Tanpa pengukuran, tidak ada perbaikan. Demikian pernyataan yang terkenal dalam ilmu pengetahuan. Dalam soal pencapaian kebebasan individu serta kemajuan material melalui kesejahteraan ekonomis dan kebebasan sipil, maka Indeks Kebebasan Manusiawi (Human Freedom Index – HFI) perlu mendapat perhatian lebih mendalam. Ian Vasquez bersama Tanja Porcnik dari Cato Institute – lembaga pemikir libertarian Amerika Serikat- melakukan kompilasi terhadap beragam indikator kebebasan ekonomi, kebebasan individual, maupun kebebasan sipil mencakup 159 negara di dunia.
Setiap tahunnya, Vasquez dan Porcnik melaporkan pencapaian masing-masing negara melalui Human Freedom Index. Publikasi laporan ini adalah kerjasama antara tiga think tank tiga negara maju (Cato Institute – Amerika; Fraser Institute – Kanada; dan Liberales Institute dari Yayasan Politik Jerman Frederich Naumann Foundation untuk Kebebasan).
Bagi saya, peluncuran indeks semacam ini sangat bermafaat bagi munculnya refleksi ke dalam tentang bagaimana posisi negeri kita dalam “perlombaan” menuju kehidupan yang lebih bermartabat, mencapai kebebasan dari koersi di luar individu kita. Misalnya kemudahan berpindah (freedom of movement) dari satu tempat ke tempat lain, kebebasan berkumpul, berorganisasi serta berhimpun dalam asosiasi tertentu, dan seterusnya.
Mengapa saya menyebutnya sebagi “perlombaan”? Di satu sisi, kita hidup dan berkembang dalam hubungan saling tergantung. Di sisi lain, kita memiliki aspirasi dan impian kita masing-masing. Implikasi hal yang pertama tentulah kerjasama, sedangkan hal yang kedua memerlukan kompetisi yang adil sehingga kita terpacu menjadi yang terbaik. Tidak puas hanya menjadi medioker.
Ringkasnya, peringkat wilayah-wilayah di dunia dalam HFI dapat disajikan melalui tabel beserta grafik perbandingan seperti di bawah ini:
Region | Personal Freedom | Economic Freedom | FREEDOM INDEX | Rank |
Western Europe | 9.32 | 7.71 | 8.51 | 11.67 |
Northern Europe | 9.44 | 7.48 | 8.46 | 13.40 |
North America | 9.02 | 7.87 | 8.44 | 14.50 |
Central Europe & Baltics | 8.92 | 7.44 | 8.18 | 25.88 |
Southern Europe | 8.75 | 7.34 | 8.04 | 30.00 |
Australia & Oceania | 8.19 | 7.49 | 7.84 | 36.00 |
East Asia | 7.92 | 7.56 | 7.74 | 47.00 |
South Eastern Europe | 7.95 | 7.18 | 7.57 | 48.00 |
Caucasus | 6.76 | 7.41 | 7.09 | 75.33 |
Central America, Mexico & the Caribbean | 6.92 | 7.15 | 7.04 | 71.29 |
South America | 7.40 | 6.23 | 6.82 | 83.33 |
Central Asia | 6.19 | 7.16 | 6.68 | 92.33 |
Eastern Europe | 6.74 | 6.46 | 6.60 | 98.33 |
South East Asia | 6.23 | 6.89 | 6.56 | 97.73 |
Sub-Saharan Africa | 6.27 | 6.27 | 6.27 | 110.85 |
South Asia | 6.02 | 6.50 | 6.26 | 110.50 |
Middle East & North Africa | 5.12 | 6.67 | 5.89 | 122.33 |

Tidak dapat dipungkiri, wilayah Eropa Barat bersama Eropa Utara juga Amerika Utara berada ada peringkat teratas dalam pencapaian indeks kebebasan manusiawi dari waktu ke waktu. Sementara itu, wilayah Sub Sahara Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah Afrika Utara (TTAU). Negara yang termasuk dalam wilayah Asia Selatan serta TTAU kebanyakan penduduknya beragama Islam. Muncul pertanyaan menarik, sekurangnya bagi saya, mengapa ajaran Islam tampak tidak mampu kembali kepada zaman keemasan era Dinasti Abbasiyah yang menjadi puncak kejayaan Islam (Mustafa Acar, 2016).
