Perdebatan Sukarno dan Hatta Tentang Kebebasan Individu

    895

    Jika kita membuka lembar sejarah Indonesia, cita-cita untuk membangun sebuah negara yang demokratis, merdeka dan bebas sudah dirancang dan diimpikan jauh sebelum republik ini merdeka. Cukup unik juga sejarah negara kita, di mana bahkan sebelum negara ini lahir, para tokoh bangsa sudah memperdebatkan dan mendiskusikan sistem yang akan dipakai dalam pemerintahan.

    Dalam buku Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, pada dekade 30-an, antara Sukarno dengan Mohammad Natsir terjadi perdebatan sengit mengenai dasar dari negara Indonesia merdeka (yang saat itu belum merdeka). Natsir pada saat itu berpendirian bahwa negara Indonesia harus berasaskan pada ajaran Islam, sedangkan Sukarno tetap mempertahankan konsep nasionalisme yang bersifat sekular, di mana Indonesia tak menjunjung agama tertentu (Noer, 1982).

    Tetapi, walau terjadi perdebatan yang cukup sengit dalam masalah konsepsi politik, hampir semua tokoh menyepakati bahwa sistem politik yang kelak akan digunakan dalam negara Indonesia merdeka adalah sistem demokrasi. Hampir semua tokoh yang berpaham nasionalisme, komunisme, Islamisme, dan liberalisme, bersepakat bahwa demokrasi adalah sistem yang terbaik ketimbang sistem lainnya.

    Kaum komunis yang dituduh menolak demokrasi karena gagasan diktator proletarian pun berkilah. Mereka berargumen bahwa diktator proletarian hanya fase transisi yang bersifat sementara dan tidak mengugat hak-hak rakyat. Pandangan ini dijelaskan oleh Tan Malaka ketika terjadi perdebatan sengit antara mereka.

    Namun, walaupun para tokoh pergerakan menyetujui konsep demokrasi sebagai sistem yang paling baik karena menjunjung semangat egaliter dalam bernegara, tetapi konsepsi tentang apa dan bagaimana sistem demokrasi itu lagi-lagi akan menjadi polemik. Karena, masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami istilah demokrasi.

    Demokrasi menurut Natsir tentu adalah demokrasi Islam yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Menurut kaum nasionalis dan sosialis (komunis), demokrasi adalah sistem yang memberikan kekuasaan pada rakyat dengan tujuan untuk memakmurkan rakyat dan untuk menopang kepentingan rakyat. Di sini, pandangan demokrasi yang dijunjung adalah demokrasi yang bersifat kolektif yang menekankan kesetaraan dan persaudaraan. Namun, mengenai gagasan tentang kebebasan individu pada dekade 1920 dan 1930 belum dibahas dan dikaji secara spesifik.

    *****

    Ketika di Eropa Jerman-Nazi mulai terdesak oleh sekutu, Italia sudah menyerah, dan tanda-tanda kekalahan aliansi fasis mulai tampak, pemerintah Dai Nippon (Jepang) mulai mengizinkan Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya. Untuk mempersiapkan kemerdekaan, maka di entuklah badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau BPUPK.

    Di dalam majelis BPUPK inilah, konsep-konsep demokrasi Indonesia mulai dikaji lebih mendalam. Dan yang menarik bagi penulis adalah, dalam majelis ini, perdebatan mengenai kebebasan Individu menjadi topik yang menimbulkan polemik yang cukup hangat, sebab dalam masalah kebebasan individu, dwi tunggal Sukarno – Hatta ternyata tidak memiliki pemikiran yang “tunggal” mengenai pembahasan ini.

    Dalam sidang BPUPK pada 15 Juni 1945, terjadi perdebatan sengit mengenai kebebasan berpikir, hak berkumpul, hak berserikat, hak untuk berbicara dan berekspresi ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak? Dalam hal ini, Sukarno dan Supomo menolaknya, sedangkan Bung Hatta dan Mohammad Yamin menyetujuinya.

    Bung Karno memberi dalih kenapa ia dengan gigih menolaknya. Beliau berpendapat bahwa, sejatinya demokrasi yang diperlukan oleh rakyat adalah yang menjamin keadilan sosial dan memberikan kemakmuran, sedangkan kebebasan-kebebasan itu tidak bisa mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan (Risalah BPUPKI, 1992).

    Sukarno menekankan bahwa yang dirancang adalah Undang-Undang Dasar dengan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan individu. Jika Undang-Undang Dasar lebih menekankan hak-hak dasar individu sebagai landasan demokrasi dan bernegara, Sukarno khawatir bahwa Indonesia akan jatuh kepada sikap individualisme (atau lebih tepat adalah egoisme).

    Demokrasi dalam pandangan Bung Karno bukanlah kebebasan-kebebasan individu seperti kebebasan berpikir, berekspresi, pers, dan kritik. Tetapi, demokrasi menurut Bung Karno adalah sistem kolektif yang melandaskan diri pada gotong-royong. Lebih jelasnya lagi, dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno mengatakan bahwa “gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara!” (Sukarno, 1964).

