
Perang terhadap narkotika, psikotropika dan obat berbahaya (narkoba) merupakan perang yang panjang, kontroversial, dan telah menimbulkan banyak korban. Obat-obatan yang diidentifikasi sebagai narkoba seperti opium dan ganja menjadi salah satu contoh barang haram yang terus diburu dan dikejar para pengedarnya. Di pihak lain, kebijakan perang ini bermanfaat untuk mengatur peredaran narkoba di Indonesia. Namun, stigma negatif terhadap benda yang dijuluki sebagai ‘barang haram’ ini juga memiliki dampak negatif bagi kita.
Dampak negatifnya adalah ketika obat-obatan ini dicap haram dan terlarang secara mutlak, maka pemanfaatannya untuk dunia medis akan sangat sulit. Padahal, beberapa penyakit dapat di atasi jika kita memanfaatkan obat-obatan tersebut, salah satunya adalah ganja.
***
Beberapa waktu lalu, viral di media seorang ibu di kawasan Car Free Day (CFD) membawa poster yang bertuliskan “Tolong Anakku butuh ganja medis” (Detik.com, 26/06/2022). Sang ibu mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan ganja medis untuk anaknya, Pika, yang mengidap kelainan saraf otak cerebral palsy, sebuah penyakit langka yang diidap oleh anak tersebut.
Santi Warastuti, sang ibu, membawa poster berisikan pesan bahwa anaknya butuh ganja medis. Momen tersebut diabadikan dan diunggah ke media sosial oleh penyanyi Andien Aisyah. Ia menjelaskan dalam Twitternya, bahwa di CFD, ia bertemu seorang Ibu yang tengah membawa anaknya dan membawa poster tersebut. Menurut Andien, ibu itu sangat berani. “Pas aku dekatin, Beliau nangis. Remuk hati aku. Kondisi kelainan otak ini sulit diobati dan treatment yang paling efektif adalah pakai terapi minyak biji ganja/CBD oil,” ungkapnya (Detik.com, 26/06/2022).
Perjuangan sang ibu yang menginginkan kesembuhan anaknya melalui ganja medis membuat warganet terenyuh. Di samping itu, masyarakat juga tersadarkan bahwa ada manfaat besar dari barang yang dicap “haram” tersebut. Apa yang dialami oleh Ibu Santi Wirastuti masih lebih baik ketimbang Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan pada 19 Februari 2017 lalu. Fidelis diketahui menanam ganja di pekarangan rumahnya. Hal ini tercium oleh aparat hukum dan langsung menangkap dirinya.
Apa yang dilakukan oleh Fidelis tidak semata-mata untuk kenikmatan pribadi, dia menanam ganja sebagai obat untuk sang istri, Yeni, yang mengidap penyakit Syringomyelia (penyakit di sumsum tulang belakang). Fidelis mengatakan bahwa ia ingin mengobati sang istri dengan ganja. Nahasnya, perbuatan tersebut membuat ia ditangkap dan mendekam di penjara. Sementara sang istri, Yeni, meninggal dunia pada 25 Maret 2017 lalu, setelah sebulan Fidelis ditahan (BBC.com, 03/05/2017).
Dua kasus di atas merupakan gambaran nyata bahwa ada kerugian besar bagi kita ketika masalah narkoba atau ganja ini hanya dipandang dari kacamata hitam dan putih. Sebenarnya, diskursus mengenai legalisasi ganja untuk medis atau pengobatan sudah sering dijadikan topik diskusi terbuka. Di beberapa channel YouTube, kita akan disuguhkan komentar para ahli seperti dr. Ryu Hasan, seorang neurolog, atau tokoh lainnya yang memandang ganja dari kacamata yang lebih fleksibel.
Meskipun beberapa kajian dan komunitas sudah berusaha untuk menerangkan manfaat ganja secara medis, namun pemanfaatan ganja di Indonesia hingga hari ini masih menimbulkan kontroversi. Sebagian pihak berkeyakinan bahwa ganja merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat, sementara tidak sedikit pula yang menyatakan ganja merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dan harus dilarang.
