaya.

    Bicara mengenai cancel culture tak lepas dari yang katanya “meng-cancel dianggap sebagai budaya Gen Z atau millenial yang berdasar pada acuan budaya yang tidak logis”. Singkatnya, oleh pengkritik tindakan cancelling, tindakan cancelling secara tidak langsung mengatakan bahwa komitmen aktivis atas suatu hal sifatnya arbitrer, tidak rasional, dan cuma berdasarkan “budaya” Gen Z atau generasi millenial saja  (NYTimes.com, 14/07/2020).

    Dengan menganggapnya sekedar budaya tanpa landasan logis, tuntutan atas akuntabilitas dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang di-cancel jadi seakan tidak valid lagi. Dengan mereduksi tuntutan atas akuntabilitas dan pertanggungjawaban sebagai “budaya”. pengkritik cancel culture memakai analogi “mereka” yang budayanya tidak logis dengan “kami” yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpendapat dan debat rasional.

    *****

    Beralih dari budaya dan tunturan irasional yang seringkali dijumpai dari pengkritik budaya ini. Mari kita lihat sisi gelap dari cancel culture bagi pihak yang di-cancel, baik dari sudut publik figur maupun orang biasa.

    Cancel culture mengarah pada penghakiman dan moral witch-hunting, yang belum tentu akurat. Setiap orang menjadi polisi moral dan tidak boleh ada yang berbeda pandangan. Kultur ini menolak mendengar pendekatan pendapat dari pihak yang di-cancel atau kubu pendukungnya dan tidak mau mendiskusikan hal lain. Seringkali yang menolak mendengar langsung melemparkan label (rasis, seksis, transphobia, dan lain-lain) tanpa mau berdiskusi dengan sang penutur pendapat.

    Dalam beberapa kasus juga, poin penentuan batasan hal yang bisa diterima atau tidak juga rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang otoriter yang ingin membungkam pendapat yang dianggap oposisi dengan mereka. Cancel culture muncul dengan dalih melindungi pihak-pihak marjinal dari opini yang agresif, namun luput melihat resiko yang ada apabila hal yang sama digunakan untuk membungkam mereka.

    Ibarat hukuman guillotine versi abad ke-21, di satu sisi hukuman ini memenggal tiran dan memberikan keadilan bagi rakyat banyak pada masa Revolusi Perancis. Namun, di sisi lain hukuman ini juga dapat menjadi pertunjukan hiburan yang sadistik.

    *****

    Di KTT Yayasan Obama Chicago, Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sempat berbicara tentang cancel culture sehubungan dengan insiden blackface yang melibatkan Perdana Menteri Kanada saat itu, Justrin Trudeau. “Gagasan tentang kesucian ini, yang tidak ingin Anda kompromikan, dan yang menunjukkan bahwa Anda peduli secara politis, dan semua hal itu―Anda harus segera menghentikannya. Dunia ini berantakan. Ada ambiguitas. Orang-orang yang telah melakukan berbagai hal yang sangat baik tentu memiliki kekurangan,“ujar Presiden Obama dalam pidatonya tersebut, di mana ia memusatkan perhatian pada kultur yang juga marak di Amerika Serikat (matamatapolitik.com, 2/11/2019).

    Beliau mengatakan bahwa cancel culture bukanlah aktivisme karena menghakimi dan “melempari orang dengan batu” tidak akan membawa perubahan apapun. Kebudayaan ini hanya membuat orang semakin mudah menghakimi orang lain. Gerakan “keadilan” ini pun tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah dan mengedepankan untuk mempercayai korban terlebih dahulu.

    Gagasan kesucian yang disinggung Obama merupakan cerminan dari tindakan “polisi moral” yang menganggap moral kepercayaannya saja yang benar dan selain itu semuanya salah dan tidak relevan. Padahal, semua masalah preferensi karena nilai moral itu sendiri bersifat dinamis. Dikotomi baik-buruk dan hitam-putih merupakan konsep yang sangat rapuh, spektrum perilaku manusia dan pertimbangan mereka untuk melakukan sesuatu jelas terlalu kompleks untuk dilabeli baik atau buruk.

    Namun, saya menyatakan pernyataan ini bukan untuk justifikasi seluruh perbuatan buruk yang dilakukan manusia. Dalam kasus Anji contohnya, Anji juga bersalah karena sebagai seorang figur publik, seharusnya dia paham betul mengenai konsekuensi dan respons yang diterima. Orang bebas berpendapat, tapi konsekuensinya harus dapat mereka tanggung juga.

    Masyarakat Indonesia tergolong dalam kategori functional literacy yang masih rendah dan jauh dari kualitas baik. Padahal, functional literacy ini sendiri sangat penting karena mencakup kemampuan baca-tulis untuk merangkum semua informasi dan petunjuk sehari-hari, terlebih lagi di era yang semakin modern yang ditandai dengan kompetisi dan dinamika yang cepat untuk survive (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017).

    Oleh karena itu, tak jarang opini mereka cenderung mudah terbawa arus dan ditunggangi meskipun opini tersebut belum tentu benar. Salah satu contohnya, alasan kenapa juga banyak orang yang percaya opini Anji dan Hadi Pranoto karena masih bergantung pada pengobatan alternatif dibanding sains. Bahaya disinformasi dan kerentanan masyarakat Indonesia disadari pemerintah dan memang sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas terhadap penyebaran berita yang tidak kredibel.

     

    Referensi

    https://www.matamatapolitik.com/obama-ini-saatnya-untuk-hentikan-cancel-culture-analisis/ Diakses pada 12 Agustus 2020, pukul 10.00 WIB.

    https://www.urbandictionary.com/define.php?term=Cancel%20Culture Diakses pada 13 Agustus 2020, pukul 20.00 WIB.

    https://www.nytimes.com/2020/07/14/opinion/cancel-culture-.html Diakses pada 12 Agustus 2020, pukul 16.00 WIB.

    http://repositori.kemdikbud.go.id/11625/1/cover-materi-pendukung-literasi-baca-tulis-gabung.pdf Diakses pada 13 Agustus 2020, pukul 20.00 WIB.