Polemik Cuti Melahirkan dalam UU KIA terhadap Kesejahteraan Perempuan

    53
    Sumber gambar: https://kumparan.com/kumparanwoman/3-dampak-cuti-melahirkan-6-bulan-bagi-karier-perempuan-1yQMJrU1d8s

    Setelah acara kumpul-kumpul keluarga pada Tahun Baru Imlek kemarin, saya memerhatikan beberapa perubahan yang sedikit terasa cepat bagi saya. Sepupu saya yang rasanya baru kemarin masih masih menertawakan cabai di selipan gigi depan saya selama 20 menit tanpa henti (tanpa menyadari juga terdapat bekas makanan di gigi depannya), sudah bercerita mengenai pengalaman kerja pertamanya di sebuah perusahaan pakaian. Sepupu dari Mama saya, yang sebelumnya sudah mempunyai sepasang anak kembar, juga datang dengan perut yang sedikit besar dan memberitakan kehamilan keduanya kepada seluruh keluarga besar.

    Tiba-tiba saja, fokus utama 30 menit dalam perbincangan keluarga adalah bagaimana sepupu Mama saya, yang merupakan seorang karyawan di sebuah bank, bercerita tentang polemik cuti melahirkannya. Saudara Mama saya tersebut sudah memikirkan bagaimana rumitnya mengajukan cuti menjelang dan pasca kelahiran sang buah hati nantinya, belum lagi permasalahan tidak ada yang mengurus anak ketika kedua orang tuanya sedang bekerja. “Kalau boleh cuti sampe anak udah umur 1 tahun, mending deh,” ujar sepupu Mama saya sambil tertawa.

    Obrolan ini menghantarkan saya pada isu RUU KIA yang sempat dibahas pada tahun lalu. RUU KIA merupakan sebuah bentuk respons pemerintah dalam wujud kebijakan legislasi atas permasalahan yang diungkapkan dalam Naskah Akademik RUU KIA bahwa Indonesia merupakan negara dengan Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI) tertinggi di antara negara-negara di kawasan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Naskah akademik tersebut menyatakan, berdasarkan data dari Survei penduduk Antar Sensus (SUPAS), AKI tahun 2015 di Indonesia mencapai angka 305 per 100.000 kelahiran hidup, di mana kematian ini disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan persalinan yang gagal ditangani dengan baik dan benar, serta kurangnya perhatian khusus bagi ibu bekerja.

    Ibu bekerja yang sedang hamil dinilai perlu untuk mendapatkan penyesuaian dari pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari sebagai hak dan kewajiban demi kebaikan tumbuh kembang anaknya (Naskah Akademik RUU KIA, 2022). Selain itu, anak juga merupakan generasi penerus yang memiliki hak untuk mendapat asuhan dan bimbingan dari kedua orang tuanya agar dapat mendapat kualitas hidup yang optimal.

    Pembahasan mengenai RUU KIA mendapatkan apresiasi dan banyak respons positif dari masyarakat. Misalnya, Pasal 4 ayat (2) RUU KIA mengungkapkan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak untuk mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan dan mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran. Kemudian, mendapatkan waktu istirahat dan tempat untuk melakukan laktasi selama waktu kerja dan mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (tirto.id, 27/06/2022).

    Untuk Ibu yang melaksanakan cuti hamil, mereka mendapatkan hak secara penuh 100% untuk tiga bulan pertama dan 75% untuk tiga bulan berikutnya. Selanjutnya, RUU KIA ini juga menginisiasi cuti untuk suami yang istrinya melahirkan. Pasal 6 ayat (1) RUU KIA menyebut, untuk menjamin pemenuhan hak ibu selama melahirkan, suami berhak mendapatkan cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 hari dan pendampingan keguguran paling lama tujuh hari (tirto.id, 27/06/2022).

    Namun, terdapat salah satu wacana kebijakan yang masih diperdebatkan hingga saat ini, yaitu kebijakan cuti melahirkan selama enam bulan. Pasal 4 ayat (2) huruf a draf RUU KIA (2022) menyatakan bahwa, “Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Ibu yang bekerja berhak: a. mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan.” Kemudian, pada saat masa cuti tersebut, ibu tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya (Pasal 5 ayat (1) RUU KIA), serta tetap mendapatkan gaji secara penuh seratus persen di tiga bulan pertama dan tujuh puluh lima persen di tiga bulan selanjutnya (Pasal 5 ayat (2) RUU KIA).

    Perdebatan muncul lantaran peraturan cuti melahirkan tersebut dinilai dapat mendatangkan potensi masalah di masa mendatang. Menurut aktivis buruh perempuan dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi, pada kasus buruh perempuan dengan gaji kecil, mereka akan memilih untuk tetap bekerja hingga bulan keenam guna mendapatkan gaji penuh (Ganesia, 2022). Selain itu, Komnas Perempuan juga mengatakan bahwa penerapan RUU KIA akan sangat sulit mengingat peraturan ini membutuhkan alokasi anggaran yang cukup besar dan pengawasan yang ketat dari negara. Di sisi lain, pengaturan cuti melahirkan ini juga mendapatkan kritik dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang menyatakan keberatan, mengingat kondisi ekonomi saat ini belum pulih sepenuhnya akibat pandemi Covid-19 (Ganesia, 2022). Ketua APINDO, Alexander Frans, menyatakan bahwa aturan ini nantinya akan berpengaruh pada kebijakan internal perusahaan, terutama dalam proses rekrutmen pekerja (Ganesia, 2022).