Padahal ajaran-ajarannya tidak bertentangan dengan kebebasan alamiah semisal: (1). penghormatan terhadap hak kepemilikan, (2). non intervensi harga oleh penguasa walaupun penguasa itu adalah Nabi sendiri pada waktu musim paceklik melanda Madinah. Dalam ibadah Haji terakhir, pesan kanjeng Nabi (3). tidak boleh mengambil milik saudaramu tanpa diberikan dengan keikhlasan (willingly) dan tanpa paksaan (freely). Kemana menghilangnya ajaran mulia itu dalam kehidupan masyarakat mayoritas Islam?
Terus terang saya sendiri belum menemukan jawaban final (akhir) atas berbagai pertanyaan problematis di atas. Namun begitu, artikel Mustafa Acar (2016) “Dasar Intelektual pada Pandangan Negatif Terhadap dunia Islam” sepertinya dapat membuka tabir awal kemunduran Islam. Bukan kebetulan, artikel Mustafa Acar ini telah diterbitkan dalam buku Islamic Foundation for a Free Society dari Institute for Economic Affairs, Inggris. Sementara edisi Bahasa Indonesia juga telah diterbitkan dalam judul Islam dan Kebebasan: Argumen Islam untuk Masyarakat Bebas.
Bagi Mustafa Acar, sekurangnya ada dua faktor yang berperan bagi mundur Islam dari panggung kemajuan peradaban manusiawi: pertama, faktor politis serta historis invasi bangsa Mongol ke pusat peradaban Islam kala itu Baghdad – Ibukota Dinasti Abbasiyah- membuat ummat mundur beberapa waktu ke belakang. Kedua, faktor benturan filosofis dan kemenangan pemikiran intelektual filosofis yang cenderung menghambat kemajuan.
Selain dua faktor di atas, pada hemat penulis umat Islam telah lama tersesat dalam pemahaman salah tentang agama dan politik. Alih-alih memisahkan dengan garis tebal antara politik praktis dan keislamanan sebagaimana yang telah lama menjadi agenda pemikir progresif Muslim. Umat malah terjebak dalam pandangan kaum Islam politik, yang bersikukuh tidak memisahkan kegiatan politik praktis dari kepercayaan personal keagamaan.
Studi saya tentang Kebangkitan kaum islamist di masa pemilihan Kepala Daerah Lokal Jakarta tahun lalu menjadi penanda terpenting (milestone), usaha mengedukasi kaum muslim dalam kaitannya pendidikan politik sekuler menemui jalan terjal. Tidak semakin mudah dari waktu ke waktu. Namun selalu ada harapan ditengah kesusahan.
Kaitannya dengan studi saya di atas, makalah studi itu telah dipaparkan dalam Konferensi Istanbul Network for Liberty kelima di Kuala Lumpur 27-28 November 2017. Apalagi di era now di mana populisme berbalut jargon agama yang radikal dan politik identitas bergabung dalam satu kelompok, mendesak kelompok progresif dan penggiat masyarakat sipil berbasis kebebebasan. Transisi demokrasi di pelbagi negeri muslim membuka peluang bagi semua kelompok menawarkan gagasan masing-masing guna masa depan yang lebih baik.
Saya menyakini bahwa kondisi faktor kedua ditambah kebangkitan politik identitas –yang disokong sepenuhnya oleh populisme agama- inilah yang secara sungguh-sungguh dan ikhtiar terus menerus dari intelektual Muslim progresif tidak berhenti berjuang dan berijtihad, agar supaya beragam penghambat kemajuan dapat disingkirkan paling tidak dalam satu sampai dua generasi mendatang. Tidak ada jalan pintas mencapai kebebasan individu, kemajuan ekonomi serta jaminan hak-hak sipil.

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.