Keadilan sosial merupakan bagian refleksi politik yang mendasari keberlangsungan hidup warga negara (citizen). T. H. Marshall (1963) dalam Right of Citizenship mengklasifikasikan konsep hak kewarganegaraan ke dalam tiga kategori : pertama, hak untuk kebebasan individu (Civil citizenship). Kedua, hak untuk partisipasi dalam kepuusan politik (Political Citizenship). Ketiga, hak untuk mendapat keamanan dan kesejahteraan ekonomi (Social Citizenship). Hak kesejahteraan (right of proseperity) melekat pada poin keiga, social citizenship, menurut Marshall.
Keadilan menjadi topik aktual yang selalu menarik untuk diperbincangkan dalam hidup bernegara. Negara diasumsikan sebagai omnipotence (sangat kuat) dan karena fungsinya melaksanakan kesejahteraan sosial, maka negara secara demokratis harus direbut (Tomagola, 2017). Segala bentuk perangkat penyelenggaraan negara dianggap penting untuk dijalankan dalam mekanisme demokratisasi.
Namun pandangan demokratisasi, dalam proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial seakan gagal dibawah bayang-bayang sistem patronase. Jejaring ini berangsur-angsur mendesain munculnya fenomena hybrid (Paskarina, 2017). Fenomena yang diyakini mendesain relasi “perkawinan” diluar negara antara politikus (elit) dengan klien di tingkat lokal.
Arti dari anggapan itu, berimplikasi pada mandeknya distribusi kesejahteraan itu sendiri, tidak lagi inklusif karena mengalir dalam ruang-ruang privat, tentu tidak pada kepentingan bersama sebagaimana tujuan bernegara. Orientasi distribusi kemakmuran tidak lagi dipraktekkan secara wajar, namun melainkan pada situasi bias dalam pengkondisian hubungan yang lebih informal dan personal (patron klien).
Patronase berimplikasi pada alokasi sumber daya dimana menciptakan ruang aman, bagi terselenggaranya habitus penyelewengan wewenang. Karena dalam patron klien, terdapat substitusi sebagai reward dari loyalitas klien yaitu berupa sumber daya, insentif, materi, uang, dan juga kemudahan akses kepada klien di tingkat lokal untuk menduduki posisi-posisi politik tertentu.
Kebiasaan yang terus berlanjut dalam realitas politik lokal itu sudah menjadi rahasia umum dan berangsur mendapat penguatan terhadap prasangka-prasangka dari masyarakat. Perkembangan asumsi dalam proses mendudukkan konsensus mengenai keadilan masih terus akan dihadapkan pada situasi dilematis. Tantangan soal pelaksanaan pelayanan negara secara demokratis dalam ruang yang bebas, tanpa himpitan kepentingan tengah menjadi diskursus yang amat mendesak dalam agenda keadilan bernegara.
Definisi keadilan dalam konteks pelayanan negara bukan hanya berarti memperlakukan seluruh warga negara secara sama (egaliter), namun lebih pada memberi keadilan pada individu-individu atau kalangan yang membutuhkan. Kadang-kadang, dalam usaha mengejar keadilan (pelayanan negara), secara sadar dicapai dengan cara-cara tidak adil, misalnya, kesesuaian pelayanan diarahkan pada kondisi-kondisi kerentanan tertentu dengan segala prasyaratnya.
Garis besar konteks keadilan adalah menjamin keseimbangan sosial dan cita-cita bersama. Walaupun ditengah realitas, kadangkala menemui kompleksitas. Harapan-harapan, keinginan terkait keadilan sosial seakan masih jauh dan ada pengaruh yang meyebabkan tujuan itu pincang. Bukan pesimis, namun lebih tepat, berupaya realistis, ketika negara gagal ditengah jalan, dalam usaha menerjemahkan keadilan sosial ke dalam ruang publik. Akibatnya, kepentingan publik menuju pada situasi rumit. Sampai pada akhirnya, negara dikatakan ‘salah urus’.
Bagaimana negara menerjemahkan keadilan sosial? Diskursus sosial memunculkan asumsi bahwa, kebaikan negara hanya dapat dirasakan dalam suatu pengandaian proporsional berbasis pelayanan inklusif. Ditengah perjalanan dan dinamika, inklusivitas itu sendiri masih berjalan dalam keadaan “telanjang”, cenderung lemah, akibat problematika struktural.
Betapa rumit, untuk menjawab keadilan jika negara terfragmentasi dalam berbagai aspek, artinya negara sedang menuju ke arah kegagalan. Berangsur-angsur kondisi itu membentuk wacana bersama bahwa anggapan keadilan sosial sebagai diskursus yang melayang dalam kehampaan (skeptis).
Opini semacam itu seakan mendapat penguatan, ketika karakter yang dipertontonkan secara sembunyi, didominasi naluri privat. Sampai, bahkan ada yang merasa keadilan sosial adalah abstrak, paling sukar untuk dirasakan. Tantangan bernegara, hadir dengan ragam masalah soal letak pemahaman tentang bagaimana mempraktekkan esensi pelayanan ideal dalam usaha mewujudkan keadilan sosial. Bagaimana negara berperan, apa bentuk distribusi kesejahteraan dalam pengertian utuh (welfare)?