Salah satunya adalah dari Direktur Hukum/Plt. Deputi Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional (BNN) Susanto. Ia bersikukuh bahwa ganja bukanlah obat, namun barang haram sesuai perundangan-undangan khususnya pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Kita adalah negara hukum, artinya kita menegakkan hukum-hukum positif. Kalau dalam hukum positifnya terkait pengaturan narkotika ada di UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa narkotika golongan 1 tidak diperbolehkan untuk kepentingan obat, dan ganja termasuk ke dalam golongan 1, maka dalam proses penegakan hukum dan hukum positif tidak mungkin untuk dilegalkan,” katanya (Suara.com, 05/07/2022).
Di Indonesia sendiri, ganja memang termasuk ke dalam golongan satu narkotika, sehingga ganja tidak dapat digunakan untuk hal apapun, termasuk untuk penelitian. Indonesia sendiri menerapkan hukuman yang sangat keras bagi siapapun yang terlibat dalam penggunaan ganja, baik penanam, penjual, atau pembeli.
Hal ini berbeda dan berkebalikan dengan di beberapa negara, seperti Belanda, Kanada, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, di mana ganja merupakan sesuatu yang legal dan bisa diperjualbelikan seperti barang-barang lainnya. Bahkan, negara yang awalnya sangat tegas terhadap ganja seperti Thailand, akhirnya bersikap terbuka terhadap ganja, bahkan, pemerintahnya (secara berlebihan) membagikan ganja untuk warganya.
Namun, bukan berarti kita harus meniru Thailand. Fokus kita adalah bagaimana kita bisa memandang ganja dan beberapa barang yang dianggap haram tersebut tidak dengan kacamata hitam putih. Sikap paranoid yang berlebihan terhadap tanaman ganja ini, tentu merugikan kita semua. Kita menjadi bangsa yang paling bodoh dalam memahami tanaman ganja dan tidak mengetahui apa manfaat yang sebenarnya dari tanaman ini.
***
Dalam buku “Hikayat Pohon Ganja”, yang ditulis oleh Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Dhira mengatakan bahwa dalam peradaban manusia yang lampau, ganja bukanlah barang yang asing, ia adalah tanaman yang umum baik digunakan sebagai lauk atau obat. Sederet penyakit seperti alzheimer, glaukoma, radang sendi, hingga masalah buang air dapat disembuhkan dengan ganja. Hal itu membuktikan anggapan keliru yang mengganggap pemakaian ganja ‘hanya’ dapat menyebabkan seseorang malas atau kehilangan motivasi (Dhira, 2011).
Buku tersebut juga mengutip sebuah studi di Jamaika pada tahun 1976 mengenai para pemakai ganja selama bertahun-tahun, mereka beralasan bahwa konsumsi ganja bisa memicu untuk energi, di mana ganja dikonsumsi pada pagi hari, pada waktu istirahat di tengah rutinitas kerja, atau tepat sebelum melakukan suatu pekerjaan berat sangat membantu kesehatan (Dhira, 2011).
Jika kita memandang dari segi ini, barang kali kontroversi mengenai legalisasi ganja medis dapat didiskusikan kembali. Selama ini, penegak hukum seperti BNN melarang peredaran ganja dengan mengacu pada undang-undang, sedangkan mereka yang mendukung pemanfaatan ganja secara positif untuk obat, melihat pada data-data ilmiah.
Penjara Yang Penuh
Beberapa waktu lalu, sebuah video menggambarkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly terlihat mengunjungi beberapa rumah tahanan (rutan) yang diduga melebihi kapasitas. Yang membuat Yasonna heran, jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) bisa berjumlah lebih dari 50 persen dari kapasitas lapas adalah napi dengan kasus narkoba. Ia menjelaskan bahwa lebih 50 persen isi lapas kami itu adalah (napi) narkoba, itu sesuatu yang sangat aneh. Satu jenis kejahatan mendominasi 50 persen lebih dari isi lapas (merdeka.com, 15/09/2021).
Ia menyebut jumlah napi kasus lain digabung, masih kalah jumlah dari jumlah napi narkoba yang mendekam di rutan tersebut. Sebenarnya, bukan rahasia umum jika rumah tahanan dan lembaga permasyarakatan di Indonesia mengalami kepenuhan kapasitas. Dengan kata lain, penjara sudah terlalu penuh (merdeka.com, 15/09/2021).
Namun, uniknya yang menyebabkan penuhnya sel tahanan bukanlah karena kasus kriminal lain, tapi karena kasus narkoba. Banyak orang yang jatuh kepada narkoba atau bahkan tak sengaja membawa paket berisi narkoba akhirnya ditangkap dan ditahan ke penjara. Hal ini membuat lapas cepat penuh dan sesak. Lebih dari itu, mereka para pecandu, bukan maling atau penjahat, harus menderita selama beberapa tahun karena terjerat oleh narkoba.
