Fitur “live” di Instagram yang kemungkinan akan dihapus apabila gugatan RCTI disetujui oleh MK membuat banyak anak muda sekitar saya menyuarakan protesnya. Pasalnya, yang baru-baru ini viral di media sosial dan menjadi buah bibir oleh banyak content creator, media televisi RCTI dan iNews TV yang tergabung dalam MNC Group mengajukan uji materi gugatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi atau MK. Perusahaan ini menilai pengaturan penyiaran berbasis Internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum (BBC, 04/09/2020).
Mengapa RCTI menggugat pasal tersebut? Kerena mereka ingin siaran berbasis internet dimasukkan ke dalam cakupan definisi penyiaran. Mereka melakukan ini karena merasa persaingan penyiaran di Indonesia tidak adil sebab mereka mesti memenuhi persyaratan seperti izin penyiaran dan harus mematuhi pedoman penyiaran, sementara yang berbasis internet tidak perlu melakukan itu.
Singkatnya, RCTI dan iNews iri pada warganet sebagai orang-orang yang bisa dengan enaknya melakukan penayangan secara langsung (streaming) dan gratis, seperti Instagram Tv, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live dan konten-konten audio visual lainnya. Bila gugatan ini dikabulkan, maka kalian yang mau melakukan siaran live mesti menjadi sebuah lembaga dulu agar memiliki izin penyiaran.
Ketika berbagai tudingan bernada kesal dilayangkan para netizen, RCTI melalui Corporate Legal Director MNC Group, menjelaskan bahwa pihak mereka bukan bermaksud mengebiri kreativitas media sosial dengan melayangkan uji materi UU penyiaran. Mereka mengatakan, mereka bertujuan untuk menegakkan kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa (Detik.com. 29/07/2020).
Dari sini, kita bisa melihat bahwa selalu ada alasan untuk reaksi penolakan dewasa pada kultur anaknya tumbuh. Apa karena nilai moral yang menurun? Tidak. Orang tua, pada masa apapun, pada belahan dunia manapun, basically hanya mengalami transisi budaya dan itu adalah hal yang lumrah. Nilai moral berubah, bukan mereduksi.
Dengan globalisasi, memang terdengar seperti semua orang tua dari belahan dunia mengiyakan degradasi moral, karena apa yang kita pakai, dengar, nonton, dan sebagainya cenderung sama. Fashion di Jakarta kurang lebih mirip dengan yang ada di New York, apa yang kita dengar kurang lebih hasil produksi musisi Holywood yang namanya tercantum di tangga lagu Billboard, tentu reaksi orang tua mirip-mirip dengan adanya globalisasi, bukan?
Selain moral yang dianggap merosot, dunia kreativitas anak muda juga dianggap tidak memberi contoh yang baik melalui fitur “live streaming”. Namun, pandangan ini juga jelas tidak masuk akal. Berkat perkembangan teknologi, hal-hal yang saat ini menjadi trend bisa berubah suatu saat. Dulu, radio kalah dengan televisi, sekarang televisi kalah dengan YouTube.
Justru publik selaku konsumen, khususnya anak muda, lebih memilih menonton konten di platform digital karena cakupan kontennya yang lebih luas dan variatif. Kita bisa mengetahui lebih banyak hal dan informasi yang didapat tidak direstriksi lembaga penyiaran. Kebebasan dalam memilih konten apa yang ingin ditonton dan membuat apa yang ingin ditampilkan inilah yang menjadikan market online social media laku keras di kalangan anak muda.
Gugatan RCTI secara tak langsung mendorong agenda big government, monopoli, dan mendukung pemerintah untuk menciptakan barrier to entry di industrinya. Hal ini juga memberi kesulitan-kesulitan lain terhadap perusahaan saingannya dan menunjukkan pihak penggugat tidak siap dalam menghadapi persaingan dan pasar bebas.
Pada dasarnya, lembaga penyiaran konvensional diatur dalam undang-undang karena mereka memakai frekuensi milik publik. Akan tidak relevan kalau pemerintah meminta institusi atau media yang menggunakan platform mereka sendiri untuk dimintai hal yang sama karena mereka tidak memanfaatkan jalur frekuensi media milik publik, tapi jalur internet yang kita tahu kepemilikannya atas dasar kepemilikan pihak non publik.
Yang muncul kemudian bila gugatan ini dikabulkan pemerintah adalah implikasi hukum dan dampak sosial yang nyata pada content creator di YouTube dan Instagram. Pertama, semua content creator yang akan membuat atau menayangkan kontennya harus mengurus berkas-berkas demi mendapat izin untuk tayang. Apa yang terjadi? Semua individu akan tumbang. Katakanlah kalau yang membuat konten YouTube satu juta orang di Indonesia, jadi bagaimana pemerintah memberi izin lembaga penyiaran itu? Harus mengantri bukan? Satu persatu menunggu giliran, lama-lama industri kreatif akan mati.
Hal itu akan berimbas pada tidak bisa digunakannya layanan tersebut di Indonesia, dan otomatis itu akan punya dampak pada content creator yang selama ini menggunakan platform tersebut untuk berkreasi. Jadi, otomatis akan punya dampak sosial terhadap pengguna platform tersebut, baik dari sisi konsumen maupun creator.
Dari penjabaran di atas, regulasi atau lisensi ekonomi yang diberikan kepada lembaga penyiaran atau industri kreatif tidak akan membuahkan hasil yang “lebih baik” daripada sebelumnya. Regulasi ekonomi pemerintah juga bertindak sebagai pajak terselubung dengan menaikkan harga untuk konsumen, menciptakan hambatan industri tertentu, memberikan kuota untuk suatu komoditas, memasang tarif, membuat perlindungan untuk perusahaan tertentu dan mempraktekkan KKN, serta melanggar hak properti, di mana manfaat hanya akan dirasakan pembuat regulasi dengan perusahaan tertentu yang diproteksi.
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54015668 Diakses pada 5 September 2020, pukul 20.00 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-5151302/moral-jadi-alasan-rcti-gugat-uu-penyiaran Diakses pada 5 September 2020, pukul 22.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.