Menjelang Natal dan tahun baru, kata belanja mungkin lebih terdengar familiar di sekitar kita. Berbagai promo menarik hadir untuk menarik konsumen, baik online maupun offline store. Fenomena tahunan ini mungkin menjadi alasan dosen sosiologi saya mengambil satu istilah menarik untuk dijadikan soal UAS kemarin. Pink Tax, istilah yang keluar di soal UAS saya tentang materi gender, membuat saya cukup tertarik untuk mendalami lebih lanjut mengenai kosa kata unik ini.
Pink Tax merupakan fenomena yang sering dikaitkan sebagai bentuk diskriminasi harga berbasis gender, baik itu berupa barang maupun jasa. Istilah ini diambil dari pengamatan bahwa banyak produk yang terkena dampak adalah produk dengan kemasan berwarna merah muda (pink), yang biasanya diperuntukkan khusus untuk perempuan (healthline.com, 6/8/2020). Padahal, produk-produk yang terkena dampak dari Pink Tax ini hanya menunjukkan sedikit perbedaan dari kebanyakan produk biasanya, bahkan ada yang sama sekali tidak berbeda.
Dengan membayar Pink Tax, perempuan berarti membayar lebih untuk memenuhi produk sehari-hari mereka. Contohnya seperti pisau cukur, sampo, potong rambut, pakaian, dan lain sebagainya. “Pajak” ini berlaku untuk barang-barang yang mencakup seluruh kebutuhan sehari-hari perempuan, mulai dari mainan anak perempuan dan seragam sekolah, hingga tongkat, kawat gigi, dan popok dewasa (Dreher, 2019).
Yang lebih mengejutkan lagi bagi saya adalah ternyata fenomena ini bukanlah hal yang baru. Selama 20 tahun terakhir, California, Connecticut, Florida, dan South Dakota telah merilis laporan tentang penetapan harga berbasis gender di negara bagian mereka. Pada tahun 2010, Consumer Reports menyoroti masalah ini secara nasional. Mereka menemukan bahwa tarif harga yang perlu dibayar oleh perempuan 50 persen lebih tinggi dibanding produk pria yang padahal serupa.
Data laporan tersebut mencakup lima industri yang berbeda, seperti produk perawatan pribadi atau produk perawatan kesehatan. Masing-masing lima industri itu mencakup barang untuk dipasarkan untuk perempuan dan anak perempuan, tetapi jauh lebih mahal. Selain itu, para peneliti juga mengamati 106 produk yang termasuk dalam kategori mainan dan aksesoris. Akhirnya, mereka menemukan fakta bahwa rata-rata produk yang ditujukan untuk anak perempuan dihargai 7 persen lebih tinggi (healthline.com, 6/8/2020).
Data dan fakta lapangan di atas menunjukkan bahwa adanya komodifikasi identitas perempuan atau permainan stereotip gender sebagai strategi pemasaran. Lantas, apakah hal ini berdampak buruk bagi persaingan produk di pasar dan bagi konsumen?
Sepanjang sejarah, pola konsumsi telah terbentuk berdasarkan gender. Konsumen mengandalkan produk dan merek yang memiliki gender sebagai alat peraga untuk menampilkan identitas gender mereka (Avery, 2012). Banyak merek mencoba untuk membangun atau memperkuat asosiasi gender yang kuat melalui simbol, tanda, kode, narasi, dan kemasan iklan. Berbeda dengan kepribadian manusia, yang cenderung disimpulkan dari karakteristik fisik, perilaku, sikap, keyakinan, dan karakteristik demografis individu, identitas merek dapat dibuat-buat atau dipengaruhi oleh kontak langsung atau tidak langsung yang dimiliki konsumen dengan merek (Frieden, 2013).
Warna pink sendiri merupakan salah satu warna yang memiliki latar belakang sejarah cukup panjang. Pink telah dikonotasikan sebagai warna feminin sejak era Perang Dunia II. Terutama, setelah mantan Ibu Negara Amerika Serikat (AS), Mamie Eisenhower popular dengan obsesinya terhadap warna pink, hingga mendapat julukan sebagai mother of pink. Sebagai ibu negara, apapun yang dilakukan Eisenhower pasti menjadi sorotan publik. Memasuki era 1980-an, perusahaan-perusahaan di Amerika mulai menciptakan tren warna pink untuk strategi pemasaran.