    Alhasil, peraturan ini mendatangkan kekhawatiran akan berpotensi menghambat hak bekerja perempuan, terutama pembatasan kesempatan bekerja pada masa rekrutmen atau kesempatan pengembangan karir. Dengan kata lain, peraturan ini berpotensi mendatangkan diskriminasi bagi calon pekerja perempuan di usia produktif. Oleh karena itu, cuti melahirkan yang semula ditujukan untuk mengoptimalisasi kesejahteraan ibu dan anak dinilai dapat menjadi pedang bermata dua yang dapat merugikan perempuan.

    ***

    Implementasi kebijakan cuti melahirkan dalam RUU KIA yang memerlukan alokasi anggaran yang cukup besar dan membutuhkan adanya pengawasan yang ketat untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran atas hak-hak yang seharusnya diperoleh pekerja perempuan justru menjadi tantangan tersulit (Komnas HAM, 2022).

    Mengingat bahwa banyaknya pelanggaran atas hak-hak karyawan, termasuk cuti bagi ibu hamil, yang sebelumnya diatur melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya, apabila kita melihat kasus buruh perempuan di pabrik Aice yang mengalami keguguran karena adanya pelanggaran UU Ketenagakerjaan oleh perusahaan. Dilansir dari Vice.com, sejak tahun 2019 hingga tahun 2020 terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi dilahirkan dalam kondisi tidak bernyawa yang dialami oleh buruh perempuan pabrik Aice. Perusahaan seringkali melanggar hak-hak yang dimiliki tenaga kerja demi mengejar efisiensi dan efektivitas produksi perusahaan itu sendiri (vice.com, 19/03/2020).

    Hadirnya RUU KIA yang harusnya semakin melindungi hak-hak pekerja dan buruh perempuan, tetapi karena minimnya pengawasan dari pemerintah tentang perlindungan tenaga kerja perempuan membuat perusahaan melaksanakan peraturan tersebut secara seenaknya atau bahkan tidak melaksanakan sama sekali. Sementara itu, tidak semua perusahaan mampu untuk melaksanakan peraturan ini, meskipun bersedia untuk melaksanakannya. Dengan demikian, negara perlu mengambil langkah antisipasi dengan menyediakan alokasi anggaran bagi perusahaan atau tempat kerja tersebut.

    Selain itu, aturan ini juga disinyalir merupakan sebuah bentuk kodifikasi atas peran domestik ibu (Komnas Perempuan, 2022). Terdapat aturan khusus yang mewajibkan seorang ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif minimal enam bulan lamanya. Namun, definisi ibu yang tertera dalam RUU KIA adalah sebatas pada perempuan mengandung saja. Padahal, kenyataannya tidak semua kehamilan merupakan kehamilan yang diinginkan. Peraturan ini akan membebani perempuan yang hamil, tetapi tidak diinginkan. Pada beberapa kasus, seperti kasus hamil karena pemerkosaan, peraturan ini bisa dianggap membebani pihak perempuan. Dengan demikian, aturan ini juga dinilai berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum bagi ibu.

    Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan aturan-aturan tambahan atau afirmasi yang menyertai RUU KIA untuk menjamin bahwa korporasi akan mematuhi aturan yang ada. Hal ini penting agar korporasi tidak dapat melakukan diskriminasi atau pembatasan kesempatan kerja dan pengembangan karir bagi perempuan. Selain itu, diperlukan penjelasan tambahan dalam aturan pada kasus-kasus khusus guna tidak memberatkan beban pengasuhan kepada pihak perempuan yang justru membebani perempuan itu sendiri.

    Lebih jauh, usulan peraturan yang diajukan juga perlu mempertimbangkan kondisi pemberi kerja dan mekanisme pengawasan dan sanksi yang akan diterapkan jika terdapat pelanggaran. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan aturan yang diterapkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan, dapat diimplementasikan secara efektif dan mendapatkan dukungan dari beragam pihak, serta mampu mengantisipasi dampak sampingan yang dapat ditimbulkan akibat penerapan aturan terkait.

     

    Referensi

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2022). Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Diakses pada 25 Januari 2023, pukul 22.00 WIB dari https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20220615-113245-1025.pdf.

    Ganesia, I. (2022). Potensi Masalah di Balik RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Diakses pada 26 Januari 2023, pukul 10.00 WIB,  melalui https://tirto.id/potensi-masalah-di-balik-ruu-kesejahteraan-ibu-dan-anak-gtmv.

    Komnas Perempuan. (2022). Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Tentang Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Diakses pada 26 Januari 2023, pukul 10.30 WIB,   dari https://komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-detail/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-tentang-rancangan-undang-undang-kesejahteraan-ibu-dan-anak-ruu-kia.

    https://tirto.id/urgensi-ruu-kia-demi-kesejahteraan-keluarga-dikritik-pengusaha-gtnx.  Diakses pada 25 Januari 2023, pukul 21.55 WIB.

    https://www.vice.com/id/article/884bd4/dugaan-pelanggaran-hak-buruh-pabrik-es-krim-aice-bekasi-memicu-keguguran. Diakses pada 26 Januari 2023, pukul 10.50 WIB.