Perang dan Kekerasan terhadap Perempuan

    535
    Sumber gambar: https://goldengatexpress.org/wp-content/uploads/2022/02/2022_Feb_24_Ukraine_Rally_Sf_Edit_-7.jpg

    Peperangan selalu menyisakan kehancuran dan kepedihan. Dalam sejarah manusia, perang telah menjelma menjadi mesin penghancur yang sukses membunuh ribuan bahkan jutaan manusia yang tak berdosa bahkan dalam Perang Dunia ke-2, perang bahkan juga mengakibatkan rusaknya ekosistem alam lewat bom atom dan pembakaran hutan.

    Tak ada yang bisa diharapkan dari perang kecuali hilangnya rasa kemanusiaan dan juga kebebasan tiap individu. Dan tentu saja, dari sekian banyak warga sipil yang mati akibat peperangan, salah satu kelompok masyarakat yang paling tersiksa adalah perempuan.

    Ketika Perang Dunia II terjadi, perempuan harus mengisi sektor-sektor yang biasa diisi oleh kaum pria. Banyak perempuan menjadi buruh pabrik senjata dengan jam kerja yang tinggi, namun mendapat upah minim.

    Dokumenter Apocalypse: The Second World War juga melaporkan bahwa banyak pekerja perempuan yang dipaksa untuk bekerja lebih dari 20 jam untuk memproduksi peluru, senapan, dan artileri. Tak sedikit di antara mereka yang mati kelelahan karena bekerja di luar batas kewajaran.

    Apakah ini salah? Tentu! Namun dalam kondisi perang, pertimbangan moralitas antara salah dan benar menjadi kelabu. Semua menjadi benar dan lumrah demi menggapai kemenangan, termasuk dengan kematian para pekerja perempuan yang hingga kini dicampakkan oleh sejarah.

    ***

    Jika kita menilik film A Woman in Berlin, sebuah film produksi tahun 2008 yang digarap oleh sutradara Max Färberböck, sangat tertera jelas bagaimana perempuan menjadi korban keganasan pasca perang dunia terjadi. Film yang berlatar belakang kekalahan Jerman pada tahun 1945, menceritakan bagaimana perempuan di Berlin mendapatkan perlakuan tak senonoh dari militer Uni Soviet yang telah memasuki kota Berlin. Perempuan baik tua maupun muda menjadi sasaran kekerasan seksual oleh tentara Uni Soviet. Dalam kondisi yang sengkarut pada saat itu, perempuan mau tidak mau harus bersedia memuaskan nafsu bejat para serdadu jika mereka ingin tetap hidup dan mendapat bantuan makanan (Filmeropah.blogspot.com).

    Begitu pula film The Flower of  War yang baru tayang beberapa waktu lalu. Film yang mengisahkan kejadian di Perang Dunia ke-2 tersebut juga menggambarkan kekejaman perang yang melanda perempuan di Nanking.

    Film yang mengambil latar pada tahun 1937 tersebut menggambarkan keganasan tentara Jepang yang berusaha merebut kota tersebut. Lima puluh ribu tentara Jepang diperkirakan menginvasi kota Nanking di Cina. Pasukan ini membunuh 300 ribu dari 600 ribu penduduk sipil dan tentara Cina yang dikenal dengan peristiwa Pemerkosaan Nanking. Menurut data sejarah, diperkirakan tentara Jepang telah membantai 150 ribu tahanan perang dan 50 ribu lelaki sipil. Paling memilukan adalah pemerkosaan dan pembunuhan 20 ribu perempuan (National Geographic, 13/12/2012).

    Bayangkan, sekitar 20 ribu perempuan diperkosa secara massal dan terang-terangan oleh tentara Jepang. Lalu, setelah mereka melakukan ‘pesta seks’ tersebut, para perempuan tersebut dibunuh menggunakan bayonet. Apakah mungkin kejadian tidak berkemanusiaan ini akan terjadi di masa depan? Apakah kita tega menyaksikannya?

    ***

    Di Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada hari Selasa, (8/3/ 2022), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, membeberkan fakta mengejutkan mengenai tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Data dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menggambarkan bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami satu jenis kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya dibandingkan dengan anak laki-laki. Data ini sekaligus mengingatkan kita bahwa perjalanan kita (melawan kekerasan) masih panjang,” kata Bintang (Republika.co.id, 08/3/2022).

    Hal ini juga diperburuk dengan penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mengenai kesetaraan gender dalam berbagai lini yang masih cukup tinggi. Nisaaul Muthiah, Peneliti Bidang Sosial TII menjelaskan bahwa data terbaru Global Gender Gap Index (GGGI) tahun 2021 menunjukkan pencapaian kesetaraan gender Indonesia masih sebesar 0,688 dari rentang nilai 0,000-1,000. Di tahun 2006, pencapaian Indonesia sebesar 0,654. Artinya, dalam kurun waktu 15 tahun, perbaikan kesetaraan gender di Indonesia masih sebesar 0,034. Perlu dan penting untuk mendorong perbaikan yang lebih serius pada semua aspek pembangunan, khususnya dalam mengatasi masalah terkait kesetaraan gender (Pedomantangerang.com, 08/03/2022).