Perdebatan soal Keadilan Antara Rawls, Nozick, dan Sen
Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness. Bagi dia, keadilan itu linier dengan equal basic of liberties. Pertimbangan ataupun pengandaian yang disodorkan Rawls, sering digunakan dalam logika bernegara pada umumnya. Pandangan justice as fairness dalam A Theory of Justice, 1971, dikemukakan ada dua wilayah inti ketika berbincang soal keadilan: opportunity dan outcomes. Landasan konseptual dari distributive justice Rawls, terletak pada ownership of goods (income, wealth, opportunities, jobs, welfare, utility) di dalam kelas masyarakat.
Logika opportunity dan outcomes dianalogikan dalam keberadaan masyarakat (status/pekerjaan) dan segala sesuatu yang ada dipadukan menuju kesetaraan dalam prinsip allocation of resources. Rawls menilai, pendapatan (sebagai salah satu bentuk social ownership), idealnya didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat (equal rights for all). Rawls berupaya mengembalikan posisi masyarakat secara alamiah (original position), atau hendak menetralkan posisi akibat dari adanya transformasi dan variasi yang memunculkan beragam status sosial. Kesetaraan dalam memaksimalkan hak-hak dasar rakyat perlu diintervensi ketika ada kesenjangan dalam penguasaan materi, (dominan-minoritas).
Rawls mengusulkan suatu perbedaan prinsip yang dijadikannya sebagai inti dari keadilan yang diuntungkan. Prinsip yang menyatakan bahwa perbedaan dalam kekayaan secara moral dibenarkan sejauh kekayaan itu menguntungkan yang lain (kaum minoritas). Inti yang mau dikemukakan adalah, ruang sosial hendaknya dijadikan basis kerjasama yang saling menguntungkan.
Asumsi itu dapat dibenarkan dan semacam memperoleh penguatan lewat pembuktian realitas, adanya akumulasi penguasaan sumber daya pada kelompok individu-individu tertentu, mereka yang sedikit lebih diuntungkan (misalnya dari beberapa aspek seperti, pendapatan, kekayaan, peluang, pekerjaan, kesejahteraan) dibanding lainnya.
Muncul pertanyaan, atas dasar apa distribusi harus dibuat, apakah kesetaraan, maksimalisasi, karakteristik individu, transaksi secara gratis, dan sebagainya?
Pendapat Robert Nozick berseberangan dengan apa yang dikemukakan Rawls, melalui pengembangan asumsi pada apa yang dinamakan mekanisme, cara mendapatkan keadilan. Magnum Opus-nya, berjudul Anarchy, State, and Utopia, 1974, mendeskripsikan keadilan lebih pada kebebasan masing-masing individu menikmati kepemilikannya sendiri melalui usaha yang dilalui menuju suatu pencapaian. Jelas, suatu argumen yang bertentangan dengan apa yang diyakini Rawls yang relatif lebih menyamakan keadaan masyarkat. Inti perbedaan keduanya adalah Rawls melihat hasil, sementara Nozick pada proses.
Namun realitas menyodorkan kegagalan karena tidak sepragmatis apa yang dibayangkan Nozick. Asumsi itu membutuhkan pertimbangan, kajian oleh nalar publik terutama tantangan-tantangan pada wilayah praktis. Asumsinya diklaim sebagai antitesis ketika dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana keadilan diinterpretasikan dalam skema resource allocation dalam latar suatu kondisi sosial yang berbeda-beda?
Poin kritisnya, bagaimana menghendaki suatu mekanisme pembagian yang tepat soal alokasi sumber daya? Berbasis pada kesamaan, atau kepentingan diri masing-masing (self interest)?
Jawabannya, sulit menemukan mekanisme pengaturan secara institusional di tengah kondisi sosial yang universal, atau mencari proporsionalitas sebagai jalan keluar mengurai persoalan itu. Amartya Sen dalam buku Idea of Justice, 2009, berupaya mengesampingkan pertarungan kepentingan sembari menyodorkan pandangan yang relatif lebih adil. Bisa dikatakan, Sen berusaha meletakkan pandangan secara moderat (jalan tengah) dalam proses menuju keadilan. Sen mengkritik teori keadilan Rawls karena telah mengabaikan pluralitas tentang “yang adil”.
Sen mendudukkan pertimbangan pada karakteristik keberagaman (diversity), bahwa ada pengkategorian yang jamak di masyarakat berdasarkan pada konsep tentang “masyarakat yang adil” atau “just society”. Sen juga menyodorkan pandangan yang solutif, dimana sebagai bentuk alternatif ketika keadilan mandeg pada level institusi (negara).
Demi keadilan, Sen menilai, ada inisiatif yang wajib dilakukan negara dengan mengukur kembali kapabilitas warga negara. Kalkulasi terhadap kapasitas masyarakat menjadi penting dalam penciptaan suatu kondisi kearah perbaikan. Sen memunculkan pendekatan capability approach, yang didalamnya memuat tujuan-tujuan sosial lewat pengembangan diri, kapasitas dan potensi individu-individu di masyarakat. Pengenalan kemampuan dan lingkungan sosial, dianggap dapat menangani persoalan dan berpeluang menciptakan sumber daya bagi masyarakat.