Ada dua hal yang secara bersamaan hendak dibicarakan dalam buku “Apa Pilihanmu: Pengendalian Diri atau Pengendalian Negara” (Editor: Tom Palmer) yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Suara Kebebasan. Kedua hal tersebut adalah kendali diri dan kendali negara. Dalam konstruksi buku ini, keduanya berdiri berhadapan. Karenanya, melihat yang satu adalah memperhatikan yang lain. Misalnya, ketika kita bertanya tentang sejauh apa kendali diri diperlukan, maka jawabannya bisa dibaca dalam batas-batas yang bisa kita temukan dari kendali negara.
Apa yang disebut sebagai kendali negara bisa muncul dalam wajah terang maupun gelap. Secara langsung lewat perangkat kekerasan atau secara tak langsung lewat perangkat kesejahteraan. Dengan perangkat pertama kita cenderung bisa begitu cepat tanggap untuk menolak perluasan batas-batasnya. Tapi dengan perangkat kedua kita tak jarang malah mendukung.
Jika dibaca dalam model Althusserian, kendali kedua ini bersifat ideologis, halus namun berdampak kuat dan berjangka panjang. Ia adalah pembunuh kemandirian dan bersamanya pula kepribadian individu, masyarakat, dan pada akhirnya, sebuah bangsa. Ia adalah perayaan bagi kematian kebebasan dalam pupusnya rasa tanggung jawab pribadi. Dalam arti ini, ia adalah kemurahan hati yang membunuh.
Dalam bentuk “niat baik” negara, ia adalah bantuan yang dibijaki demi menolong kelompok yang paling melarat dari masyarakat. Dalam bahasa yang sangat ideologis, ia seringkali dituntut sebagai kewajiban utama negara. Persoalannya, buku ini ingin menunjukkan bahwa tuntutan itu, dan sekalian bersamanya seluruh argumen ideologisnya, sepenuhnya keliru.
Menarik bagi saya untuk melihat kaitan antara gagasan dalam buku ini dengan wacana hubungan negara dan rakyat di dalam kepala umumnya masyarakat Indonesia. Misalnya, apakah gagasan yang bertolak dari klaim bahwa bantuan kesejahteraan tidak mengentaskan rakyat dari kemiskinan, tapi justru menjaga orang miskin tetap miskin, bisa dijadikan bahan kampanye di negeri ini?
Sepertinya, bukan hanya melawan akal umum rakyat Indonesia, gagasan ini juga bersifat radikal bagi tumpulnya kritisisme kita akan hubungan rakyat dan negara. Sampai di sini, bisa dikatakan bahwa, sebagaimana setiap gagasan radikal yang tampaknya benar, buku ini membawa ajaran yang tidak akan cukup populer di negeri ini. Mengganggu kenyamanan pikiran kita mengenai tugas negara dan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat.
Tentu saja tak ada yang salah dari pikiran bahwa pemerintah bertugas untuk menyejahterakan rakyatnya. Tidak ada minat teoritis maupun praktis dari para penulis dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan ini untuk menolak pandangan itu. Kritisisme baru diajukan manakala cara yang diajukan dalam memenuhi tugas itu datang dari semacam minat progresif untuk menjadikan negara sebagai pengasuh rakyat.
Taruhannya adalah dua item filosofis yang tak dapat selesai dikupas bahkan dalam satu buku tebal tentang itu. Dua item dalam satu gagasan yang telah merentang panjang selama berabad-abad lewat para filsuf dan pemikir seperti John Locke dan Adam Smith hingga Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Namanya gagasan tentang kebebasan individual dalam item kebebasan dan tanggung jawab.
Tom G. Palmer yang menjadi editor dan menulis empat artikel dalam buku ini, memusatkan perhatiannya pada salah kaprah pemahaman kebanyakan orang mengenai gagasan kebebasan dan hubungannya dengan tanggung jawab. Bagi Palmer, ini adalah salah paham yang mengantar kita pada salah pengertian mengenai apa yang disebut sebagai kendali diri dan sifat pentingnya berhadapan dengan kendali negara.
Manakala yang menjadi persoalan adalah pengasuhan negara dengan segala dampak buruknya bagi pengembangan diri individu dan, pada ujungnya, sebuah bangsa, jawaban yang tersedia bagi kita adalah kembali pada pengertian yang lurus dan berhati-hati mengenai kebebasan individu. Gagasan ini, dengan keyakinan kuat yang tampak dalam seluruh tulisan Palmer di buku ini, bukan hanya merupakan jawaban terhadap problem eksistensial kita berhadapan dengan dunia, tapi juga jawaban atas problem menyangkut tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya.
Sederhananya, jika kita pahami hubungan yang tak terpilah dari item gagasan kebebasan dan tanggung jawab, maka akan mudah bagi kita untuk melihat bahwa tugas utama negara “bukan untuk mengamankan kebahagiaan kita” lewat berbagai program bantuan kesejahteraan, tapi untuk “mengamankan hak kita dalam mengejar kebahagiaan.” Sebentuk hak yang, tentunya, mengandaikan kebebasan kita sebagai individu dan warga negara.
Dan jika upaya untuk mencapai kebahagiaan mengandaikan kebebasan, maka kebebasan itu sendiri mengandaikan tanggung jawab. Kebebasan tidak datang dari antah berantah eksistensi manusia, tapi dalam relasi kita dengan setiap orang lainnya. Menarik untuk melihat bahwa antara kebebasan dengan tanggung jawab terdapat hubungan yang bersifat resiprokal; dalam bentuk yang kiranya lurus serta langsung.
Kebebasan yang hanya mungkin dalam tanggung jawab ternyata datang, berdasarkan kerangka relasional antar individu, dari kemustahilan tanggung jawab tanpa kebebasan. Ini berangkat dari pertanyaan filosofis yang sederhana: bagaimana mungkin kita menuntut tanggung jawab pada seseorang jika kita tidak memberinya kebebasan?
Argumen-argumen dalam buku ini mengisar hampir seluruh masalah yang berkaitan dengan penghadapan konfliktual antara kendali diri dan kendali negara. Dan persoalan ini tidak akan selesai hanya lewat sebuah buku setebal hampir 300 halaman, sebetapa padatpun argumentasinya. Tapi apa yang menarik dari buku ini adalah kemampuannya memberi kita, orang Indonesia, cara pandang alternatif dalam melihat hubungan rakyat dan negara. Dan itu disampaikan dalam bahasa yang terbilang garing untuk dimamah.
Setelah itu apa? Setelah kita memiliki pandangan yang baru, kesadaran untuk melihat hubungan kita dengan negara dari sudut pandang yang berbeda. Setelah kita memahami cara kerja bantuan negara dan melihat perbandingannya dengan gagasan mengenai tanggung jawab individu dalam bingkai kebebasan, maka kita harus membuat pilihan. Sebuah pilihan sederhana tapi penting.
Sederhana, karena kita hanya perlu memilih satu dari dua hal. Penting, karena pilihan itu tidak hanya akan menentukan jalan hidup kita sebagai pribadi tapi juga jalan hidup sebuah bangsa. Apa pilihanmu: kendali diri atau kendali negara?