Menkumham sendiri mengakui bahwa UU Narkoba telah menjadi penyebab utama dari masalah ini. Bukan tidak mungkin, mereka yang ditahan kasusnya, seperti Fidelis Ari Sudarwoto, yang dipenjara hanya karena memanfaatkan ganja sebagai obat untuk terapi sang istri.
***
Seorang pemikir dan advokat kebebasan, Tom G. Palmer, saat diwawancarai oleh Suara Kebebasan, mengatakan bahwa sikap kita terhadap ganja atau obat yang dicap haram terlalu berlebihan. Ia berkata bahwa pemerintah melarang ganja dan obat-obatan lainnya, justru malah menyebabkan kepelikan, bukan solusi. Tom berkata salah satu konsekuensi perang terhadap narkotika yang terlalu fanatik adalah kejahatan terorganisir masuk ke dalam bisnis. Kita melihat secara dramatis meningkatnya kekerasan di negara-negara yang memulai perang terhadap narkoba, perang antar kelompok, korupsi dalam institusi hukum dan penyuapan terhadap polisi (Suara Kebebasan, 24/08/2015).
Penutupan pasar yang legal terhadap ganja, menyebabkan para mafia jahat justru menguasai bisnis ini. Ganja yang harusnya diurus secara tepat dan benar untuk manfaat tertentu justru dimonopoli oleh mafia untuk keuntungan kelompoknya. Akhirnya, mereka menjual ganja yang berkualitas rendah yang dicampur zat berbahaya lain untuk dikonsumsi secara tersembunyi. Selain itu, perang yang terlalu ketat meningkatkan kematian karena obat terlarang.Tom menjelaskan bahwa orang mati karena narkoba, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka sedang pakai, tidak ada pasar legal untuk itu, tidak ada merek dagang, sehingga tidak ada pertanggungjawaban legal atas narkoba yang dijual (Suara Kebebasan, 24/08/2015).
Overdosis dan tidak adanya edukasi yang benar telah membuat perang terhadap narkoba memiliki efek yang berlawanan dari apa yang sebelumnya ingin dicapai. Tom menyebut beberapa negara yang melegalkan ganja, seperti Belanda dan Portugal, tidak ada kasus overdosis, tidak ada orang yang menghisap ganja di pinggir jalan, dan bahkan beberapa orang memilih untuk tidak menggunakan ganja dengan kesadaran. Berbeda dengan Filipina, kejahatan, mafia narkoba, geng, dan overdosis menjadi masalah serius di sana. (Suara Kebebasan, 24/08/2015).
Dengan kata lain, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat untuk mempertimbangkan ganja dari berbagai sudut pandang. Penulis tidak menganjurkan agar ganja secara bebas dikampanyekan seperti Thailand, namun penulis lebih mendukung pemanfaatan ganja secara positif untuk medis. Sangat disayangkan jika mereka yang menggunakan ganja untuk kesehatan harus mendekam di penjara. Ironis, jika penjara kita penuh hanya karena terlalu banyak napi pecandu narkoba, yang seharusnya mendapat hak rehabilitasi dan terapi psikologi.
Referensi
Narayana, Dhira, dkk. 2011. Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6148384/jalan-panjang-legalisasi-ganja-medis-di-indonesia Diakses pada 5 Juli 2022, pukul 15.17 WIB.
https://m.merdeka.com/peristiwa/yasonna-heran-50-lapas-diisi-napi-narkoba-ada-yang-aneh-dan-janggal.html Diakses pada 5 Juli 2022 pukul 17.56 WIB.
https://suarakebebasan.id/tom-palmer-legalisasi-narkoba-akan-mengurangi-dampak-negatif-narkoba/ Diakses pada 5 Juli 2022, pukul 18.22 WIB.
https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-39780294.amp Diakses pada 5 Juli 2022, pukul 15.38 WIB.
https://www.google.com/amp/s/malang.suara.com/amp/read/2022/07/05/154914/bnn-tetap-tolak-pemanfaatan-ganja-medis-sebagai-obat-sebab-uu-melarangnya Diakses pada 5 Juli 2022, pukul 16.04 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com