Perayaan Imlek dan Etnis Tionghoa di Indonesia

    446

    Perayaan Imlek tak jauh berbeda dengan perayaan Tahun Baru Masehi, juga dengan Tahun Baru Hijriah bagi umat Islam. Imlek ialah tahun baru kalender Tionghoa. Di negeri Tiongkok, Imlek merupakan hari raya yang paling penting. Dalam bahasa Mandarin, Imlek dikenal sebagai ‘Nongli Xinnian’ (Tahun Baru).

    Kata Imlek lebih lazim digunakan oleh etnis Tionghoa yang berada di luar daratan China (overseas China). Berasal dari dialek Hokkian, Im = bulan, Lek = penanggalan, yang artinya ‘kalender bulan’. Momen saat malam menjelang tahun baru dikenal dengan nama ‘Chuxi’, yang berarti ‘malam pergantian tahun’. Imlek juga disebut ‘chunjie’, yang artinya ‘Festival Musim Semi’.

    Bicara budaya etnis Tionghoa di Indonesia, boleh dikata hidup dan berkembang seirama dengan perkembangan politik di negeri kita. Denys Lombard dalam catatannya mencatat sejak abad ke-3 Asia Tenggara telah ditulis dalam teks-teks China, catatan awal sejarah Nusantara barulah muncul di abad ke-5 (Lombard, 2005).

    Dalam karyanya, Nusa Jawa: Silang Budaya, Lombard memperlihatkan pentingnya pengaruh budaya Tionghoa ini. Bukan saja bagi masyarakat Asia Tenggara , etapi juga masyarakat Jawa. Besarnya pengaruh ini tak saja mewarnai pembentukan aspek kebudayaan, melainkan juga kehidupan sehari-hari.

    Budaya Tionghoa tidak saja telah mempengaruhi perkembangan teknik produksi dan budidaya berbagai komoditas seperti gula, padi, arak, tiram, udang, garam, dan lain-lain. Hal tersebut juga membawa pengaruh besar pada perkembangan sistem kongsi, teknik kemaritiman, perdagangan, dan sistem moneter di Jawa.

    Namun, harus diakui, bahwa ada pasang surut sejarah kehadiran perayaan Imlek di tengah masyarakat Indonesia. Berbagai kebijakan politik yang diambil oleh negara terhadap posisi sosial etnis Tionghoa, baik di zaman kolonial maupun pasca Indonesia merdeka, bisa dipastikan jadi awal mula sebabnya.

    Ketika Indonesia masih dijajah kolonialisme Belanda, Imlek pernah dilarang juga. Dengan kebijakan politik segregasinya, pemerintah Belanda merasa khawatir perayaan Imlek yang meriah dapat menyulut kerusuhan antaretnis. Di zaman Jepang, sebaliknya Imlek boleh dirayakan dan bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional (medianeliti.com, 02/07/2014).

    Pada tahun 1950, didirikan Program Benteng. Kehadiran Program Benteng dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan ekonomi pribumi di bandingkan dengan kedudukan orang Tionghoa yang telah dikenal memiliki potensi yang tinggi sejak perkembangan sejarah dan politik pemerintahan kolonial Belanda (medianeliti.com, 02/07/2014).

    Namun dalam prakteknya, program Benteng tanpa disadari memperkuat sekelompok pencari bunga yang tidak produktif. Pengusaha dalam hal ini tidak memiliki kemampuan untuk mengelola perusahaan tetapi hanya mengandalkan koneksi dengan pejabat pemerintah untuk mendapatkan lisensi yang telah di dapatkan oleh penguasa pribumi. Timbulnya kerja sama antar pemegang ijin dan pengusaha Tionghoa memunculkan proyek Ali Baba. Kehadiran proyek ini secara langsung tidak bisa memandirikan pengusaha pribumi karena munculnya sifat ketergantungan kepada golongan asing yaitu Tionghoa dalam menjalankan usahanya (medianeliti.com, 02/07/2014).

    Kebijakan pemerintah tersebut dibarengi dengan nasionalisasi perusahaan asing. Pengambil alihan perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia ternyata masih bersifat legal, karena ternyata orang yang sebenarnya menangani pengelolaannya kurang pengalaman, keahlian dan kurang dipersiapkan sehingga tidak mampu berperan secara baik. Pemerintah ternyata belum siap untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil, mengingat pada waktu sebelumnya mereka disibukkan oleh kegiatan politik atau militer dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan, di mana orang yang mengelola perusahaan besar tersebut belum berpengalaman, maka banyak diantara perusahaan tersebut semakin lemah (medianeliti.com, 02/07/2014).

