“….Ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. Bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiergrondwet (Undang-undang Dasar Revolusi). Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih Sempurna dan lengkap”
-Ir. Soekarno–
(Cuplikan pidato saat pengesahan UUD 45 di Majelis KNIP, Agustus 1945)
Wacana untuk mengembalikan dan memurnikan UUD 1945 belakangan ini mulai redup bahkan tak senyaring tahun 2014 lalu. Tetapi suara-suara tersebut tetap ada bahkan berusaha menghimpun beberapa tokoh intelektual dan partai politik untuk membicarakan kembali pemberlakuan naskah asli UUD 1945.
Sebut saja Rachmawati Soekarnoputri, Jenderal (purn) Djoko Santoso, Sri Bintang Pamungkas, Prof. Kwik Kian Gie, dan tokoh Indonesia lainnya yang menginginkan agar UUD 1945 diberlakukan kembali atas dasar “original text” dari UUD 45 yang asli, menyirat suatu semangat perjuangan anti kolonialisme yang dilakukan oleh para pendiri bangsa.
Rachmawati Soekarnoputri memiliki banyak alasan mengapa ia gencar memperjuangkan UUD 1945 yang asli, sebab bagi beliau, UUD 1945 yang dirancang tahun 2002 (amandemen UUD 45) justru bermasalah dalam sistem ketatanegaraan dan keberpihakan pada rakyat.
Rachmawati berpendapat bahwa amandemen UUD 45 telah merancukan wewenang MPR sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Otonomi Daerah yang kebablasan, ekonomi yang tidak pro rakyat tapi pro kapitalis, dan juga hilangnya syarat bahwa Presiden RI harus orang Indonesia asli.
Kwik Kian Gie, seorang ahli ekonomi, juga menambahkan bahwa rakyat Indonesia belum siap menerima demokrasi liberal. Sri Bintang Pamungkas memiliki sifat yang lebih ekstrim, mantan politisi PPP sekaligus oposisi Orde Baru, berpendapat bahwa MPR pada tahun 1999 telah berkhianat pada rakyat.
Sejarah Undang-Undang Dasar Kita
Dalam sejarahnya, memang UUD 1945 adalah hasil rumusan para tokoh-tokoh bangsa dan diproses oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas untuk menyusun rancangan UUD 1945. BPUPKI kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dari hasil sidang selama 29 Mei hingga 18 Agustus 1945, PPKI kemudian menetapkan apa yang menjadi dasar falsafah bangsa kita, yaitu Pancasila sebagai pembukaan (preambule) UUD 1945, dan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945.
Namun pada kenyataannya, UUD 1945 belum dijalankan secara konsisten, bahkan ada beberapa aturan yang bertolak belakang dengan aturan konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945. Contohnya, Maklumat nomor X yang dikeluarkan pada 16 oktober 1945, yang merubah sistem pemerintahan, dari presidensil menjadi parlementer. Maklumat tersebut jelas bertentangan dengan yang tertulis dalam UUD 1945, bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan presiden.
Apakah pemberlakuan Maklumat X yang didukung oleh Bung Hatta dan Sjahrir ini suatu tindakan inkonstitusional? Bagi saya tidak, sebagai UUD kilat atau UUD yang saat revolusi fisik berlangsung, sah-sah tindakan tersebut dilakukan. Aturan apapun selama berfaidah bagi rakyat dan negara selama revolusi fisik, maka hal itu dapat dibenarkan.
Ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi pada 27 Desember 1949, Indonesia pada saat itu bukan berbentuk negara kesatuan, tetapi perserikatan alias federal. Otomatis, UUD 1945 tidak berlaku lagi dan Undang-Undang Dasar yang berlaku pada saat itu dinamakan Konstitusi RIS. Konstitusi RIS hanya berlaku selama setahun, sebab pada 17 Agustus 1950, berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang bersifat temporal.
Setelah pemilihan umum 1955, barulah Konstituante dibentuk untuk menyusun Undang-Undang Dasar “permanen”. Namun, karena proses pembuatan konstitusi baru berjalan lambat, sedangkan gejolak politik tanah air semakin menghebat, maka Presiden Soekarno secara darurat membubarkan konstituante dan menghapus UUDS 1950. Sebagai gantinya, UUD 1945 berlaku kembali dan dibentuk DPR-GR, MPRS, dan DPAS yang ditunjuk dan dilantik oleh Presiden Soekarno.
