Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Biasanya, Hari Kartini ini menjadi ajang anak perempuan untuk tampil dengan kebayanya bersama teman laki-lakinya. Di sekolah saya dulu, untuk memperingati Hari Kartini, anak perempuan juga menampilkan tarian daerah diiringi dengan musik-musik yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Namun, tahun ini tampaknya tidak bisa dirayakan seperti biasanya karena pandemi.
Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Raden Ajeng Kartini adalah seorang pahlawan nasional yang berjuang membela hak-hak perempuan. Melalui pemikiran yang Beliau tuangkan dalam tulisan, Kartini banyak membahas soal perjuangan perempuan untuk memperoleh kebebasan, persamaan hukum, dan pendidikan yang layak. Perjuangannya dalam membebaskan perempuan Indonesia nyatanya tetap dikenang hingga kini.
Eksistensi perempuan Indonesia dalam menentukan sejarah bangsa mengalami pasang surut. Dari mulai masa pendudukan bangsa Barat dan Eropa di Indonesia sampai ke pendudukan masa Jepang yang terkenal akan organisasi Jugun Ianfu-nya,
Sejak Batavia dijadikan pusat pemerintahan VOC, maka pegawai-pegawai banyak didatangkan dari negeri Belanda untuk bekerja di tanah kolonial Belanda ini. Tidak hanya orang luar yang berkepentingan sebagai pegawai di Batavia saja yang didatangkan, namun juga penduduk luar Nusantara seperti orang China. Melihat perkembangan kota Batavia yang pesat, VOC mengeluarkan kebijakan yang melarang penduduk pribumi untuk hidup di Batavia sehingga VOC memerlukan lebih banyak orang. Kelompok penduduk lain dari luar Nusantara yang dibawa masuk adalah serdadu sewaan asal Jepang dan budak-budak (Simbolon, 2006).
Kedatangan pegawai laki-laki VOC ini menimbulkan istilah baru di Hindia Belanda, yaitu Nyai. Istilah “Nyai” sendiri berasal dari akulturasi bahasa Bali, Sunda, dan Jawa yang artinya perempuan muda. Para perempuan gundik atau disebut juga Nyai memasuki dunia pergundikan melalui beragam cara, banyak diantaranya melalui paksaan, bahkan dijual oleh orang tuanya sendiri demi sejumlah uang. Tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya. Anehnya, stigma sepenuhnya dilekatkan pada para perempuan tersebut, sebagaimana halnya terminologi “gundik” yang berkonotasi negatif.
Perjalanan Hidup Seorang Nyai di Zaman Kolonial
Persoalan yang dihadapi para Nyai menjadi tidak sederhana. Bukan hanya kuasa patriarki yang menindas mereka, secara nyata perempuan-perempuan ini mengalami penindasan berlapis. Penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan. Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan.
Para gundik juga sering disebut dengan meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris). Sebutan itu dapat diartikan secara harfiah karena pada pelelangan yang dilakukan oleh orang Eropa yang akan pindah atau kembali ke negeri asalnya, para Nyai juga ikut dilelang sebagai bagian dari inventaris mereka. Para Nyai juga kerap disamakan dengan boek (buku) atau woordenboek (kamus). Hal ini berkaitan dengan fungsi mereka sebagai penerjemah atau pengajar bahasa pribumi kepada majikan (Baay, 2010).
Di samping itu, Nyai tidak memiliki hak secara resmi. Dengan demikian, ia tidak bisa menuntut kemana-mana. Jika tiba saatnya untuk pergi, ia akan pergi dalam keadaan yang sama ketika pertama kali datang, yaitu dengan tangan hampa. Peraturan ini ditetapkan secara hukum perdata tahun 1848. Di dalam peraturan tersebut juga dicantumkan bahwa seorang gundik tidak dapat menuntut perwalian jika suaminya meninggal. Karena tidak memiliki hak apapun, sang Nyai juga tidak mendapat perlindungan terhadap perlakuan tidak wajar dan semena-mena dari sang laki-laki.
“Memelihara” Nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi dengan seorang perempuan Eropa. Nyai dengan mudah dapat ditinggalkan dan diperlakukan sesuka hati. Nyai juga dapat dimanfaatkan dalam hal menjaga kesehatan tuannya dibandingkan jika harus berhubungan dengan pekerja seks bebas yang tidak terjamin kesehatannya
Meskipun istilah pergundikan dan Nyai konotasinya bersifat negatif sampai saat ini, peran mereka dalam transformasi modernisasi di Jawa dan sebagai mediator budaya tidak dapat disangkal. Kehidupan bersama antara laki-laki Eropa dan perempuan pribumi telah memunculkan pengaruh tersendiri bagi perkembangan kehidupan keduanya, terutama bagi para laki-laki yang kemudian mengenal banyak budaya si perempuan pribumi.
Laki-laki Eropa mulai mengubah gaya hidup dan kebiasaan asli mereka meskipun seorang totok, seperti dalam hal makan, tidur menggunakan guling, mandi, hingga kebutuhan seksual (Rahman, 2011). Pengaruh pribumi yang begitu kuat terhadap laki-laki Eropa ini juga dipicu oleh perbedaan iklim di Hindia Belanda, iklim yang baru bagi bangsa Eropa memaksa mereka harus menyesuaikan diri dengan mempelajari norma sosial yang berlaku di kehidupan pribumi.
Karena sistem yang tidak adil terhadap hak-hak perempuan inilah yang membuat Kartini berani menyalurkan pemikirannya dengan ide dan gagasan emansipasi perempuan. Kartini mampu mendobrak stereotip tentang perempuan dengan surat-suratnya yang nantinya akan menjadi buku. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi perempuan, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi dan kesetaraan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Kesetaraan yang Kartini maksud di sini adalah memiliki kesamaan hak secara politis, sosial dan finansial. Menurut saya, kesetaraan bukan tentang jenis kelamin, dan bukan juga tentang menjadikan seseorang superior atau inferior. Tetapi, keetaraan adalah tentang berbagi kesempatan dan pilihan yang sama atas aspek-aspek yang ada di masyarakat. Kesetaraan tentang kualitas dan karakter individu di mana laki-laki dan perempuan saling menghargai, hidup berdampingan dengan damai, mengakui kelebihan dan memahami pentingnya keberadaan satu sama lain.
Referensi
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.