    Dalam pandangan Sukarno, kedaulatan rakyat bukan berarti kebebasan individual seperti yang dipraktikan dalam demokrasi liberal. Kedaulatan rakyat tidak berarti rakyat bebas berbuat apa saja. Kebebasan individual tidak menghadirkan kesejahteraan. Kedaulatan rakyat dalam konsepsi Sukarno adalah membangun kolektivisme atau gotong royong antar setiap elemen-elemen masyarakat, kegotong-royongan inilah yang kemudian terwujud dalam pemerintahan negara yang berjalan demi kesejahteraan seluruh rakyat (Sukarno, 1963).

    *****

    Mohammad Hatta memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno. Walaupun sejatinya Hatta menyetujui sosialisme, namun ia bukan seorang yang berpandangan bahwa kolektivisme harus mengorbankan hak-hak individual. Kolektivisme atau dalam bahasa Hatta adalah sikap kooperatif, didasarkan bukan pada tekanan bahwa kita harus mengorbankan kepentingan individu, tetapi sikap kooperatif harus didasarkan pada kesadaran dan kesukarelaan dari tiap individu.

    Dalam sidang BPUPK, Hatta secara terbuka meragukan gagasan Sukarno, yang menitikberatkan peran negara sebagai perwakilan dari kedaulatan rakyat, “jangan-jangan kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan diatas negara baru itu (Indonesia -pen) sebuah negara kekuasaan” (Risalah sidang, 1992).

    Franz Magnis-Suseno menafsirkan ucapan Hatta sebagai sebuah ketakutan jikalau kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan penguasa. Dalam hal ini, Hatta memiliki wawasan yang jauh kedepan, walaupun kolonialisme yang membelenggu rakyat telah diusir, bukan tidak mungkin pemerintah anak negeri juga bisa berubah menjadi diktator atau penindas (Magnis-Suseno, 2017).

    Hatta juga mempertimbangkan kekhawatiran Sukarno mengenai indiviualisme yang condong kepada egoisme. Dalam atikel yang dimuat tahun 1933 yang berjudul, Kedaulatan Rakyat Bukan Anarchi, kebebasan yang hadir semau-maunya, seperti rakyat Prancis pasca revolusi.

    Menurut Hatta, anarki atau liarnya masyarakat hadir ketika selama setelah berpuluh tahun rakyat ditindas dan dibelenggu. Jetika mereka tidak bebas, mereka menjadi asing dengan kemerdekaan, sehingga ketika kebebasan dan kemerdekaan didapatkan, secara psikologi timbul euforia kebebasan sehingga mereka bertindak semaunya. Karena itu, rakyat harus diberikan wawasan dan pendidikan agar rakyat mendapat pedoman untuk menghargai kemerdekaannya (Hatta, 1976).

    Lebih rinci Hatta menguraikan makna kemerdekaan dan kedaulatan rakyat, “kedaulatan rakyat (yang) menjadi semboyan diartikan bahwa rakyat merdeka mengatur organisasinya menurut kesukaan, ia daulat atas segala perbuatannya”. Kedaulatan rakyat dalam pandangan Hatta, tidak direduksi dengan kedaulatan negara “atas nama rakyat” atau kedaulatan wakil-wakil rakyat, tetapi kedaulatan yang sebenarnya adalah kemerdekaan rakyat itu sendiri.

    Sebagai penutup, dalam memahami demokrasi, para tokoh bangsa memiliki konsepsi yang berbeda-beda. Contohnya, Sukarno tidak menganggap kebebasan individu tidak terlalu penting dalam demokrasi (menurut pandangannya). Bagi Sukarno, inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, dan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat maka negara harus menegakkan keadilan sosial dan memberikan kemakmuran bagi setiap rakyat. Kedaulatan rakyat adalah gotong royong yang dipandu oleh pemerintah.

    Dalam kebijakan politiknya, Sukarno mengemukakan konsep demokrasi terpimpin, di mana seorang pemimpin revolusioner mencerminkan atau mewakili daripada kedaulatan rakyat itu sendiri. Namun, kembali kepada kritik Hatta dalam sidang BPUPK, bukan tidak mungkin jika kekuasaan negara terlalu besar sehingga harus mengorbankan kebebasan individu rakyat, justru yang ada bukan kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan negara, alias diktatorisme.

     

    Referensi

    Magnis-Suseno, Franz. 2017. Seri Buku Tempo: Jejak Yang Melampaui Zaman. Jakarta: Tempo.

    Hatta, Mohammad. 1976. Kumpulan Karangan, jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang.

    Sekertariat Negara. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Jakarta: Sekertariat Negara.

    Sukarno. 1963. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

    Sukarno. 1964. Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pertjetakan Negara.