Membahas mengenai poligami tentu tidak bisa dilepaskan dari menyinggung sistem sosial yang ada di masyarakat, yang cenderung meninggikan dan mengistimewakan kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik poligami yang dilakukan di tanah air, merupakan salah satu perwujudan akan hal tersebut.
Namun, bukankah perwujudan dari sistem sosial tersebut tidak hanya melekat pada institusi pernikahan yang memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, melainkan juga pada aspek kehidupan lain, seperti diantaranya institusi atau organisasi keagamaan tertentu?
Di Indonesia misalnya, ada tidak sedikit institusi serta organisasi keagamaan yang melarang perempuan untuk menjadi pemuka agama atau pemimpin organisasi, dengan anggapan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan kodrat yang diberikan Tuhan kepada kaum perempuan. Hal tersebut tentu merupakan salah satu perwujudan dari sistem sosial patriarkis yang paling jelas dan terang benderang.
Namun bukan berarti lantas hal tersebut dapat menjadi justifikasi untuk melarang semua anggota masyarakat untuk ikut terlibat atau menjadi anggota dari insitutusi keagamaan atau organisasi tersebut, hanya karena institusi atau organisasi yang dimaksud merupakan perwujudan dari sistem sosial yang patriarkis. Hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan kebebasan berkumpul yang harus dilindungi oleh negara.
Atau ilustrasi lainnya, bayangkan misalnya bila ada sekelompok perempuan yang secara sukarela ingin membuat organisasi “Perkumpulan Istri Taat Suami.” Salah satu persyaratan apabila ada perempuan yang ingin bergabung dengan perkumpulan tersebut adalah mereka harus bersumpah akan mentaati perintah suaminya secara absolut tanpa terkecuali.
Tidak bisa dibantah bahwa organisasi tersebut merupakan bentuk manifestasi dari sistem sosial yang patriarki dan saya pribadi tentu sangat menyesalkan akan adanya organisasi tersebut, serta akan membujuk baik anggota keluarga ataupun kawan perempuan saya untuk tidak bergabung. Namun, sekali lagi, bukan berarti lantas hal tersebut dapat menjadi justifiasi negara melakukan tindakan pelarangan dan pembubaran paksa perkumpulan tersebut. Dalam masyarakat bebas, setiap individu haruslah memiliki hak yang sama untuk berkumpul dan beasosiasi dengan siapapun yang ia inginkan.
Akan tetapi, bukankah poligami memiliki dampak yang sangat negatif seperti penelantaran dan kekerasan terhadap keluarga, termasuk juga anak-anak?
Bila mengacu pada Komnas Perlindungan Perempuan, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang tepat (Tirto.id, 2018).[1] Namun jika memang demikian adanya, maka yang menjadi permasalahan utama bukanlah “poligami”-nya per se, namun tindakan kekerasan dan penelantaran yang dilakukan oleh para suami, dan hal tersebut tentu harus diberikan sanksi hukum.
Selain itu, poligami bukanlah satu-satunya praktik yang masih dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat yang dapat menyebabkan dampak negatif bagi keluarga. Perceraian misalnya, juga memiliki dampak yang sangat negatif, terutama terhadap anak-anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan, anak-anak korban perceraian rawan mengalami setidaknya lima bentuk kekerasan, yakni perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orang tua, penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan keluarga (Republika.co.id, 2016).[2]
Saya sendiri, sebagai anak dari orang tua yang bercerai ketika saya masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar, benar-benar dapat mengerti dan merasakan dampak psikologis perceraian bagi anak-anak, dan saya yakin bahwa ada banyak anak lain yang merasakan hal serupa.
Namun bukan lantas berarti perceraian menjadi sesuatu yang dilarang, dan pasangan yang menikah diwajibkan untuk tetap bersama sampai akhir hayat apapun keadaannya, karena praktik perceraian terbukti memiliki dampak negatif terhadap keluarga, terutama anak-anak. Dalam masyarakat bebas, setiap individu memiliki kebebasan mutlak untuk hidup bersama serta berpisah dengan siapapun yang dikehendakinya.
Sehubungan dengan dampak negatif perceraian seperti penelantaran anak serta penculikan, maka hal tersebutlah yang harus dilarang dan bagi orang tua yang melakukan hal tersebut harus diberikan sanksi hukum oleh negara, bukan lantas perceraiannya yang dilarang.
Lantas, dengan bagitu, bagaimana dengan klaim sebagian pelaku poligami yang menjustifikasi perilakunya dengan dasar ajaran agama? Sebagian kalangan keagamaan yang memiliki pandangan progresif menilai hal tersebut merupakan penafisiran yang salah dan tidak sesuai dengan hukum-hukum agama. Bila demikian, bukankah argumen untuk memperbolehkan praktik poligami menjadi tak berdasar?