    Dalam keadaan yang kosong ini, orang keturunan Tionghoa mendapatkan kesempatan. Orang keturunan Tionghoa dengan cepat menguasai kegiatan ekonomi yang semula dikuasai oleh perusahaan Belanda tersebut karena memiliki hubungan langsung dengan orang Tionghoa di beberapa negara dan mereka tidak memiliki saingan yang berarti dari perusahaan negara.

    Usaha pemerintah untuk melindungi struktur ekonomi yang stabil bagi kalangan pribumi tidak pernah berhenti. Tahun 1959, keluar peraturan presiden No.10/1959 yang menyatakan larangan bertempat tinggal serta melakukan pedagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di daerah pedesaan. Dilaksanakannya PP No.10/1959, puluhan ribu orang Tionghoa harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya di daerah pedalaman. Peraturan tersebut yang sebenarnya melarang untuk berdagang eceran, namun dalam pelaksanaannya juga melarang untuk bertempat tinggal (medianeliti.com, 02/07/2014).

    Pengalaman dari zaman Orde Lama memotivasi pemerintah Orde baru mengubah kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Namun, pergantian masa Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Kenyataan yang ada, diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih serius. Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas kebangsaan, akan tetapi berkaitan juga dengan masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia.

    Pada masa Orde Baru, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan asimilasi dalam berbagai bidang. Salah satu terjadinya pergeseran kebijakan Orde Lama ke Orde Baru terhadap etnis Tionghoa tersebut adalah adanya rasa kekhawatiran dari pihak pemerintah karena sangkaan keterlibatan orang Tionghoa dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Dengan demikian, segala macam bentuk penonjolan bernuansa “Cina” dipandang pemerintah sebagai suatu hal yang berpotensi menimbulkan masalah baru bagi nation building, sehingga pemerintah perlu memberikan pembatasan-pembatasan terhadap hal-hal yang kiranya akan mengancam nation building di Indonesia.

    Kami, pejabat Presiden Republik Indonesia menimbang: bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar,” kata Suharto dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 14 tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967.

    Kebijakan diskriminatif itu yang mengukuhkan sentimen “anti Cina” dalam kehidupan bermasyarakat. Kebencian orang-orang yang merasa (paling) Indonesia terhadap orang-orang Tionghoa adalah satu hal yang lestari di negeri ini. Akar kebencian ini biasanya terkait dengan dominasi orang Tionghoa di sektor perdagangan. Orang Tionghoa sejak dulu telah menjadi pedagang perantara antara orang Eropa dengan golongan yang lebih dulu tinggal di Nusantara, atau sebut saja “pribumi”.

    Sentimen ini berlanjut setelah peristiwa G30S 1965 orang-orang Tionghoa kerap dikaitkan dengan Republik Rakyat Tiongkok, yang oleh Orde Baru lebih suka disebut Republik Rakyat Cina (RRC). Karena negara yang dipimpin Mao Zedong ini dianggap terkait dengan Gerakan 30 September, maka banyak hal berbau Tionghoa sebisa mungkin dihilangkan oleh Orde Baru.

    Berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang pada awalnya disulut dengan isu anti-Cina. Kebijakan asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, rupanya belum mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan komunitas pribumi secara tuntas. Kerusuhan Mei 1998 membuktikan bahwa tanpa memiliki tendensi kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia yang selama ini berkembang di masyarakat sebagai golongan yang sangat menonjol di bidang ekonomi ternyata sangat rentan terhadap konflik.

    Cara pandang terhadap pluralisme inilah yang berperan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik yang disebabkan oleh sentimen keagamaan di Indonesia, menunjukkan bahwa secara umum masyarakat memang kurang memahami tentang makna pluralisme agama dan hidup secara bersama dengan rukun antar etnis dan pemeluk agama. Dari sinilah letak peran penting keluarga, lembaga agama, lembaga pendidikan, dan pemerintah dalam menanamkan sikap toleransi yang inklusif dan mengajarkan kesediaan untuk hidup bersama dalam adanya perbedaan.

     

    Referensi

    Buku

    Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

     

    Internet

    https://media.neliti.com/media/publications/190967-ID-pengaruh-kebijakan-pemerintah-indonesia.pdf Diakses pada 9 Januari 2021, pukul 21.00 WIB.