Polemik Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung

497

Sebagaimana telah diketahui, Presiden Jokowi telah meletakkan batu pertama (groundbreaking) rencana pembangunan Kereta Api Cepat (KAC) atau High Speed Train (HST) Jakarta-Bandung pada 21 Januari 2016 lalu di Cikalong, Wetan, Bandung Barat.

Hal itu sontak membuat masyarakat terkaget karena proses negosiasi proyek KAC ini begitu cepat dan terkesan mendadak. Namun, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) justru mengklaim bahwa proyek ini telah direncanakan sejak 2008 silam, namun karena dana yang dibutuhkan sangat besar, rencana tersebut tidak kunjung diimplementasikan.

Seperti yang diberitakan kompas.com, Direktur Transportasi Bappenas Bambang Prihartono menyampaikan alasan Presiden Jokowi membangun proyek tersebut adalah karena political will yang timbul berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. “Pemerintahan Jokowi, political will-nya berbeda. Karena kita kan ingin capai target pertumbuhan ekonomi 5% sampai 6%.” paparnya.

Sebagaimana diberitakan, nantinya KAC ini akan dibangun dengan jarak 142,3 km yang dihubungkan oleh empat stasiun, yakni Halim (Jakarta, Karawang), Walini dan Tegal Luar (Bandung). Pemerintah juga merencanakan nantinya setiap stasiun juga akan dibangun Transit Oriented Development (TOD) guna mendorong sentral ekonomi di sepanjang jalur Jakarta-Bandung. Misalnya, di Walini nantinya akan dibangun kota baru Walini, begitu juga dengan Tegal Luar.

Menurut Bappenas, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut maka dibutuhkan investasi yang besar pula. Oleh karena itu, Pulau Jawa dianggap masih menjadi andalan untuk mendatangkan investasi dalam jumlah besar. “Dengan segala keterbatasan, Indonesia Timur tidak mungkin bisa menanamkan investasinya sebesar itu. Jadi yang diandalkan itu Pulau Jawa, karenanya kita perlu investasi besar.” ujarnya. Sehingga menurut logika pemerintah, jika ingin mencapai target pertumbuhan 6%, maka pertumbuhan di Pulau Jawa harus lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.

“Itu dampaknya kemana-mana, jadi kalau ingin rata-rata pertumbuhan nasional mencapai 5-6%, maka pertumbuhan di Jawa harus lebih tinggi. Silahkan Papua 2-3%, tetapi pulau Jawa harus lebih tinggi.” tegasnya. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memperdebatkan pro kontra investasi yang dilakukan karena bagaimanapun investasi adalah hal yang lumrah guna percepatan infrastruktur. Selain itu, niat baik pemerintah untuk mempercepat pembangunan juga perlu diapresiasi.

Di sisi lain, daya kritis juga harus dibangun dalam melihat proses negosiasi proyek KAC yang dilakukan oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China yang merupakan konsorsium BUMN Indonesia dan konsorsium China Railways dengan skema business to business ini. Hal ini penting dalam upaya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terkait mekanisme kerja pemerintah agar terjamin akuntabilitas dan transparansinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan kejadian yang sudah dilewati terkait proses negosiasi dalam konsorsium ini. Bagi penulis, ada lima hal yang menjadi catatan terkait proyek KAC ini, yakni:

Pertama, pembangunan KAC ini dirasa tidak konsisten dengan visi dan misi Nawacita Presiden Jokowi yang selalu merencanakan pembangunan dari pinggiran ke pusat. Realisasi pembangunan KAC ini justru membuat pembangunan semakin tidak merata antara Jawa dengan Luar Jawa. Sebagaimana diketahui, saat ini indeks koefisien gini nasional berada dalam posisi yang cukup mengkawatirkan, yakni 0,43.