Sehubungan dengan hal tersebut, penting untuk dicatat bahwa saya tidak ingin memasuki perdebatan teologis terkait poligami dalam artikel ini. Saya memahami bahwa saya tidak memiliki kapasitas untuk membahas terkait hal tersebut dan biarlah para teolog, pemuka agama, serta akademisi yang memiliki kapabilitas-lah yang membahas isu poligami dari sisi ajaran agama.
Fokus perhatian saya dalam artikel ini adalah membahas isu poligami dari sisi hak individu sebagai warga negara, bukan dari sisi landasan teologis dan ajaran agama. Dalam hal ini, taruhlah bila poligami merupakan hal yang tidak sesuai dalam ajaran agama merupakan penafsiran yang tepat, dan hal tersebut dijadikan sebagai justifikasi untuk melarang poligami. Lantas bila demikian, apa bedanya justifikasi tersebut dengan pandangan kaum fundamentalis agama yang ingin memaksakan untuk melarang berbagai hal kepada masyarakat hanya karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya?
Dalam masyarakat bebas, pemisahan antara institusi agama dan negara merupakan salah satu prinsip utama yang harus dijunjung tinggi, bahwa tidak ada satu agama pun yang berhak mendapat keistimewaan dari negara. Penafsiran kelompok tertentu terhadap teks keagamaan tidak bisa dijadikan justifikasi untuk membuat hal tersebut menjadi hukum positif yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Bila penafsiran tertentu atas teks keagamaan bisa dijadikan hukum positif, maka hal tersebut tentu akan membuka pintu lebar untuk hadirnya sistem teokrasi yang berwatak totalitarian yang tentunya sangat mengancam kebebasan individu, sebagaimana yang terjadi di banyak negara, khususnya di wilayah Timur Tengah, dan juga di beberapa wilayah dan provinsi di Indonesia.
Bila demikian, kalau negara tidak memiliki justifikasi untuk melarang praktik poligami kepada seluruh masyarakat, bagaimana bila larangan tersebut hanya diberlakukan untuk sebagian pihak, misalnya pegawai negeri sipil atau pejabat negara? Bukankah mereka merupakan abdi negara dan wakil rakyat, oleh karena itu negara berhak memiliki aturan yang lebih untuk mereka yang tidak dibebankan kepada masyarakat lainnya?
Kembali kepada pernyataan di artikel saya bagian pertama, hak politik untuk terlibat dalam kehidupan bernegara dan turut serta dalam pemerintahan, seperti menjadi pegawai negeri sipil atau pejabat publik, haruslah terbuka bagi semua kalangan masyarakat, terlepas dari apapun identitasnya, baik gender, suku, agama, serta orientasi sekusalnya, ataupun bagaimana kehidupan pribadinya. Hal tersebut mencakup diantaranya makanan atau musik apa yang disukai, hobi yang sering digemari, serta kehidupan seksual yang dijalani.
Tidak boleh ada seorang pun yang dicabut hak politiknya hanya karena kehidupan pribadi atau identitas yang melekat pada dirinya. Persyaratan seleksi seseorang untuk menjadi abdi negara atau calon wakil rakyat haruslah dilakukan secara profesional, yakni dibatasi hanya terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi tertentu yang dibutuhkan, bukan pada hal-hal privat. Dengan seseorang menjadi pekerja untuk negara bukan berarti ia memberikan kuasa penuh kepada negara untuk mengatur urusan pribadinya.
Selain itu, bila negara dapat melarang seseorang menjadi abdi negara atau wakil rakyat dengan dasar kehidupan pribadi atau seksualnya, seperti larangan memiliki istri lebih dari satu, maka hal tersebut berpotensi akan menjadi preseden buruk yang menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk mendiskriminasi dengan melarang sebagian individu untuk terlibat dalam kehidupan bernegara hanya berdasarkan faktor kehidupan pribadi yang ia jalani.
Bukan tidak mungkin, bahwa aturan tersebut lantas bisa membuka ruang bagi negara melarang individu tertentu untuk menjadi abdi negara atau wakil rakyat berdasarkan hal-hal privat yang lain, seperti apabila ia melakukan hubungan seksual dengan jenis kelamin yang sama, tinggal bersama dengan seseorang diluar pernikahan, atau menganut keyakinan tertentu yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh mayoritas anggota masyarakat.
Argumen lain, yang sering dikemukakan oleh pihak-pihak yang mendukung larangan poligami, adalah pernyataan bahwa tidak ada satupun perempuan yang bersedia dimadu oleh suaminya. Selain itu, ketika membahas tentang poligami, saya juga kerap mendapat pertanyaan dari kawan saya kontra terhadap hal tersebut, bahwa apakah saya bersedia bila ibu atau saudara perempuan saya diperlakukan demikian?