Jika kita melihat alur sejarah, sebetulnya para tokoh bangsa tidak pernah memandang bahwa UUD 1945 adalah suatu konstitusi yang sakral dan mutlak benar. Ini dibuktikan dari aksi Bung Hatta dan Sjahrir yang mengubah sistem Presidensil menjadi Parlementer lewat Maklumat no. X dan juga pemberlakuan Konstitusi RIS dan UUDS 50 yang disepakati bersama tanpa keberatan.
Pengembalian UUD 1945 pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, yang kemudian dikukuhkan kembali pada masa Orde Baru dan menjadi “sakral” lewat Ketetapan MPR nomor 1 tahun 1983, semata-mata adalah tindakan politik, sebab dalam UUD 1945, wewenang dan kekuasaan Presiden sangat besar sehingga hal ini bisa menciptakan diktatorisme berjubah demokrasi, dan ini telah dibuktikan dalam sejarah.
Beberapa Permasalahan
Pemberlakuan UUD 1945 yang asli akan menimbulkan masalah-masalah baru, khususnya masalah kebebasan rakyat yang menyangkut pada ranah hukum, kedaulatan rakyat dan Hak Asasi Manusia. Saya membandingkan UUD 45 (naskah asli) dengan Konstitusi RIS dan UUDS 50, diluar dugaan, ternyata UUD 45 bagi saya kurang progresif, tidak luwes dan tak seuniversal Konstitusi RIS dan UUDS 50.
Konstitusi RIS dan UUDS sangat humanis dan spirit demokrasinya sangat terlihat. Contohnya adalah masalah kedaulatan rakyat. Dalam UUD 45 (naskah asli), kedaulatan rakyat hanya disebut pada Bab 1 pada Pasal 1 Ayat 2, “bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat “
Secara umum, UUD 45 hanya membahas mengenai kedaulatan rakyat pada bagian ini, tidak diperjelas secara eksplisit apa makna kedaulatan rakyat dan seperti apa kedaulatan rakyat. Namun jika kita membaca secara keseluruhan, jelas Pasal 1 Ayat 2 ini menjelaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di MPR yang dianggap merepresentasikan kedaulatan rakyat. Berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS 50.
Di Konstitusi RIS, pada Bab 1 Bagian IV Pasal 34, menjelaskan bahwa kekuasaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah berdasarkan kemauan rakyat. “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa” berarti kekuasaan tertinggi dalam konstitusi RIS adalah kehendak rakyat. Sedangkan dalam UUD 1945 yang asli, kekuasaan tidak berada ditangan rakyat, tetapi wakil-wakil rakyat, yaitu MPR.
Tentu penjabaran UUD 45 ini perlu dikritik, sebab kedaulatan tidak bisa diwakilkan, hanya suara rakyat yang dapat diwakilkan. Jika kedaulatan rakyat banyak diserahkan pada MPR, otomatis rakyat yang “nyata” tidak berdaulat, sedangkan MPR yang konon “mewakili” aspirasi rakyat, mempunyai kekuatan besar yang bahkan bisa mengontrol rakyat itu sendiri. Ingat kasus UU MD3?
Sedangkan di UUDS 50 dalam Bagian 1, Pasal 1, Ayat 2: “Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Dalam UUDS 50, kedaulatan rakyat dibagi 2, yang pertama adalah rakyat yang secara hakiki berdaulat dan yang kedua adalah pemerintah dan DPR yang menjadi eksekutor dari kedaulatan rakyat. Berbeda dengan UUD 45 yang memberi wewenang pada MPR yang dianggap merepresentasikan secara mutlak kedaulatan rakyat, di UUDS Pemerintah dan DPR hanyalah cerminan dari kemauan dan kedaulatan rakyat, sehingga peran rakyat dalam UUDS sangat besar.