    Dari data-data yang terpapar di atas, bisa kita tarik sebuah kesimpulan sederhana. Jika pada kondisi normal saja indeks kekerasan seksual dan ketimpangan gender masih sangat tinggi, bagaimana jika kita dalam kondisi perang di masa depan?

    Sejarah membuktikan bahwa perang di manapun akan meningkatkan kerentanan dan kekerasan terhadap perempuan, serta mengorbankan perempuan.  Pemerkosaan massal, pembunuhan, dan perbudakan terhadap perempuan diprediksi akan terjadi jika perang terjadi lagi. Lebih parah lagi, di masa modern ini, batas antara halaman rumah dan garis depan pertempuran sudah tidak ada lagi. Roket dan pesawat tempur sewaktu-waktu bisa datang dan membunuh perempuan dimanapun, bahkan di rumah mereka sendiri.

    Peristiwa kelam di masa lalu bukan berarti tidak akan terjadi kembali di masa depan. Terkait situasi perang antara Rusia dan Ukraina saat ini, dikutip dari New York Post, seorang warga Ukraina memberikan kesaksian bahwa tentara Rusia yang melakukan invasi ke kota Kherson diduga melakukan tindak kekerasan seksual di sana.

    Svetlana Zorina (27) yang tinggal bersama neneknya di Kota Pelabuhan Laut Hitam berpenduduk sekitar 290.000 orang, berbicara dengan CNN tentang situasi yang mengerikan dan menuduh pasukan penyerang menyerang perempuan secara seksual.

    “Mereka sudah mulai memperkosa perempuan kami. Ada informasi dari orang-orang yang saya kenal secara pribadi bahwa seorang gadis berusia 17 tahun – itu terjadi padanya dan kemudian mereka membunuhnya, ” katanya kepada pembawa acara John Berman pada hari Jumat. Klaim ini belum diverifikasi secara independen (Nypost.com, 4/3/2022).

    Meskipun kebenaran berita tersebut belum dapat diveifikasi kebenarannya, namun Svetlana yang secara nyata tinggal di lokasi konflik menggambarkan betapa rentannya wanita menjadi korban kekerasan ketika perang melanda.

    ***

    Perang adalah fenomena sejarah yang selalu terjadi di tiap zaman, tetapi manusia dibekali oleh akal dan nurani yang dengan itu kita berusaha sekuat mungkin untuk mencegahnya (minimal berusaha agar dampak perang tak meluas). Jika kelak perang benar-benar terjadi, tak pelak kita akan kembali ke era kegelapan.

    Kerusakan yang diakibatkan oleh perang, konflik, kemiskinan, kelaparan, merebaknya pengangguran, dan juga banyaknya rumah tangga yang hancur, merupakan konsekuensi yang akan kita terima jika konflik tidak dicegah.

    Dan tentu saja, perempuan akan menerima imbas terburuk jika perang benar-benar terjadi. Pembunuhan, perbudakan, dan kekerasan seksual akan menghantui perempuan selama perang berlangsung bahkan setelah perang usai.

    Karena itu, partisipasi semua orang untuk mengkampanyekan seruan anti perang harus selalu disuarakan. Tak ada yang ingin berperang, bahkan tentara sekalipun juga tak ingin antar negara terjadi konflik.

    Sebelum sejarah kelam di masa lalu terjadi, masih ada peluang untuk kita saat ini mendesak agar perang tidak meluas. Sebab jika Perang Dunia ke-3 atau perang lainnya kembali meletus, konsekuensi fatal bukan hanya ditanggung oleh kita saat ini, tetapi juga generasi di masa depan.

     

    Referensi

    http://filmeropah.blogspot.com/2010/09/anonyma-eine-frau-in-berlin.html?m=1. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 15.00  WIB.

    https://nationalgeographic.grid.id/read/13283311/13-desember-1937-pemerkosaan-kota-nanking. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 15.10  WIB.

    https://nypost-com.translate.goog/2022/03/04/ukrainian-woman-svetlana-zorina-claims-russian-troops-raping-women-in-occupied-city-of kherson/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 16.11 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-073922340/hari-perempuan-internasional-the-indonesian-institute-ingatkan-tentang-ketimpangan-gender-di-indonesia. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 17.00 WIB.

    https://www.republika.co.id/berita/r8f21d428/menteri-media-sosial-bantu-ungkap-kasus-kekerasan-pada-perempuan. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 15.26 WIB.