Terkait dengan tidak ada perempuan yang bersedia dimadu, saya tidak memiliki pandangan apapun akan hal tersebut. Namun ada satu hal yang pasti, bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada yang sama satu sama lain, baik dari segi pemikiran, selera, ataupun tujuan hidup.
Setiap individu merupakan entitas unik yang masing-masing memiliki sudut pandang, pemahaman, dan pemaknaan yang berbeda-beda akan suatu hal, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti agama yang dianutnya, tradisi tempat ia tumbuh, ataupun pandangan filsafat yang diyakininya. Oleh karena itu, upaya penyeragaman pemikiran akan suatu hal merupakan sesuatu yang sangat mustahil.
Pernyataan bahwa tidak ada satupun perempuan yang bersedia dipoligami bagi saya merupakan bentuk arogansi intelektual karena hal tersebut mengisyaratkan bahwa semua perempuan memiliki cara pandang dan pemikiran yang sama terhadap suatu hal. Selain itu, pernyataan tersebut juga justru berpotensi akan meminggirkan kelompok perempuan tertentu dengan membungkam mereka yang memiliki pandangan berbeda dalam melihat dan memahami persoalan poligami.
Mengenai pertanyaan apakah saya bersedia bila anggota keluarga saya yang perempuan dipoligami, saya akan katakan bahwa saya memang sangat keberatan dan menolak bila ada anggota keluarga saya yang dipoligami oleh suaminya, siapapun dia apakah itu ibu saya, saudara sepupu perempuan saya (saya tidak memiliki saudara kandung perempuan), ataupun bila kelak di masa depan saya memiliki anak perempuan. Namun, apapun pandangan saya, apakah saya menyetujui atau menentang, hal tersebut sangat tidak relevan dan tidak bisa dijadikan dasar argumen untuk melarang poligami.
Dalam masyarakat bebas, setiap individu merupakan pemilik mutlak atas dirinya sendiri. Ia merupakan entitas yang otonom dan memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya, serta mengambil berbagai keputusan sesuai dengan yang dia inginkan, tentu selama keputusan yang diambil bukan merupakan bentuk agresi yang melanggar hak orang lain. Tidak ada pihak manapun yang memiliki hak memaksakan apa yang ia anggap baik kepada orang lain, siapapun dia, baik anggota keluarga, pemuka agama, tokoh masyarakat, atau pemimpin tertinggi di suatu negara.
Keputusan apakah seorang perempuan bersedia dipoligami atau tidak haruslah berada di tangan perempuan itu sendiri dan bukan orang lain. Sekalipun saya menolak keras apabila ada anggota keluarga perempuan saya yang dipoligami, namun bila perempuan anggota keluarga saya tersebut memutuskan untuk bersedia, maka tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan. Saya tidak memiliki hak untuk memaksakan apa yang saya inginkan kepada orang lain, sekalipun orang tersebut merupakan seseorang yang sangat dekat dengan kehidupan saya.
Sebagai penutup, bagi saya penting untuk dicatat bahwa meskipun saya mendukung hak seseorang untuk melakukan poligami (dan dalam hal ini juga termasuk poliandri) bukan berarti lantas saya bersikap anti terhadap kampanye anti poligami. Kampanye tersebut merupakan bagian dari kebebasan berbicara dan bereskpresi yang harus dilindungi secara penuh oleh negara.
Namun yang menjadi permasalahan utama saya adalah ketika ada sebagian individu atau kelompok yang ingin menggunakan alat negara untuk memaksakan apa yang mereka anggap baik kepada masyarakat. Ketika ada sebagian pihak yang ingin mengatur jalan hidup apa yang harus dijalankan oleh orang lain, dengan merampas kemerdekaan individu orang tersebut untuk menentukan pilihan hidupnya sesuai dengan yang ia inginkan.
Dalam masyarakat bebas, setiap manusia merupakan entitas yang bebas dan berdaulat atas dirinya sendiri, dan memiliki hak mutlak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing selama tidak mencederai hak orang lain. Sudah merupakan ketentuan alam bahwa setiap individu dilahirkan tak sama dan memiliki kepercayaan, selera, serta pencarian terhadap kebahagiaan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, toleransi terhadap keberagaman merupakan nilai yang sangat penting dijunjung tinggi.
Toleransi merupakan syarat utama untuk membangun masyarakat bebas yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Toleransi terhadap kepercayaan yang berbeda, terhadap budaya dan kebiasaan yang beragam, serta toleransi terhadap pilihan hidup orang lain yang tidak sama dengan kita, meskipun secara pribadi kita tidak menyetujui pilihan hidup tersebut.
[1] Sumber: https://tirto.id/komnas-perempuan-sebut-poligami-salah-satu-penyebab-kdrt-db5u
[2] Sumber: https://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/16/10/07/oeo5ft47-kasus-anak-korban-perceraian-tinggi

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.