Sedangkan masalah Kebebasan dan Hak Asasi tidak dijelaskan dalam UUD 45, namun tema-tema ini dipaparkan secara luas dalam Konstitusi RIS dan UUDS 50, diantaranya sebagai berikut:
– Setiap orang diakui kemerdekaan individunya, mendapat hak untuk setara dimata hukum, perlindungan dan bantuan hukum. [Lihat Konstitusi RIS, Bab 1, Bagian V, Pasal 7, Ayat 1 – 4; juga dalam UUDS 1950 di Bab, Bagian dan Pasal yang sama]
– Setiap orang tidak boleh diperbudak,diperhamba, disiksa, ditangkap atau ditahan dan diperlakukan sewenang-wenang. [Lihat Konstitusi RIS, Bab 1, Bagian V, Pasal 10-12, juga dalam UUDS 1950 di Bab, Bagian dan Pasal yang sama]
– Properti dan hak milik pribadi diakui dan tidak diperkenankan menginjak suatu pekarangan atau kediaman suatu rumah, tanpa kehendak orang yang mendiaminya. [Lihat Bab 1, Bagian V, Pasal 16, Ayat 1-2; Juga dalam UUDS 1950 dalam Bab, Bagian, dan Pasal yang sama]
– Setiap orang berhak atas kebebasan beragama, keyakinan, keinsyafan batin, dan pikiran. [Lihat Konstitusi RIS, Bab 1, Bagian V, Pasal 16; Juga dalam UUDS 1950 dalam Bab, Bagian, dan Pasal yang sama]
– Setiap orang bebas berpendapat, berserikat, berdemonstrasi dan mogok. [Lihat Konstitusi RIS , Bab 1, bagian V, Pasal 18 – 21; Juga dalam UUDS 1950, Bab, Bagian, Pasal yang sama]
Disini terpampang jelas bahwa Konstitusi RIS dan UUDS 1950 lebih lengkap dan komprehensif dalam hal demokrasi, kebebasan, dan kedaulatan rakyat. Sementara, hal tersebut tidak secara jelas tertuang dalam UUD 1945.
Dan dalam Konstitusi RIS atau UUDS 1950 tidak tercantum aturan bahwa yang menjadi Presiden Indonesia adalah “orang Indonesia asli” sebagaimana tertuang dalam UUD 45 pada Bab 2, Pasal 6 Ayat 1. Di Konstitusi RIS dan UUDS 50, setiap orang Indonesia apapun sukunya, baik keturunan Tionghoa, Arab, Eropa bisa menjadi Presiden dengan syarat ia adalah orang Indonesia. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Konstitusi RIS dan UUDS tidak bersifat diskriminatif.
Mengapa Harus Kembali ke Naskah Asli?
Sebab musabab mengapa MPR-RI melakukan amademen atau revisi pada UUD 1945 sebanyak 4 kali, ini disebabkan “amanat reformasi” yang bergejolak tahun 1998 dan 1999. Proses reformasi yang mengarah pada demokratisasi menghendaki agar sistem yang menopang rezim saat itu yang terkenal otoriter, agar dipreteli. UUD 1945 selalu menjadi legitimasi rezim yang lampau (Orde Lama dan Orde Baru) untuk melanggengkan kekuasaan dan mengekang kebebasan rakyat. Sifat UUD 1945 yang sangat ringkas dan umum, menyebabkan munculnya multitafsir. Dan bahayanya, UUD 45 hanya boleh ditafsir oleh penguasa dan apa yang dilakukan oleh penguasa pada masa itu selalau dianggap konstitusional.
Jika pada awalnya UUD 1945 bersifat tidak permanen, maka tidak ada salahnya jika Undang-Undang Dasar disempurnakan dan di amandemen. Para pejuang dan tokoh bangsapun tidak berkeberatan ketika UUD 45 diganti dengan konstitusi RIS atau UUDS 1959. Adnan Buyung Nasution, mengatakan dalam buku Demokrasi Konstitusional, bahwa proses amandemen UUD 1945 adalah prestasi yang luar biasa.
Begitu juga Romo Y.B. Mangunwijaya yang mengatakan bahwa UUD 1945 harus disempurnakan. “.. Harus berani membongkar tabu tahayul kesakralan yang dibuat-buat dan dilekatkan pada UUD 45. Sudah saatnya, now or never, UUD 45 diubah-sempurnakan, dimekarkan agar benar-benar menjamin trias politika bahkan panca politika (zaman pasca modern global sudah bukan zaman Monstequieu abad ke-18).”
Yang menjadi motivasi dari usaha pemberlakuan kembali naskah asli UUD 1945, pada dasarnya adalah dorongan pada kegemilangan sejarah di masa lampau. Motivasi pada kesejarahan masa lalu tersebut boleh saja, namun jangan membuat kita mundur kembali ke masa belakang. Rasa kebanggaan yang fanatik pada masa lampau justru akan membuat kita terhambat dimasa sekarang, karena setiap tindakan kita harus disesuaikan dengan generasi yang lampau, padahal situasi saat ini sudah berbeda jauh.
Karena itulah, kepada kawan-kawan yang masih bersemangat menerapkan ajaran leluhur secara buta di masa kini, sebaiknya segeralah move on….

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com