Porsi pertumbuhan nasional berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik  (BPS) juga menunjukkan daerah Jawa masih mendominasi pembangunan nasional dengan jarak persentase yang saat jauh, yakni Jawa dengan 58,29%,  Sumatera dengan 22,22%, Kalimantan dengan 8,15%, Bali dan Nusa Tenggara dengan 3,06%, serta Maluku dan Papua dengan 2,37%.

Dengan demikian, pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah untuk meningkatkan porsi pertumbuhan nasional di kawasan Timur Indonesia. Dengan adanya pembangunan KAC Jakarta-Bandung jelas membuat kawasan seperti Papua menjadi pihak yang paling terluka karena semakin membuat perkembangan teknologi, transportasi, dan mobilitas antar daerah menjadi semakin timpang.

Kedua, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek KAC Jakarta-Bandung patut diragukan  karena hasil kajiannya diselesaikan dalam waktu yang tidak wajar yakni selama seminggu. Menurut pemberitaan yang berkembang, justru sehari sebelum groundbreaking keberadaan izin Amdal belum diterbitkan, padahal dokumen itu sangat diperlukan sebagai syarat untuk menjalankan proyek KAC sebagaimana juga berlaku bagi pihak swasta ketika ingin melakukan pembangunan.

Menurut Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Widodo Sembodo, pihaknya telah mengeluarkan kerangka acuan penelitian pada 11 Januari 2016. Namun, seminggu kemudian dokumen Amdal dari PT Kereta Cepat Indonesia-China telah selesai dan diserahkan ke KLHK untuk selanjutnya disidangkan. Karena dilakukan hanya dengan seminggu, maka perlu dilakukan uji validitas data secara mendalam terkait Amdal tersebut. Sebagaimana diketahui, proses pembuatan Amdal biasanya memakan waktu selama 6-12 bulan, sehingga menjadi wajar jika banyak yang menduga data yang tertuang dalam Amdal diragukan validitasnya.

Ketiga, kita juga patut menyayangkan bahwa keputusan pembangunan proyek KAC tidak diambil berdasarkan kajian komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian dan lembaga negara terkait sehingga berbagai persyaratan kelayakan proyek, termasuk perijinan belum diperoleh saat groundbreaking dilaksanakan.

Sebagaimana diketahui, groundbreaking dilakukan sebelum adanya izin konsesi dan izin pembangunan dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Hal itu jelas merupakan pelanggaran terhadap Azas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) yang merupakan acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dalam penyelenggaraan negara. Azas ini di Inggris biasa disebut dengan The Principal of Natural Justice.

Pengabaian izin Presiden Joko Widodo tersebut kemudian menimbulkan kesan di publik bahwa dua izin tersebut hanya menjadi sekadar formalitas belaka. Walaupun kita juga tahu bahwa menteri adalah pembantu presiden, tetapi bukan berarti presiden bisa menabrak aturan yang telah disepakati secara umum yang juga berlaku di masyarakat.

Banyak yang mensinsyalir bahwa syarat dan prosedur dokumen proyek tersebut belum selesai terpenuhi sehingga izin secara otomatis juga belum bisa dikeluarkan, namun ternyata groundbreaking tetap dilakukan. Ini kontras dengan perlakukan pemerintah terhadap swasta yang biasanya bersikap tegas dan melarang pihak yang ingin memulai aktivitas pembangunan sebelum izinnya dikeluarkan.

Seharusnya demi menjaga implementasi aturan dan penegakan hukum, presiden tidak bisa mengabaikan izin kementerian terkait, karena ini juga menimbulkan kesan buruk bahwa aturan telah bersikap diskriminatif terhadap presiden dan hanya berlaku tegas kepada masyarakat umum.

Keempat, pembiayaan proyek ini juga tergolong sangat mahal dan pemborosan jika dibandingkan dengan proyek KAC di beberapa negara. Berdasarkan data yang tersedia, pembangunan proyek KAC Jakarta-Bandung akan menghabiskan dana mencapai US$ 5,5 miliar untuk jarak 142,3 km atau seharga US$ 38,65 juta/km.