Mereka menggembar-gemborkan warna pink sebagai “warna perempuan” dan biru untuk laki-laki. Mulai dari mainan, baju, perabot, peralatan sekolah hingga atribut bayi dibuat dengan dua warna tersebut sebagai identitas pembeda. Tidak heran, generasi yang lahir pada tahun 1980-an ke atas memiliki pola pikir pink adalah warna perempuan. Akhirnya, hingga saat ini warna pink menjadi identik dengan warna yang feminin dan paradigma yang telah terbentuk memotivasi perempuan untuk menggunakan warna pink sebagai simbol yang mendukung atau mewakili sifat-sifat feminin (Fuady, 2017).
Perbedaan warna merah muda (pink) dan biru pada kemasan ada karena merek secara tradisional beroperasi dengan keyakinan bahwa konsumen membuat keputusan pembelian berdasarkan jenis kelamin mereka. Pemasaran untuk jenis kelamin seseorang tidak hanya berisiko mengasingkan calon konsumen lainnya, tetapi juga menunjukkan kegagalan perusahaan untuk menggali wawasan yang lebih dalam tentang konsumen dan produknya sendiri.
Dengan adanya Pink Tax, perusahaan dapat memberi harga dengan asal, tanpa mengetahui kualitas produknya dan permintaan dari masyarakat. Alhasil, pasar tidak berjalan efektif. Konsumen hanya diberi variasi produk berdasarkan identitas gender saja, bukan produk yang inovatif dengan harga kompetitif yang ditawarkan.
Dengan demikian, perusahaan telah menjebak orang dengan stereotip gender untuk berpikir bahwa mereka dimaksudkan untuk menginginkan produk tertentu, kemudian merek terus memasarkan produk tersebut ke arah gender yang biasanya membelinya. Hasilnya, perusahaan telah meyakinkan perempuan untuk membelanjakan lebih banyak pada produk yang hampir identik dengan yang dipasarkan kepada laki-laki, sebuah fenomena yang dijuluki “Pink Tax” (Powers, 2019).
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa strategi pemasaran berbasis gender sudah kurang efektif karena konsumen modern yang semakin sadar akan pentingnya inklusivitas sebuah merek. Ditambah lagi, dampak terhadap kualitas produk dan mekanisme pasar yang terpengaruh fenomena Pink Tax.
Pilihan konsumen dibatasi oleh produk yang hanya bermodal stereotip gender, bukan inovasi, kualitas, atau kelayakannya. Sama buruknya, produsen juga menjadi malas berkreasi karena perusahaan hanya menuntut penjualan produk berdasarkan kategori gender tersebut. Yang terakhir, diskriminasi harga dalam kasus ini juga akan merugikan aspek finansial perempuan secara tak langsung.
Referensi
Artikel
Dreher, Beth. 2019. What Is the Pink Tax? If You’re a Woman, It’s Costing You Lots of Money. Diakses melalui https://www.goodhousekeeping.com/life/money/a27409442/what-is-pink-tax/
Wakeman, J. 2020. The Real Cost of Pink Tax. Diakses melalui https://www.healthline.com/health/the-real-cost-of-pink-tax
Powers, Katie. 2019. Shattering Gendered Marketing. Diakses melalui https://www.ama.org/marketing-news/shattering-gendered-marketing/
Jurnal
Avery, J. (2012). Defending the markers of masculinity: Consumer resistance to brand gender-bending. International Journal of Research in Marketing, 29(4), 322-336. doi:10.1016/j.ijresmar.2012.04.005.
Frieden, Laura Rose. (2013). The Role of Consumer Gender Identity and Brand Concept Consistency in Evaluating Cross-Gender Brand Extension. Retrieved form Graduate Theses and Dissertation, 24 Desember 2020. http://scholarcommons.usf.edu/etd/4488.
Fuady, M. (2017). Pergeseran Makna Warna Pink dari Maskulinitas Menjadi Femininitas di Amerika Serikat Tahun 1940-1970. Vol. 2 (2) Desember 2017, pISSN 2527-2853, eISSN 2549-2985.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.