Padahal sejumlah proyek KAC di negara lain dapat dibangun dengan biaya yang lebih murah. Seperti Mumbai-Ahmedabad dengan menghabiskan dana US$ 14 miliar untuk jarak 534 km atau seharga US$ 26,22 juta/km dan Teheran-Isfahan dengan menghabiskan dana US$ 2,7 miliar untuk jarak 400 km atau seharga US$ 6,75 juta/km.

Selain itu, biaya rata-rata pembangunan KAC di China adalah US$ 17-21 juta/km, sementara di Eropa mencapai US$ 25-39 juta/km. Angka itu terlampau lebih murah jika dibandingkan dengan proyek KAC Jakarta-Bandung yang mencapai US$ 38,65 juta/km. Dari segi anggaran maka proyek ini patut menjadi perhatian bersama, bahkan sejauh ini sudah ada pihak yang menduga-duga adanya penggelembungan anggaran terkait proyek ini.

Terkait permodalan, proyek KAC memiliki total investasi sebesar US$ 5,5 miliar atau setara dengan 78 triliun rupiah, lalu pembagian persentase saham menempatkan BUMN Indonesia membentuk Joint Venture dengan nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan angka 60% atau setara dengan 46,8 triliun rupiah dan China Railways International, Co. Ltd dengan angka 40% atau setara dengan 31,2 triliun rupiah.

Untuk permodalan di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia permodalannya disetor sebesar 25% atau setara dengan 11,7 triliun rupiah serta pinjaman valuta asing US$ sebesar 75% atau setara dengan 35,1 triliun rupiah. Sebagaimana diketahui, komposisi saham PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yakni PT Wika sebesar 38% (4,4 triliun rupiah), PT KAI dan PTPN masing-masing 25% (2,92 triliun rupiah) dan PT Jasa Marga 12%  (1,4 triliun rupiah).

Tingginya angka itu membuat PT Wika untuk memenuhi setoran awal sebesar 280 miliar rupiah harus meminjam Bank dengan bunga sebesar 11% per tahun. Selain itu, PT KAI juga harus menunda beberapa pengembangan pelayanan karena harus melakukan setoran awal sebesar 125 miliar rupiah. Kondisi ini jelas membuat keberadaan proyek KAC ini menjadi beban bagi konsorsium BUMN Indonesia. Seharusnya ini menjadi catatan bagi pemerintah karena bunga pinjaman yang dinegosiasikan cukup besar.

Kelima, lokasi proyek KAC dinilai berbahaya bagi keselamatan penumpang serta operasional KAC kedepan. Menurut Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono ada empat sumber gempa yang bisa berdampak pada proyek KAC Jakarta-Bandung,  yakni Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, dan Zona subduksi lempeng Samudera Hindia yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan para penumpang dan kelangsungan operasi KAC. Tak hanya itu, Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubuungan, Hermanto Dwiatmoko juga menyatakan bahwa ada area sepanjang jalur KAC yang rawan longsor, sehingga dapat mengancam keselamatan penumpang dan kelangsungan operasi KAC.

Pemerintah tentu juga harus mengkaji secara komprehensif terkait lokasi proyek agar nantinya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Terlebih mengingat proyek ini dibangun dengan harga yang sangat mahal. Menjadi suatu kerugian apabila nantinya proyek yang mahal ini tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal karena tidak adanya antisipasi terkait potensi bencana di sekitar pembangunan.

Catatan Kedepan

Niat Presiden Jokowi untuk mempercepat pertumbuhan setidaknya harus diapresiasi, namun koridor dan aturan, serta mekanisme yang ditempuh juga harus diperhatikan. Jangan sampai niat baik ini berakhir dengan hasil yang buruk dan bermasalah karena dilakukan dengan tergesa-gesa serta tidak melibatkan banyak pihak.

Selain itu, perlu dikaji tentang prioritas dan urgensi proyek KAC Jakarta-Bandung, mengingat besarnya anggaran yang dihabiskan. Saya kira keputusan untuk menolak ataupun menunda pembangunan KAC ini bukan berarti menentang kemajuan. Masih ada hal lain yang lebih penting ketimbang membangun relasi Jakarta-Bandung yang saat ini sudah tergolong maju jika dibandingkan dengan daerah lain, seperti upaya melakukan pembangunan dari pinggiran ke pusat seperti yang dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi.

Lebih jauh, melihat proses yang begitu cepat dan tidak melibatkan kementerian terkait ini, kita juga tidak ingin proyek KAC lebih didominasi keinginan China ketimbang kepentingan Indonesia. Apalagi, kita juga mengetahui bahwa proyek prioritas nasional Presiden Jokowi adalah membangun tol laut sebagaimana yang dikampanyekan saat pemilihan presiden, bukan membangun KAC Jakarta – Bandung.

Publik juga menilai bahwa proyek ini terkesan terburu-buru, misalnya proposal dari China yang dibuat hanya dalam waktu 3 bulan dan pemerintah hanya membutuhkan waktu 1-2 bulan untuk mengambil keputusan. Seharusnya, pemerintah juga tidak terburu-buru untuk mengambil keputusan ini dan harus mendengarkan serta meminta pertimbangan banyak pihak terkait urgensi proyek tersebut.

Pengamat Kebijakan Marwan Batubara menilai bahwa rencana ini telah melanggar prinsip good governance. “Penyusunan rencana pembangunan KAC ini ditenggarai melanggar prinsip tata kelola dan prinsip kehati-hatian penyelenggaraan negara yang baik.” ujar pengamat yang berasal dari Indonesian Resources Studies (IRESS) ini.

Kekecewaan terkait proyek KAC ini juga datang dari Ketua Komisi VI DPR RI Hafidz Thohir. Menurutnya, seharusnya proyek KAC ini juga dibicarakan dengan DPR terlebih dahulu, meskipun hal itu adalah proyek business to business antara BUMN dengan China. “Selayaknya BUMN itu harus berbicara dengan Komisi VI DPR RI, tetapi sampai saat ini hal itu belum dilakukan.” ujar Anggota DPR Fraksi PAN ini di Operation Room, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Terlebih pembangunan KAC ini telah menggunakan aset negara yakni berupa tanah yang digunakan. Oleh karenanya tuntutan untuk melakukan kajian ulang secara komprehensif datang dari berbagai unsur. Sudah seharusnya pemerintah mendengarkan aspirasi ini sebagai suatu masukan.

Seharusnya, Presiden Jokowi harus lebih berhati-hati untuk mengeluarkan suatu kebijakan agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Jika dalam prosesnya tak banyak melibatkan berbagai pihak, maka beragam penolakan hadir sebagai keniscayaan. Tak heran jika Perpres No. 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung diduga melakukan pelanggaran administrasi yang disebabkan beberapa kementerian seperti Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Perhubungan tidak pernah diundang rapat dan dimintai persetujuannya terhadap draf Perpres ini.

Terkait hal ini, penulis menyarankan agar pemerintah dapat mengkaji ulang studi kelayakan terkait KAC ini, begitu juga terkait Amdal yang digunakan karena datanya cukup diragukan karena dibuat hanya dengan waktu seminggu, biasanya Amdal dibuat memakan waktu 6-12 bulan. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki Perpres No. 107 tahun 2015 dan Perpres No. 3 tahun 2016 yang mencantumkan KAC atau High Speed Train Jakarta-Bandung sebagai lampiran proyek strategis nasional untuk selanjutnya diputuskan untuk dilanjutkan atau tidaknya proyek pembangunan ini.

Ingat! Keputusan untuk menolak atau menunda proyek KAC bukan berarti menentang pembangunan dan kemajuan. Dalam hal ini, potensi dampak sosial dan aspek lainnya yang mungkin muncul, serta aspek pendanaan yang cukup tinggi tetap harus diperhatikan. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan alokasi sumber daya ke sektor lain yang lebih potensial dan penting untuk memicu pertumbuhan nasional.